Bagaimana Formulasi Hukum Kita Mengatur Illegal Logging?

Oleh:

Muhammad Rustamaji

   

Hukum pidana sebagai salah satu sarana penegakan hukum, menempati posisi yang penting dalam upaya pendayagunaan hukum. Salah satu dari peran pendayagunaan sarana penal tersebut adalah pengaturan dalam tahap formulasinya.

Berikut ini akan dideskripsikan mengenai ketentuan pidana dari perundang-undangan yang merupakan konsepsi tahap formulasi lex specialis terhadap urusan-urusan di bidang kehutanan dan yang menjadi dasar hukum dalam penegakan hukum pidana (penal) terhadap penebangan liar (illegal logging), yaitu antara lain;

a.     Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragaraf ke-18 UU No.41 Tahun 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi juga ditujukan kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan sehingga timbul rasa enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidana yang berat.

Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999 yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini dapat pula dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat dicermati dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 UU No.41 Tahun 1999.

Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan penebangan liar (illegal logging) berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 antara lain sebagai berikut;

Tabel 1. Ketentuan Pidana dalam UU No.41 Tahun 1999

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (Pasal 50 (1)). Barang siapa dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang yang diberikan ijin pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta ijin pemungutan hasil hutan kayu danbukan kayu. Dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 (2)). Barang siapa yang melanggarketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:a.  500 (lima ratus) meter dari tepi waduk dan danaub.  200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawac.   100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungaid.  50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungaie.  2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurangf.    130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai (Pasal 50 ayat (3) huruf c)Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang dilarang untuk menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf e). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Menerima, membeli, atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 5 ayat (3) huruf f). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 50 ayat (3)huruf h). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000.- (sepuluh milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (6)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000.- 
Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan diguanakn untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3)huruf j). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (8)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf k). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000.- (satu milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (9)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000.- 
Negara melakukan perampasan terhadap hasil hutan dan alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran (Pasal 78 ayat (15)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman perampasan terhadap hasil hutan dan alat-alat yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran

Berdasarkan uraian tentang formulasi ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 di atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu;

1)    Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan

2)    Kegiatan yang keluar dari ketentuan perijinan sehingga merusak hutan

3)    Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang

4)    Menebang pohon tanpa ijin

5)    Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan ilegal

6)    Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)

7)    Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa ijin

Menelaah rumusan tentang unsur-unsur ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut, terdapat beberapa kelemahan yang diakibatkan adanya sifat selektifitas dari ketentuan hukum ini. Sasaran penegakan hukum dalam ketentuan pidana tersebut belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku kejahatan penebangan liar (illegal logging). Rumusan unsur-unsur pidana seperti diuraikan di atas memang sangat efektif untuk diterapkan kepada pelaku terutama masyarakat yang melakukan pencurian kayu tanpa ijin atau masyarakat yang diupah oleh pemodal untuk melakukan penebangan kayu secara ilegal dan kepada pelaku pengusaha yang melakukan pelanggaran konsesi penebangan kayu ataupun yang tanpa ijin melakukan operasi penebangan kayu. Akan tetapi perkembangan kasus penebangan liar (illegal logging) saat ini justru diindikasikan banyak melibatkan oknum pejabat pemerintah termasuk oknum pejabat pemerintah daerah, oknum pegawai negeri sipil, oknum TNI dan Polri serta oknum pejabat penyelenggaraan negara lainnya yang justru menjadi bagian dari pelaku intelektual dalam penebangan liar (illegal logging) belum dapat terjangkau oleh ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut.

Keterlibatan pegawai negeri sipil maupun militer, oknum pejabat serta oknum aparat pemerintah atau penegak hukum lainnya baik selaku pemegang saham dalam perusahaan penebangan kayu, maupun yang secara langsung melakukan kegiatan bisnis kayu, acapkali lolos dari jeratan hukum, sehingga efek selanjutnya adalah tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Subyek hukum (adresat) dalam tindak pidana kehutanan sebagaimana yang diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut, terbatas pada orang dalam pengertian baik orang pribadi (persoon), badan hukum, maupun bahan usaha, akan tetapi belum mengatur perbuatan yang dilakukan oleh korporasi dan pegawai negeri, demikian juga pengaturan sanksi tambahan terhadap pelaku individu dan korporasi.

Secara tegas UU No.41 Tahun 1999 belum memberikan definisi tentang penebangan liar (illegal logging), belum mengatur tentang tindak pidana korporasi, tindak pidana penyertaan, dan tindak pidana pembiaran (omission), terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas kejahatan penebangan liar (ilegal logging). Oleh karena itu, hal tersebut menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku kejahatan penebangan liar (ilegal logging) yang secara tegas tidak diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut. Pada akhirnya dalam upaya penegakan hukum, pelaku-pelaku tersebut dimungkinkan untuk lolos dari tuntutan hukum. Terkait dengan perkembangan kejahatan penebangan liar (ilegal logging) sebagaimana dicermati dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini tidak cukup efektif atau dapat dikatakan tidak dapat mengakomodasi perkembangan kehajatan penebangan liar (ilegal logging) yang berkembang dari masa-kemasa. 

b.     Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

Pengaturan pidana dalam UU No.5 Tahun 1990 ini diatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi pidana ada tiga macam yaitu pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) sedangkan sanksi pidana terhadap pelanggaran diatur dalam Pasal 40 ayat (3) dan (4) UU No.5 Tahun 1990, sedangkan unsur-unsur perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, Pasal 21 dan Pasal 33.

Tabel 2. Ketentuan Pidana dalam UU No.5 Tahun 1990

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap; keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-baginnya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau diluar Indonesia (Pasal 21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.-
Barang siapa karena kesalahannya melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap; keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.- (seratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (3)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-baginnya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau diluar Indonesia (Pasal 21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.- (lima puluh juta rupiah) (Pasal 40 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.-

Unsur-unsur pidana yang terkait dengan kegiatan penebangan liar (illegal logging) dalam undang-undang di atas antara lain;

1)    Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian yang mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan tersebut khusus pada kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata.

2)    Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, memperniagakan dan menyelundupkan hasil hutan, namun demikian ketentuan tersebut khusus terhadap hasil hutan berupa tumbuhan yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam kepunahan (Penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU No.5 Tahun 1990)

Berdasarkan rumusan ketentuan pidana dalam UU No.5 Tahun 1990 tersebut, maka dapat dipahami bahwa UU No.5 Tahun 1990 hanya secara khusus mengatur mengenai kajahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis tumbuhan tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) hanya sebagai instrumen pelengkap atau sebagai pasal lapisan tuntutan (subsidaritas) dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penebangan liar (illegal logging). Dan perlu diperhatikan bahwa ketentuan tersebut hanya dapat berfungsi jika unsur-unsurnya terpenuhi.

c.      Ketentuan Pidana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985

Ada dua jenis pidana berdasarkan Pasal 18 PP No.28 Tahun 1985 yaitu kejahatan dan pelanggaran sedangkan sanksi pidananya ada empat macam, yaitu pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran. Ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut diatur dalam Pasal 18, yang akan diuraikan sebagai berikut;

Tabel 3. Ketentuan Pidana dalam PP No.28 Tahun 1985

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Barang siapa dengan sengaja melakukan penebangan pohon-pohon dalam huatan lindung tanpa ijin  (Pasal 9 ayat (2)), dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp100.000.000.- (seratus juta rupiah) (Pasal 18 ayat (1)). Sedangkan jika perbuatan tersebut dilakuakn di dalam hutan bukan hutan lindung dipidana dengan penjara selama-lamnaya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp20.000.000 (dua puluh juta rupiah) (Pasal 18 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.- dan atau ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.-
Barang siapa yang melakukan pemungutan hasil hutan dengan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan (seluruh pohon) di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan (Pasal 7 ayat (3)), dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000.- (satu juta rupiah) (Pasal 18 ayat (3)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.-
Barang siapa yang dengan sengaja memiliki dan atau menguasai dan atau mengangkut hasil hutan yang sudah dipindahkan dari tempat pemungutannya tanpa disertai dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH), dipidana dengan didana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000.-(lima juta rupiah) (Pasal 18 ayat (4) huruf d) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja membawa alat-alat yang lazim diguanakan untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan, selain petugas yang diberi wewenang oleh undang-undang (Pasal 9 ayat (1)), dipidana dengan pidana kurungan selama-lamnya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 2.500.000.- (dua juta lima ratus ribu rupiah) (Pasal 18 ayat (5)). efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp2.500.000.-
Semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang diperguanakan untuk melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dapat dirampas untuk negara. efek jera yang diterapkan dengan perampasan semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana

Jika dicermati dari rumusan ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa PP No.28 Tahun 1985 ini hanya mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran yang secara khusus dilakukan dalam hutan lindung. Sama seperti UU No.5 Tahun 1990, ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 ini hanya sebgai pelengkap (subsideritas) atas tindak pidana di bidang kehutanan dan ketentuan ini hanya secara khusus mengatur tentang kejahatan di bidang kehutanan yang dilakukan di dalam hutan lindung. Jika dibandingkan dengan ketentuan pidana  dalam UU No.41 Tahun 1999, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya semua unsur-unsur yang diatur dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut telah dimuat dalam rumusan tentang ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999. sanksi pidana menurut UU No.41 Tahun 1999 juga relatif lebih berat jika dibandingkan dengan sanksi pidana yang diatur dalam PP No.28 Tahun 1985 yang relatif lebih ringan, sehingga efek jera yang ditimbulkan pun relatif kecil.

Dipandang dari segi ilmu hukum pidana, maka PP No.28 Tahun 1985 ini menurut Marpaung (1995:18) terdapat kerancuan dalam penerapan sanski pidana yang berat terhadap tindak pidana terhadap hutan. Hal tersebut dikarenakan sangat jarang formulasi tindak pidana dan sanksi dimuat dalam sebuah Peraturan Pemerintah, karena pada umumnya tindak pidana serta sanksi dirumuskan berdasarkan undang-undang, sedangkan ketentuan pidana kehutanan dalam UU No.5 Tahun 1967 justru diatur dalam PP No.28 Tahun 1985. Pengaturan sanksi pidana yang ditetapkan dalam PP No.28 Tahun 1985 ini sebenarnya merupakan penjabaran dari Pasal 19 ayat (1) UU No.5 Tahun 1967 yang berbunyi;“Peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini dapat memuat sanksi pidana, berupa hukuman pidana penjara atau kurungan dan/atau denda“. Oleh karena itu dalam menetapkan PP No.28 Tahun 1985 ini sebagai dasar hukum dalam penerapannya harus selalu dilihat dengan Pasal 19 UU No.5 Tahun 1967. Namun demikian, dengan diberlakukannya UU No.41 Tahun 1999 kerancuan tersebut dapat diatasi.

Di samping ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai illegal logging dalam lingkup kehutanan, ketentuan pidana di luar lex specialis dapat pula ditemukan dalam KUHP sebagai lex generalis sekaligus menunjukkan sifat pendayagunaan sarana penal yang komplementer dalam pengaturan tindak pidana illegal logging ini. Berikut uraian mengenai cakupan tindak pidana yang dapat digunakan dalam mendekati tindak pidana penebangan laiar (illegal logging) di dalam KUHP.

d.     Ketentuan Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Tindak pidana terhadap kehutanan merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Menurut Pompe dan Hamzah (1991:1), terdapat dua kriteria yang dapat menunjukkan hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subyeknya yang khusus, dan kedua, perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten). Berkenaan dengan tindak pidana penebangan liar (illegal logging) merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana perbuatannya dikategorikan khusus sebagai extra ordinary crime, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan.

Pada dasarnya kejahatan penebangan liar (illegal logging), secara umum dapat dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, penebangan liar (illegal logging) dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum, yaitu:

1)    Perusakan

Perusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang perusakan barang dalam arti barang-barang biasa yang dimiliki orang (Pasal 406 KUHP). Barang dalam hal ini dapat berupa barang tetap maupun tidak tetap, bergerak maupun tidak bergerak. Namun berkenaan dengan barang-barang yang mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal 408, akan tetapi terbatas pada barang-barang tertentu sebgaimana yang disebutkan dalam pasal tersebut[1] dan tidak relevan untuk ditetapkan pada kejahatan perusakan hutan.

Unsur perusakan terhadap hutan dalam kejahatan penebangan liar (illegal logging), bermula dari konsepsi tentang prinsip perijinan dalam sistem pengelolaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi hutan. Penebangan liar (illegal logging) pada hakekatnya merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perijinan yang ada, baik tidak memiliki ijin secara resmi maupun yang memiliki ijin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perijinan tersebut (Contoh :  over cutting, penebangan di luar areal konversi yang dimiliki). Kerusakan lingkungan akibat tindakan seperti ini belum tercakup dalam ketentuan Pasal 408 KUHP meskipun kepentingan umum berpotensi terganggu karenanya.

2)    Pencurian

Ketika penebangan liar (illegal logging) dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian, dapat dirumuskan dalam unsur-unsurnya menurut penjelasan Pasal 363 KUHP yaitu sebagai berikut:

a)    Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai

b)    Suatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku

c)     Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.

d)    Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan hukum. Jelas bahwa kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan kegiatan illegal logging ini adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu untuk dimiliki. Akan tetapi harus juga diperhatikan mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum adalah perbuatan melawan hukum.

Adapun ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP antara lain Pasal 363 yaitu pidana penjara 5 (lima) tahun, Pasal 364 pidana penjara 7 (tujuh) sampai dengan 9 (sembilan) tahun dan Pasal 365 dengan pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun.

3)    Pemalsuan

Pemalsuan surat diatur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 276 KUHP. Menurut penjelasan Pasal 263 KUHP, pemalsuan surat merupakan kegiatan membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah surat yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian, pembebasan utang atau surat yang dapat digunakan sebagai suatu keterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun, Pasal 264 paling lama 8 (delapan) tahun, Pasal 266 dipidana penjara 7 (tujuh) tahun. Berkenaan dengan illegal logging, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku llegal logging adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), termasuk pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kehutanan.

4)    Penggelapan

Penggelapan di dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Dalam penjelasan Pasal 372 KUHP, penggelapan diartikan mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan untuk dimiliki dengan melawan hak. Modus penggelapan dalam kejahatan penebangan liar (illegal logging) antara lain  penebangan di luar area yang dimiliki (over cutting), penebangan yang melebihi target kuota yang ada (over capasity), dan melakukan penebangan sistem tebang habis sedangkan iijin yang dimiliki adalah tebang pilih, mencantumkan data jumlah kayu dalam SKSHH yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya. Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.- (sembilan ratus rupiah).

5)    Penadahan

Heling atau persekongkolan atau penadahan diatur dalam Pasal 480 KUHP. Lebih lanjut perbuatan itu dikategorikan menjadi perbuatan membeli, atau menyewa barang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil dari kejahatan. Ancaman pidana dalam Pasal 480 adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.- (sembilan ratus rupiah). Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam maupun di luar negeri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil penebangan liar (illegal logging) yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku, baik penjual maupun pembeli. Modus ini juga diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No.41 Tahun 1999.


[1] Barang-barang kepentingan umum yang dimaksud Pasal 408 KUHP meliputi : pekerjaan jalan kereta api, trem, kawat telegram, telfon atau listrik, atau pekerjaan untuk menahan air, pembagian air, atau pembuangan air, pipa gas atau air, atau selokan (jalan membuang kotoran)

1 Tanggapan to “Bagaimana Formulasi Hukum Kita Mengatur Illegal Logging?”



Tinggalkan komentar




Februari 2008
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
2526272829  

Blog Stats

  • 32.621 hits

Flickr Photos