Archive for the 'Blogroll' Category

KEKUATAN PEMBUKTIAN TES DNA DALAM KACAMATA KUHAP

Oleh:

Muhammad Rustamaji

   

Pemanfaatan tes DNA dalam mengungkap pelaku tindak pidana terorisme merupakan langkah strategis yang mungkin dilakukan saat ini mengingat keotentikan alat bukti tes DNA itu sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah. Sebagai alat bukti petunjuk, tentunya berdampak sangat signifikan dalam pengungkapan kasus terorisme. Pentingnya kedudukan alat bukti tes DNA dalam proses peradilan pidana mencakup beberapa hal penting yaitu, pertama, terkait dengan identifikasi pelaku dalam proses penyidikan dan dalam pengembangan kasus. Kedua dalam hal mengungkap jaringan pelaku tindak pidana terorisme itu sendiri, dari hal-hal tersebut dapat diketahui latar belakang pelaku tindak pidana terorisme misalnya mengenai latar belakang pendidikan, keluarga sehingga dapat diketahui maksud dan tujuan pelaku tindak pidana terorisme melakukan berbagai aksinya, apakah hanya sebatas melakukan teror, memperjuangkan aksi kelompoknya atau menentang penjajahan, hal ini penting karena terkait dengan bagaimana proses pengusutan lebih lanjut. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti petunjuk menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa alat bukti petunjuk mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.

Namun sampai saat ini penggunaan alat bukti tes DNA dalam proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat yang dapat digunakan sebagai  alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sekunder sehingga masih memerlukan dukungan alat bukti lain. Alat bukti tes DNA belum dilihat sebagai alat bukti yang dapat mendukung proses pengidentifikasian pelaku tindak pidana terorisme.

Hingga saat ini pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA hanya diatur dalam KUHAP. Berikut adalah beberapa paparan mengenai pengaturan mengenai alat bukti tes DNA dari peraturan hukum tersebut berdasarkan ketentuan dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981)

Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam KUHAP tidak banyak kita temui pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti. Dalam hal ini hanya terdapat satu pasal yang mengatur alat bukti, yaitu :

Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan “Alat bukti yang sah ialah”;

(1)    Keterangan saksi

(2)    Keterangan ahli

(3)    Surat

(4)    Petunjuk

(5)    Keterangan terdakwa

Mengingat pembuktian dengan menggunakan tes DNA memang tidak diatur secara khusus dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai memanfaatkan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti di persidangan, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa alat bukti tes DNA paling dekat korelasinya dengan alat bukti petunjuk.

Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai alat bukti petunjuk yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian seperti yang disampaikan R. Soesilo bahwa yang dimaksud petunjuk yaitu suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya, adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim (R.Soesilo,1997 : 167). Dari definisi petunjuk tersebut, kita memperoleh beberapa ketentuan mengenai  petunjuk  yang harus dipenuhi antara lain;

1.     Suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya. Adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa

2.     Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim

Jika telaah ketentuan mengenai saksi di atas diterapkan dalam pemanfaaan alat bukti tes DNA  dalam mengungkap kasus terorisme, maka dapat kita ulas sebagai berikut;

1.     Suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya. Adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa

Hanya dari ketiga alat bukti itu, bukti petunjuk dapat diolah. Dari ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan. Persesuaian itu diambil dan diperoleh dari keterangan pihak dan peristiwa yang terkait di dalamnya.

2.     Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim

Sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yang dianut KUHAP (Pasal 183 KUHAP) pada prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim, dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian kita adalah perpaduan antara sistem conviction-in time(vrijbewijk) dan sistem pembuktian positif (positief wettelijk stelsel). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian kita. Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya. Dalam hal ini penggunaan tes DNA yang menyajikan data secara detail atau rinci mengenai susunan kromosom seseorang sehingga, memungkinkan hakim untuk dapat memberikan penilaian atas hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA tersebut.

Berdasarkan ilustrasi teknis diatas nampaknya alat bukti tes DNA  memang tepat untuk menjadi alat bukti petunjuk dalam mengungkap kasus terorisme. Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam KUHAP tidak banyak kita temui pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti, sedangkan substansi dan kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA yait

(1).          Substansi Pembuktian

Dalam kasus yang membutuhkan pembuktian mengenai asal-usul keturunan seseorang maka alat bukti tes DNA bertindak sebagai alat bukti petunjuk karena bukan merupakan alat bukti langsung atau indirect bewijs.

(2).          Kekuatan Pembuktian

Penggunaan tes DNA yang penyelesaiannya berkaitan dengan pelacakan asal-usul keturunan dapat dijadikan sebagai bukti primer, yang berarti dapat berdiri sendiri tanpa diperkuat dengan bukti lainnya, dengan alasan :

a.     DNA langsung diambil dari tubuh yang dipersengketakan dan dari yang bersengketa, sehingga tidak mungkin adanya rekayasa dari si pelaku kejahatan untuk menghilangkan jejak kejahatannya.

b.     Unsur-unsur yang terkandung dalam DNA seseorang berbeda dengan DNA orang lain (orang yang tidak mempunyai garis keturunan), yakni dalam kandungan basanya, sehingga kesimpulan yang dihasilkan cukup valid.  (Taufiqul Hulam, 2002 : 130)

Tes DNA sebagai salah satu bentuk alat bukti petunjuk harus mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang dapat ditunjukkan melalui syarat-syarat :

a.     Kerahasiaan (confidentially).

Penggunaan alat bukti tes DNA mempunyai tingkat kerahasianan yang cukup tinggi, mengingat informasi hasil tes DNA tidak disebarkan pada orang atau pihak yang tidak mempunyai hak untuk mengetahuinya. Dalam hal mendapatkan alat bukti tes DNA, pihak yang berwenang untuk mengeluarkan hasil pemerikasaan adalah Rumah Sakit atau Laboratorium yang memiliki fasilitas khusus dengan aparat yang telah ditunjuk, sehingga tingkat kerahasaiaan dapat terjaga.

b.     Otentik (autentify).

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diketahui bahwa tubuh manusia terdiri dari sel-sel, yaitu satuan terkecil yang memperlihatkan kehidupan, yang di dalamnya terdapat inti sel dan organel-organel yang berperan dalam bidang masing-masing di dalam sel itu. Sehubungan dengan itu, bagian yang perannya sangat penting dalam melakukan pengendalian adalah inti sel. Di dalam inti sel ini terdapat kromosom dan nukleus.

Kromosom yang terdapat dalam inti sel tersusun atas bagian- bagian yang dinamakan gen. gen-gen ini bila diperiksa lebih lanjut ternyata terdiri atas molekul- molekul yang merupakan sepasang rangkaian panjang yang saling melilit. Tiap rangkaian berisi satuan- satuan yang dinamakan DNA yang tersambung satu sama lain secara khas menurut urutan tertentu. (Taufiqul Hulam, 2002 : 125)

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa setiap manusia mempunyai susunan kromosom yang identik dan berbeda-beda setiap orang, sehingga keotentikan dari alat bukti tes DNA dapat teruji, disamping itu alat bukti tes DNA disahkan oleh pejabat yang berwenang sehingga memperkuat kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA.

c.      Objektif.

Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan DNA, merupakan hasil yang didapat dari    pemeriksaan berdasarkan keadaan obyek sesungguhnya dan tidak memasukkan unsur pendapat atau opini manusia di dalamnya, sehingga unsure subyektifitas seseorang dapat diminimalisir.

d.     Memenuhi langkah-langkah ilmiah (Scientic)

Untuk memperoleh hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA, harus menempuh langkah-langkah ilmiah yang hanya didapat dari uji laboratorium yang teruji secara klinis, yaitu pertama, mengambil DNA dari salah satu organ tubuh mausia yang di dalamnya terdapat sel yang masih hidup, kedua, DNA yang telah diambil tersebut dicampur dengan bahan kimia berupa proteinase yang berfungsi untuk menghancurkan sel, sehingga dalam larutan itu tercampur protein, kabohidrat, lemak, DNA dan lain-lain, ketiga pemisahan bagian-bagian lain selain DNA dengan menggunakan larutan fenol, setelah langkah-langkah ini akan diketahui bentuk DNA berupa larutan kental dan akan tergambar identitas seseorang dengan cara membaca tanda-tanda atau petunjuk yang terkandung di dalamnya. (Taufiqul Hulam, 2002 : 128)

Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa, sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain :

1.                 hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian aynag diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainaya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.

2.                 petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa (terikat pada prinsip batas minimum pembuktian ). Oleh karena itu petunjuk mempunyai nilai pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya alat bukti lain. (Yahya Harahap, 2005 : 317)

LEGALITAS LINUX DALAM REGIME HKI

Oleh:

Muhammad Rustamaji   

Alasan yang Melandasi Linux Dapat Digunakan Sebagai Perangkat Lunak Program Komputer dengan Tanpa Melanggar Hak Cipta

Fokus pembicaraan mengenai penilaian legal atau ilegalnya suatu pemanfaatan hak cipta orang lain, sebenarnya terletak pada ada tidaknya izin yang diberikan dari si pemegang hak cipta tersebut kepada pihak pengguna hak cipta, untuk mengambil manfaat dari hasil karya ciptanya tersebut. Dalam dunia perdagangan dan alih teknologi, ijin ini disebut dengan lisensi. Lisensi adalah ijin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu (Pasal 1 angka 14 UU No.19 tahun 2002).

Pada prinsipnya lisensi produk teknologi tidak berbeda dengan lisensi yang diterapkan dalam produk perangkat lunak komputer (software). Namun demikian, kiranya perlu diketahui bahwa dalam pemberian lisensi produk-produk software ini, terdapat dua jenis lisensi yang banyak digunakan, yaitu lisensi per komputer dan lisensi GPL (GNU Public Lisence). Jenis lisensi yang pertama mengharuskan si pemakai (user) membayar lisensi untuk setiap mesin/komputer yang menggunakan software yang bersangkutan. Hal ini berarti setiap pemilik seperangkat komputer yang siap dioperasikan, harus membeli perangkat keras (seperti monitor, keyboard, mouse, CPU dan sebagainya) yang dibutuhkan, serta harus membayar setiap software / program komputer  yang berjalan dalam komputernya tersebut (seperti word, exel, corel, dan sebagainya). Sedangkan jenis lisensi yang kedua membolehkan pemakai (user) menggunakan software yang bersangkutan di bermacam komputer secara bebas. Hal tersebut dapat dilakukan karena lisensi GPL pada prinsipnya memberikan hak milik publik untuk memiliki bersama suatu produk yang berlisensi GPL, sehingga setiap orang berhak untuk mengambil, mengembangkan, memodifikasi dan bebas melakukan apapun terhadap produk yang berlisensi GPL tersebut.

Berbicara mengenai linux, setidaknya terdapat dua hal penting yang menjadi alasan mengapa linux dapat dimanfaatkan secara legal, tanpa harus meminta izin pemegang hak, tetapi tetap tidak melanggar hak cipta orang lain, yaitu :

1.    Linux Berlisensi GPL (GNU Public Lisence)

Para pengguna linux sering menggunakan istilah GNU/Linux sebagai padan kata dari Linux. Berangkat dari peristilahan yang digunakan ini, dapat kita ketahui bahwa linux merupakan operating sistem (OS) yang kompatible dengan Unix, dan linux itu sendiri berisi kernel Linux dan sekumpulan lengkap alat-alat dan program-program lain, yang kebanyakan di bawah naungan proyek GNU dari Free Software Foundation. Tampilan grafis atau Graphical User Interface (GUI) disediakan oleh X Window System beserta kumpulan libraries dan alat-alatnya.

Dengan adanya lisensi GPL dengan naungan proyek GNU dari Free Software Foundation ini, semua software yang tersedia bisa didapat gratis berdasarkan lisensi GNU General Public License atau lisensi-lisensi lain yang mirip dengan itu. Berdasarkan lisensi ini, siapa pun bisa mendapatkan program baik dalam bentuk source code (bisa dibaca manusia) mau pun binary (bisa dibaca mesin), sehingga program tersebut dapat diubah, diadaptasi, mau pun dikembangkan lebih lanjut oleh siapa saja.

2.    Produk Linux Merupakan Produk  Massa

Strategi hemat di kala krisis separti saat ini, banyak kita temukan dalam berbagai trik yang dilakukan perusahaan ataupun perorangan untuk memperoleh software gratis. Salah satu cara yang banyak dilakukan adalah mengambil software dari kernel Linux, lalu membundelnya dengan software gratis ataupun software komersial lainnya membentuk distribusi Linux (distro). Beberapa distribusi Linux yang terkenal antara lain RedHat Linux, Caldera OpenLinux, Slackware Linux, Debian Linux, S.u.S.E Linux, Trinux, dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan linux justru dilakukan secara serempak oleh banyak orang dengan gaya atau stile-nya masing-masing, sehingga menghasilkan beragam software linux yang berfariasi.

Karena banyak sekali program-program maupun komponen software (biasanya tergabung dalam “paket”) yang membentuk sebuah sistem Linux yang lengkap, dan kesemuanya itu diurus oleh banyak orang dan organisasi dalam jadwal yang berbeda-beda, maka beberapa perusahaan dan organisasi mengumpulkan paket-paket tersebut menjadi satu distribusi (distro). Tapi tidak itu saja, mereka juga melakukan tes-tes terhadap software di dalamnya, mengembangkan program-program instalasi atau yang memudahkan instalasi, sebagian ada yang memberikan technical support, dan sebagainya. Ada distribusi komersial seperti Red Hat, Caldera, SuSE, dan ada juga distribusi yang non-komersial seperti Debian GNU/Linux. Baik distribusi komersial mau pun non-komersial tersedia tanpa dipungut biaya di internet, dan juga tersedia di media seperti CD-ROM. Perbedaan mendasar antara distro komersial dan non-komersial adalah bahwa produk komersial didukung oleh perusahaan yang menyediakan technical support, dan mungkin juga menyediakan beberapa software komersial lain yang tidak bisa didistribusikan secara gratis. Hal ini tentunya penting di lingkungan bisnis tertentu (Anonim, Mengapa linux, 2003) 

TELECONFERENCE DALAM KACAMATA HUKUM PEMBUKTIAN

Oleh:

Muhammad Rustamaji  

Nilai Pembuktian Pemanfaatan Teknologi Teleconference Sebagai Alat Bantu Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Persidangan pengadilan melalui teknologi teleconference sebelum pemeriksaan kasus korupsi dengan terdakwa Mantan Kabulog Rahardi Ramelan memang belum pernah terjadi di Indonesia.  Sebagaimana dalam ketentuan KUHAP mengenai tata cara dan prosedur pembuktianpun tidak diatur mengenai teleconference. Namun KUHAP sebenarnya telah menegaskan bahwa menjadi saksi adalah kewajiban setiap orang. Mereka yang telah dipanggil ke sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi menolak kewajiban itu, dapat dikenakan pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dalam kasus Rahardi Ramelan ini, B.J Habibie sebagai saksi, KUHAP juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa seseorang dapat menolak pemanggilan sebagai saksi karena alasan mendampingi sang istri yang tengah mendapat perawatan di rumah sakit. 

Mengingat persidangan pengadilan melalui teleconference memang tidak diatur dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai memanfaatkan teleconference sebagai alat bukti di persidangan, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa teleconference paling dekat korelasinya dengan alat bukti saksi.

Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai saksi yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian seperti yang disampaikan R. Soesilo bahwa yang dimaksud kesaksisan yaitu keterangan lisan seseorang di muka sidang pengadilan, dengan disumpah lebih dahulu, tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri (nontestimonium de auditu). Kesaksian yang tidak dilihat sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang lain bukanlah merupakan kesaksian yang sah.(R.Soesilo,1979). Dari definisi kesaksian tersebut, kita memperoleh beberapa ketentuan mengenai  saksi yang harus dipenuhi antara lain;

1.     Keterangan lisan seseorang di muka sidang pengadilan (sesuai Pasal 185 ayat 1) KUHAP)

2.     Dengan disumpah lebih dahulu (sesuai Pasal 275 ayat(2) jo.Pasal 303 HIR dan Pasal 160 ayat (3) jo. 185 ayat (7) KUHAP).

3.     Tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri (nontestimonium de auditu)-(sesuai Pasal 1 ayat (27) KUHAP)Jika telaah ketentuan mengenai saksi di atas diterapkan dalam pemanfaaan teleconverence dalam kesaksian B.J. Habibie, maka dapat kita ulas sebagai berikut;

1.    Keterangan di Muka Sidang Pengadilan

Sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yang dianut KUHAP (Pasal 183 KUHAP) pada prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim, dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian kita adalah perpaduan antara sistem conviction-in time(vrijbewijk) dan sistem pembuktian positif (positief wettelijk stelsel). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian kita. Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya di sidang pengadilan secara fisik berhadap-hadapan.

Dalam hal ini penggunaan teknologi teleconference yang menyajikan gambar secara detail dan kualitas suara secara jelas tanpa gangguan (noice), memungkinkan hakim untuk mengetahui secara langsung sorot mata, roman muka, maupun bahasa tubuh (gestures) yang ditunjukkan oleh seorang di muka persidangan. Dengan demikian pada prinsipnya kehadiran seseorang di muka persidangan sebagaimana dimaksud hadir secara fisik juga dapat dipenuhi dengan menggunakan teknologi teleconference.

Berdasarkan ilustrasi teknis diatas nampaknya teleconference memang tepat untuk menggantikan kehadiran saksi di muka persidangan secara virtual. Namun perlu mendapat perhatian juga dalam hal alokasi waktu meminta keterangan saksi, hal ini penting karena waktu yang sempit dan terbatas akan sangat berpengaruh terhadap kualitas ketuntasan dan kedalaman informasi yang diperoleh dari saksi. Jika permasalahan alokasi waktu ini tidak mendapatkan solusi yang tuntas, maka sia-sialah seluruh usaha menghadirkan saksi secara  virtual di muka sidang karena dangkalnya informasi dan ketidaktuntasan keterangan yang dibutuhkan.

2.    Dengan Disumpah Lebih Dahulu

Sebagaimana ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dalam memanfaatkan teknologi teleconference tidak jauh berbeda dengan persidangan biasa, yaitu sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya.

3.    Nontestimonium de Auditu

Seperti halnya di setiap persidangan pidana, bahwa keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Dalam hal ini teleconfernce akan menjadi alat bukti yang sah sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkalnya.

Selain ketiga ketentuan mengenai saksi yang harus dipenuhi agar sah menurut hukum, perlu diperhatikan pula asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Dalam hal ini jangan sampai penggunaan teknologi teleconference justru melanggar katentuan asas dalam pengadilan pidana karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memanfaatkan teknologi teleconference tersebut. 

4.    Asas Biaya Ringan

Benarkah memanfaatkan teknologi teleconference dalam persidangan membutuhkan biaya yang besar ? ternyata tidak. Terdapat banyak cara melakukan konferensi jarak jauh. Teknologinya-pun semakin lama semakin murah, dengan kualitas yang tidak kalah baik. Salah satu teknik terbaru adalah menggunakan videopon dua arah, teknik ini jauh lebih menguntungkan daripada menggunakan sistem uplink ke satelit yang mahal dan rumit.

Sistem videopon satu arah sudah pernah diuji di medan perang Afganistan-AS, untuk melaporkan kejadian di peperangan. Reporter televisi menyiarkan tayangan langsung menggunakan videopon yang ringan dibawa jika dibandingkan sistem pemancar bergerak yang berat.

Dengan dipenuhinya asas biaya ringan dalam beracara ketika memanfaatkan teknologi teleconference, maka permasalahan diskriminasi hukum dapat diatasi. Permasalahan diskriminasi perlakuan hukum ini beberapa waktu lalu sempat mencuat, bahwa teleconference yang notabene mahal dapat digelar karena yang menjadi saksi adalah mantan presiden RI. Disinilah peran pemilihan teknologi yang tepat sehingga diperoleh efisiensi biaya yang murah, sehingga dengan terjangkaunya biaya teleconference maka teknologi inipun dapat digunakan setiap orang yang beracara di persidangan, sejauh dianggap perlu oleh majelis hakim.   

Keterbatasan Hukum di Tengah Pusaran Aliran Sesat dan Perilaku Anarkis

oleh:

Muhammad Rustamaji  

Untuk kesekian kalinya, kasus penodaan agama kembali terjadi. Dalam waktu yang tidak lama amuk massa yang acapkali muncul seiring mencuatnya suatu pemberitaan tentang aliran sesat, terus saja berulang dan berulang. Sungguh memprihatinkan, bangsa yang dahulu dikenal oleh masyarakat dunia dengan kebhinekaan dan kerukunan umat beragamanya, saat ini nyaris tak bersisa. Umat tercabik-cabik dengan gempuran aliran kepercayaan yang sesat dan menyesatkan. Sedangkan adu jotos, kekerasan, dan perusakan, masih saja dipilih sebagai jalan keluar penyelesaian. Akar permasalahan coba digali, namun formulasi solusi hanya terhenti di permukaan substansi. Hal ini disebabkan langkah yang berjalan secara parsial masih diperagakan oleh setiap elemen bangsa, baik pemerintah selaku umarok maupun ulama selaku pemuka agama dan masyarakat.

Dapat dicermati, permasalahan umat seakan selesai dengan sebuah vonis sesat oleh aparat. Koridor hukum selanjutnya dipilih sebagai satu-satunya solusi untuk menanggulangi anarki yang terjadi. Padahal jika ditelaah lebih mendalam, hukum semata tidak akan mampu menanggulangi bencana keimanan umat ini. Pertanyaan penting yang tidak mampu dijawab oleh hukum adalah; apa yang akan dilakukan hukum setelah para pelaku penodaan agama dibebaskan dari jerat hukum dan kembali menyebarkan ajarannya? Apakah hukum dapat mejamin tindakan anarkis tidak akan terulang ketika aliran dan ajaran sesat berkembang lagi pasca pernyataan taubat yang kamuflase? Tidak, hukum tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dalam sistem hukum pidana di Indonesia dikenal asas nebis in idem, bahwa seseorang tidak dapat dituntut atas tindak pidana yang sama. Jika demikian, apakah pendekatan demikian merupakan solusi yang tepat?

Ketika hukum akhirnya merumuskan kegiatan penyebaran aliran sesat dalam sebuah ketentuan pidana mengenai penodaan agama, Pasal 156a huruf (a) KUHP hanya mampu menyelesaikan kekacauan publiknya saja, tidak lebih. Karena ajaran sesat dalam anatominya melibatkan proses perenungan yang merupakan ciri filsafat, keyakinan yang mencirikan agama dan ilmu pengetahuan tentang manusia dan konsep berfikirnya (humaniora). Maka ketika hukum kewalahan, kondisi demikian bukanlah hal yang mengherankan, sebab antara dimensi hukum, agama dan filsafat adalah tiga dimensi yang jelas berbeda sejak semula. Hukum sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan adalah hasil olah pikir manusia megenai pengaturan hidup bersama dan lingkungannya. Sedangkan filsafat sebagai jalan pencarian kebijaksanaan (philo sofia), jauh berada di relung nomena perenungan yang bersifat abstrak dan simbolik. Adapun agama sebagai sebuah titik kehidupan yang menghubungkan manusia dengan penciptanya, mempunyai hukum, pola hubungan kebijaksanaan, dan sifat tersendiri dari segi illahiyah. Inilah kekeliruan langkah yang acapkali terjadi ketika semua beban penanganan penodaan agama dan maraknya aliran sesat diserakan hukum semata. Keterbatasan jangkauan hukum ini harus disadari oleh umaro (pemimpin bangsa) untuk selanjutnya menggandeng ulama (pemuka agama) memformulasikan solusi yang tepat.

Menilik salah satu modus operandi para pelaku penganut aliran sesat dalam penyebarannya adalah menelaah setiap ajaran agama yang ada, untuk selanjutnya dilemahkan dengan kondisi realitas yang ada. Pada titik ini dapat diketahui bahwa sisi idealitas umat beragama adalah poin yang dijadikan objek sasaran. Seharusnya dengan agama, umat menjadi tertata dan makmur adanya, namun dalam kenyataannya tidak demikian. Inilah salah satu alasan yang menjadikan para pelaku pengikut ajaran sesat tersebut berpandangan agama-agama yang saat ini ada tak lagi sempurna. Inilah sejatinya tugas ulama memberi pencerahan bahwa bukan agama yang tidak lagi sempurna setelah dinyatakan sempurna oleh Tuhan YME, tetapi kitalah para pemeluknya yang masih patut belajar banyak tentang agama kita. Terlalu sering perilaku, adab, dan akhlak umat beragama justru menutupi cahaya agama yang terang benerang. Jadi siapa yang tidak sempurna, agama atau kita selaku pemeluknya?

Untuk itulah kebersamaan ulama dan umaro dalam memperbaharui metode dakwah, pembumian visi misi yang jelas, serta ketauladanan yang bersahaja, adalah beberapa butir titik tekan yang selama ini terabaikan. Ceramah-ceramah agama satu arah antara mubalig kepada umatnya yang hanya berlangsung dalam seremonial resmi dan formal sudah saatnya ditambah dengan pendekatan yang cair dan disetiap lini. Komunikasi dua arah bahkan multi dimensi diharapkan menghindarkan penafsiran sendiri-sendiri oleh oknum yang sebenarnya memperturutkan hawa nafsunya dalam menelaah agama dan kepercayaannya. Visi misi yang kurang jelas tentang apa arti hidup dengan cahaya agama dalam kehidupan bersama, sudah saatnya dipugar sehingga seringnya tujuan yang redup dengan kekecewaan terhadap pemuka dapat diantisipasi. Pembangunan ruhiyah baik top down dari departemen dan lembaga penegak hukum yang kental dengan nilai moralitas dan spiritualitas, maupun bottom up di sektor masayarakat dan umat sudah saatnya ditumbuhkembangkan dalam keseharian. Mengubah orientasi masyarakat yang saat ini mulai jenuh dan frustasi menanti tauladan dari para pemimpin negeri, menjadi membangun diri sendiri untuk menjadi tauladan yang baik dilingkungannya, adalah lebih tepat kiranya. Karena jika ketauladanan dari elit yang ditunggu, maka kegamangan dan ketidakpastian yang akan menghampiri. Oleh sebab itu akan jauh lebih mudah menjadikan diri pribadi sebagai seorang yang berdedikasi tinggi untuk kebaikan negeri dari pada terus menunggu. Rating tinggi untuk beragam banyolan tentang para pemimpin negeri adalah salah satu indikasi yang mudah diamati. Rasa segan, enggan, maupun rasa percaya terhadap pemimpin sedikit demi sedikit luntur. Sementara di sisi lain, letupan emosi dan tindakan anarkis justru semakin cepat meninggi ketika sebuah isu menjalari kepentingannya. Beragam isu itu dapat berupa suku, agama, ras, antar golongan, maupun hal yang sepele seperti tawuran antar geng motor dan baku hantam antar suporter sepak bola. Sungguh bencana sosial yang lambat laun semakin bergelombang menghempas masa depan generasi mendatang yang sepatutnya tidak diwarnai dengan kekerasan dan sifat berpecah belah. Mau jadi apa bangsa ini ketika ancaman luar senantiasa menyerang sedangkan kesolidan internal semakin tercabik dengan perpecahan dan pengeroposan akidah dan moralitas bangsa?

Patut disadari bahwa bangsa yang mampu bertahan dalam persaingan global pada akhirnya adalah bangsa yang mampu memanagemen permasalahannya, mencari solusi atas problematika yang ada, dan menempuh jalur paling efektif dan efisien dalam penyelesaiannya. Semua penyelesaian secara ‘okol’ sudah saatnya ditransformasi menjadi penyelesaian menggunakan ‘akal’ yang jernih dan jauh dari anarki. Dialog yang mendalam dan penuh hikmah akan menuntun pada penyadaran atas ketersesatan dan penyimpangan. Karena kepastian hukum, keadilan masyarakat, dan kemanfaatan hukum, sejatinya akan sangat sulit diseimbangkan jika beban permasalahan hanya ditumpukan kepada hukum, tanpa pihak lain di segala lini ikut berperan.

Guru Polah Murid Kepradah (Telaah Yuridis Piagam Palsu dan Pengisian Kuota di Luar PSB On line)

Oleh

Muhammad Rustamaji

  

Mengenyam pendidikan pada lembaga pendidikan yang ternama, tentunya didambakan sebagai sebuah prestasi dan prestise yang membanggakan bagi para peserta didik. Proses belajar yang ditempuh dengan segenap asa terbayar sudah ketika jenjang yang dicita-citakan tercapai dengan hasil yang memuaskan, berkeadilan, serta terukur. Inilah kiranya yang melatarbelakangi pelaksanaan penerimaan siswa baru (PSB) secara on line di Kota Solo untuk periode ke dua. Prinsip utama yang coba diketengahkan dalam PSB on line yaitu transparansi, non-diskriminatif dan akuntabel menjadi pijakan dasar menuju akses pendidikan yang berkeadilan. Sehingga semangat kompetisi untuk menunjukkan prestasi yang terbaik menjadi ukuran yang menentukan keberlanjutan pendidikan seorang siswa. Lebih jauh, cita-cita mulia akan kemudahan akses pendidikan yang berkualitas bagi semua anak bangsa dapat direalisasikan.

Mencermati terbongkarnya kasus piagam palsu di salah satu SMP negeri Surakarta dan pengisian kuota di luar PSB di salah satu SMU negeri Surakarta, sudah sepatutnya menjadi keprihatinan bersama. Betapa tidak, begitu besar perhatian yang curahkan berbagai pihak untuk menyusun sebuah sistem penerimaan siswa baru yang diupayakan lebih memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, begitu mudah dicederai. Keterlibatan oknum pendidik dan pengawas yang diharapkan turut menjaga suksesnya program ini menjadi gamang dirasakan. Perilaku illegal semacam ini sebenarnya sangat merugikan banyak pihak, terlebih bagi siswa yang dipaksakan menerobos jalur di luar PSB on line. Beban moral, psykologis, bahkan sanksi sosial yang harus diterima sang anak ketika kasus terbongkar, acapkali kurang diperhitungkan oleh orang tua atau oknum pendidik yang memaksakan sang anak masuk ke sebuah lembaga pendidikan di luar jalur yang telah ditentukan. Sanksi hukum yang merupakan norma paling tegas, agaknya juga diabaikan oleh para pelaku. Pemanfaatan teknologi informasi yang memungkinkan setiap orang dimanapun dan kapanpun memantau dan mencermati pelaksanaan PSB on line, tampaknya juga tidak diperhatikan. Sehingga kecurangan demi kecurangan dalam PSB on line kembali terjadi seakan tidak ada para pihak yang mencermati.

Dalam kacamata yuridis, pemalsuan piagam maupun pengisian kuota di luar PSB on line, termasuk dalam tindak pidana yang merupakan perbuatan melawan hukum dan mengganggu ketertiban umum. Tentu saja para pelakunya disamping dapat dijatuhi sanksi administratif sesuai ketentuan instansi yang bersangkutan, dapat pula di kenai sanksi pidana sesuai hukum yang berlaku. Parameter adanya kesalahan (liability based on mistake) dan kemampuan bertanggungjawab (criminal responsibility) dari pelaku merupakan fokus kajian ketika hukum pidana dijadikan pisau analisis terhadap kedua permasalahan ini.

Berkenaan dengan pemalsuan piagam, tindakan pelaku dapat diformulasikan sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP yaitu melakukan tindak pidana “membuat surat palsu” atau “memalsukan surat”. Ancaman hukuman yang mencapai enam tahun penjara sepatutnya menimbulkan efek jera bagi pelaku. Hal ini disebabkan pemalsuan surat berdampak pada ‘timbulnya hak’ yang di satu sisi menguntungkan pelaku dan kliennya, sementara di sisi lain menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Dalam hal ini kuota yang seharusnya menjadi hak siswa lain yang mempunyai standar nilai yang dibutuhkan, menjadi hilang akibat perbuatan pelaku. Sedangkan mengenai pengisian kuota di luar PSB on line, dapat diformulasikan sebagaimana diatur dalam Pasal 416 KUHP yaitu pegawai negeri yang memalsukan buku atau daftar yang semata-mata digunakan untuk pemeriksaan (controle) administrasi. Tindak pidana yang dilakukan pelaku dapat digolongkan sebagai kejahatan yang dilakukan dalam jabatan dengan ancaman empat tahun penjara. Dalam hal ini tindakan pelaku menjadi penyebab ambiguitas status siswa yang secara de yure terdaftar sebagai siswa SMU negeri yang lain di Surakarta, namun secara de facto mengenyam pendidikan sebagai siswa di SMU negeri tersebut. Berdasarkan analisis yuridis tersebut, dengan demikian empat unsur kesalahan, yaitu (1) melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum), (2) di atas umur tertentu untuk menjamin kemampuan bertanggung jawab, (3) mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa), serta (4) tiadanya alasan pemaaf, menempatkan pelaku sebagai subyek hukum (adresat)  yang dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur di dalam KUHP.

Alternatif Solusi

Lalu bagaimana solusi yang dapat ditempuh jika kondisi demikian telah terjadi?. Solusi ini tentunya harus membedakan cakupan kepentingan para pelaku, maupun bagi siswa yang bersangkutan. Dalam kasus ini dapat dikatakan terjadi fenomena ‘guru polah murid kepradah’, sehingga siswa yang bersangkutan justru harus dilindungi kepentingan pendidikannya. Menurut hemat penulis, bagi para pelaku tentu saja kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi salah satu solusi agar tindakan semacam ini tidak terulang kembali di masa mendatang. Sementara bagi siswa yang bersangkutan, dapat ditempuh beberapa upaya yang bersifat protektif bagi keberlangsungan pendidikannya. Alternatif pertama yang dapat ditempuh adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk tetap menempuh pendidikan selama satu semester, untuk selanjutnya orang tua mengajukan pemindahan siswa yang bersangkutan. Cara ini dapat dinilai sebagai sebuah upaya kompromistis untuk menengahi kepentingan siswa akan pendidikan, ketentuan pengaturan pemindahan siswa, serta mencegah guncangan psykologis yang besar bagi siswa. Patut di sadari bahwa siswa dalam hal ini adalah korban dari kepentingan yang menggelayutinya. Sehingga apapun bentuk kesalahan yang telah di lakukan, tidak sepantasnya memberangus kesempatan mengecap pendidikan baginya. Namun dari aspek penegakan hukum, solusi ini mempunyai kelemahan berkenaan dengan efek jera dan pembelajaran bagi publik atas kesalahan yang terjadi.

Sementara alternatif solusi yang lebih tegas dapat ditempuh melalui regulasi di tingkat lokal dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Walikota. Melalui relulasi inilah siswa ditempatkan sesuai dengan tingkat capaian nilai setelah dikurangi dengan nilai piagam yang dipalsukan, maupun sesuai pendaftaran on line yang telah dilakukan. Namun perlu diingat bahwa solusi ini akan membawa guncangan psykologis dan sanksi sosial yang cukup tinggi terhadap pelaku maupun siswa selaku korban. Inilah konsekuensi  yang harus dipikul ketika target efek jera dan pembelajaran publik yang ingin dicapai dalam penyelesaian permasalahan ini.

Jauh dari sikap untuk menghakimi, tulisan ini hanya ingin menegaskan bahwa ‘sesuatu harus ditempatkan sesuai pada tempatnya’. Sehingga cita-cita luhur melalui beragam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah memberikan kemanfaatan, keadilan, serta kepastian hukum yang jelas. Berkait dengan tindakan yang melibatkan oknum pendidik, semestinya tindakan kurang terpuji di atas dapat dihindarkan. Karena ketika mencermati di dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) dapat ditemukan beragam kemudahan yang sebenarnya memberikan kesempatan bagi putra-putri guru dan dosen dalam mengenyam pendidikan. Beragam kesempatan itu dapat berupa beasiswa maupun bantuan pendidikan tanpa harus bersikap diskriminatif sebagaimana tindakan di atas. Penulis juga merasa prihatin jika putra-putri guru maupun dosen justru tidak dapat mengenyam pendidikan hingga jenjang yang tertinggi. Sementara para guru dan dosen dengan dedikasi yang tinggi mengerahkan segenap pikiran, jiwa raga, bahkan harta benda yang dimiliki untuk menopang keserlangsungan anak didiknya di bangku pendidikan. Namun sekali lagi bermacam upaya mulia tersebut tidak perlu diwarnai dan menjadi ternoda dengan pencederaan terhadap sistem yang disepakati bersama. Semoga moralitas yang mulia senantiasa tersemat pada profesi pendidik, karena gurulah yang memberikan warna kemajuan dan keberhasilan suatu bangsa melalui karya dan dedikasi kerja yang tinggi.

Wibawa Bangsa di Sudut Kelingking Tetangga (Kajian Strategi Penangkalan (Deterrence) Vs Operasi Intelejen Asing)

oleh:

Muhammad Rustamaji 

Jelang hari fitri yang segera menghampiri, agaknya kekhusukan tersebut harus terusik dengan ulah tidak bersahabat negara tetangga kita, Malaysia. Setelah sengketa batas wilayah di Sipadan-Ligitan dan Blok Ambalat, baru-baru ini mencuat kepermukaan perselisihan mengenai hak cipta lagu ‘Rasa Sayange’ yang dijadikan jingle promosi pariwisata, Malaysia Truly Asia. Belum lagi temuan seperangkat universal monitoring sistem (UMS) oleh Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta yang mengindikasikan berlangsungnya operasi intelejen Malaysia dengan memanfaatkan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta sebagai pusat operasinya. Temuan ini menjadi penting dan seakan memperoleh momentum yang tepat di saat hubungan ke dua negara semakin merenggang. Pertanyaan yang patut dikemukaan kemudian adalah, mengapa silang sengketa acapkali terjadi diantara kedua bangsa yang katanya serumpun ini? Mengapa pula akibat tindakan yang bersifat provokatif tersebut martabat Bangsa Indonesia justru semakin terpuruk?.  

Berpijak pada pola hubungan bernegara yang pada gilirannya memunculkan pertemuan kepentingan nasional, setidaknya dapat dikemukakan tiga kemungkinan yang berbeda. Pertama, kepentingan nasional antar negara berlangsung sejalan (harmonic), atau kedua, saling bekerjasama (cooperative), tetapi bisa juga potensi ketiga, terjadi benturan (conflict). Ketika mencermati berulangnya silang sengketa Indonesia-Malaysia dalam beragam varian yang berbeda, menurut hemat penulis, mengindikasikan adanya upaya sitematis masuknya kepentingan nasional negara asing dalam jangka waktu tertentu untuk menekan kepentingan negara lainnya. Terjadinya tekanan (pressure) kepentingan nasional terhadap kepentingan nasional negara lain ini tidak terlepas dari bergesernya kesetaraan antar bangsa dalam relasinya. Pudarnya kesetaraan ini dapat diakibatkan karena prestasi maupun prestise suatu bangsa terhadap bangsa lain. Turunnya wibawa bangsa akibat lemahnya strategi pertahanan yang diterapkan, kebijakan pemimpin bangsa yang dijalankan, pencitraan yang semu tanpa daya tawar, atau sebaliknya karena kemajuan pesat di berbagai sektor yang dicapai suatu bangsa, merupakan beberapa faktor pemicu fluktuasi kesetaraan ini. Pada akhirnya potensi konflik bermunculan karena kepentingan nasional yang berbeda tidak dapat dikomunikasikan dan dipadupadankan. 

Mengerucut pada dugaan operasi intelejen yang dijalankan negara tetangga dengan arah tujuan keuntungan bisnis dan militer, sesungguhnya bukanlah merupakan hal yang baru. Dikatakan demikian sebab operasi intelejen memang merupakan bagian dari agenda yang dijalankan oleh setiap negara untuk mengindera ancaman-ancaman yang potensial dihadapi. Ancaman dalam hal ini mencakup niat (intention), kemampuan (capability), dan keadaan (circumstance) yang diarahkan untuk menimbulkan dampak kerusakan (damages). Definisi kerusakan di sini tidak sebatas pada kerusakan fisik semata, namun dapat meluas sampai pada hilangnya core values dan martabat bangsa, atau bahkan hingga taraf menurunya ’derajat’ kedaulatan suatu bangsa. Dalam banyak kasus selayaknya Indonesia belajar bahwa saat ini pihak asing sudah tidak merasa sungkan, khawatir, apalagi takut dengan kekuatan militer Indonesia. Bentuk kerusakan fisik seperti hilangnya wilayah di Sipadan-Ligitan, atau kasus hilangnya pengendalian terhadap suatu wilayah seperti yang terjadi di Blok Ambalat yang ditindaklanjuti dengan pemberian konsesi minyak (production sharing contracts) oleh Pemerintah Malaysia kepada Shell melalui Petronas, merupakan bukti konkrit di lapangan. Belum lagi kasus pencurian ikan (illegal fishing), maritim terrorism hingga beberapa kasus penganiayaan TKI, deportasi imigran asal Indonesia, pencekalan keimigrasian dan beberapa bentuk kekerasan kepada Warga Negara Indonesia maupun pelanggaran hak kekayaan intelektual seperti motif batik dan foklor Indonesia di negeri jiran tersebut, semakin menunjukkan bentuk kerusakan yang telah menyentuh hingga ketataran hilangnya core values dan martabat bangsa.  

Mengapa hal demikian terjadi? Jawaban taktis yang dapat dikemukakan adalah bahwa wibawa Bangsa Indonesia saat ini berada pada titik nadir dalam perspektif negara tetangga. Salah satu faktor penyebabnya berkait dengan sistem pertahanan dan kondisi militer Indonesia yang saat ini secara fisik maupun mental masih berada dalam kondisi lemah. Penghujatan sebagai pelanggar HAM di masa lalu kepada militer hingga keterbatasan anggaran untuk memenuhi kebutuhan standar minimal kemiliteran menjadi indikatornya. Seharusnya penindakan terhadap pelangaran HAM oleh militer di masa lalu dilaksanakan secara berkeadilan dan proporsional. Jangan dilupakan pula bahwa fungsi pertahanan negara harus didukung guna meredam bahkan menghilangkan ancaman yang ada. Sebab perlu disadari bahwa peran politik (kebijakan) dan ekonomi (pendanaan) di samping peran elemen bangsa yang lain, dalam mendukung penciptaan militer yang kuat demi kedaulatan negara menempati porsi yang penting. Penghujatan kepada militer sebagai pelanggar HAM inilah yang kemudian di manfaatkan negara asing untuk mengembargo persenjataan militer Indonesia. Tekanan ini semakin berlipat ganda ketika situasi perpolitikan juga tidak memungkinkan militer mengembangkan diri menjadi sebuah kekuatan profesional yang kuat dan disegani. Pada tahap selanjutnya, lemahnya kekuatan militer ini berdampak pula pada lemahnya strategi pertahanan guna menangkal ancaman yang menghadang. Sebagai gambaran, selain kekuatan militer Amerika Serikat, saat ini di kawasan Asia Pasifik khususnya di Asia Tenggara, kekuatan militer yang di pandang ‘berotot’ adalah pakta militer Five Power Defense Agreement yang di prakarsai oleh Inggris, Australia, Malaysia, Singapura, dan New Zeland.  

Mencermati peran militer sebagai elemen pertahanan negara, dapat dikemukakan tiga fungsi dari strategi pertahanan yang disebut sebagai upaya penangkalan (deterrence). Tiga fungsi tersebut adalah penyampaian pesan, penggambaran kemampuan, dan kepentingan nasional yang harus diperhitungkan pihak asing. Kemampuan menyampaikan pesan dan penggambaran kemampuan inilah yang pada akhirnya menunjukkan kepentingan nasional apa yang tidak dapat diganggu gugat oleh pihak asing. Melalui upaya penangkalan ini, disampaikan pesan kepada pihak asing bahwa dengan kemampuan (power) yang dimiliki, dapat ditimbulkan suatu balasan hingga pada taraf kerusakan yang jauh diluar dugaan musuh, ketika kepentingan nasional Indonesia dicederai. Inti dari penyampaian ‘pesan’ ini adalah pembentukan kesan psikologis bahwa mencoba melakukan operasi militer baik secara terbuka maupun terselubung (operasi intelejen) berakibat pada kerugian yang bakal diderita oleh pihak asing tersebut. Rangkaian pesan ini tentunya akan mencapai target kesan yang dinginkan ketika pesan ini dapat dibaca oleh pihak asing melalui beragam cara dengan dilengkapi kekuatan penggetar yang nyata. Sisi inilah yang harus dicermati para pengambil kebijakan negara. Jika mempelajari dinamisasi perang dingin antara Amerika Serikat-Unisoviet, terdapat tiga jenis kekuatan penggetar yang dikembangkan yaitu nuclear warfare, conventional warfare, dan inconventional warfare. Bagi Indonesia dengan keterbatasan yang ada, kekuatan penggetar ini dapat diciptakan melalui opsi kedua dan ketiga. Sebab untuk menciptakan arsenal nuklir dalam konsepsi nuclear warfare masih terlampau jauh dan belum tentu efektif. Berdasarkan paparan tersebut, dapat ditarik sebuah garis tegas bahwa pembentukan pesan, kekuatan penggetar dan kepentingan nasional memegang peran penting dalam upaya penangkalan terhadap ancaman asing. Pada kasus dugaan operasi intelejen dengan ditemukannya universal monitoring sistem ini, harus dipikirkan tentang kepentingan nasional apa yang tidak dapat ditawar-tawar sehingga kebijakan penguatan strategi pertahanan nasional dapat dipahami oleh seluruh elemen bangsa. Perlu ditekankan pula mengenai kekuatan penggetar (power) apa yang patut dikembangkan sehingga pesan dan kesan yang menciutkan nyali kepentingan asing terhadap kepentingan nasional Indonesia dapat efektif berjalan. Lebih jauh penguatan sistem intelejen yang bekerja melalui tiga perangkat, yaitu human intelligence, elektronik intelligence dan imagery intelligence selayaknya dipertajam guna mengungkap niat (intention), kemampuan (capability), dan keadaan (circumstance) asing yang diarahkan untuk menimbulkan dampak kerusakan (damages) bagi kepentingan nasional Indonesia. 

Untuk itulah reorientasi penataan strategi pertahanan nasional dan upaya penangkalan dalam konsep geopolitik dan geostrategi berkenaan dengan dislokasi geografi Indonesia yang luas dan masih mempunyai banyak titik rawan (vulnerable points) perlu mendapat perhatian serius. Bila dicermati, Indonesia dengan rangkaian kepulauan yang mencapai 17.000 pulau sebenarnya berpotensi untuk digali nilai strategisnya. Posisi geografis yang berada pada persimpangan lalu lintas dunia selayaknya disyukuri dengan peningkatan profesionalisme aparatur negara dengan dukungan dari seluruh elemen bangsa dalam menjaga keutuhan kepentingan nasional. Sebab tidaklah mungkin menjaga luasnya wilayah negara dengan perangkat yang minimalis dan tanpa dukungan (politik dan ekonomi) dari seluruh elemen bangsa demi terwujudnya sistem pertahanan yang kuat dan disegani. Sehingga harapan wibawa bangsa dapat kembali terangkat tanpa harus berteriak-teriak “Ganyang Malaysia!!!” dapat diwujudkan melalui keberanian para pemimpin bangsa mengambil kebijakan, serta sikap dan mentalitas profesional seluruh elemen bangsa, dalam penciptaan kekuatan militer yang disegani menjadi pilar-pilar yang saling menguatkan. Semoga.


Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Blog Stats

  • 32.621 hits

Flickr Photos