Legal Fee Vs Money Laundering

Kedudukan Advokat yang Menerima Legal fee Sesuai Ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dari Klien yang Menjadi Tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Kerangka Subyek Hukum yang Dapat Dipidana Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003

Oleh

     Muhammad Rustamaji  

Mencermati kembali bunyi Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, secara tersurat dapat diketemukan adanya sebuah pengaturan pemberlakuan undang-undang ini terhadap subyek hukum yang dikenainya.“Pasal 6 (1) setiap orang yang menerima atau menguasai a).penempatan, b).pentransferan, c).pembayaran, d).hibah, e).sumbangan, f).penitipan, g).penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah)”Ketentuan Pasal 6 tersebut agaknya menjadi semacam ‘asas legalitas’ terhadap semua pihak yang menerima kucuran uang hasil tindak pidana pencucian uang. Sedangkan pengecualiannya hanya berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melakukan kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan (STR) dan transaksi keuangan tunai (CTR). Namun demikian, apakah penasehat hukum atau advokat yang menerima pembayaran jasa hukum (legal fee) dari terdakwa kasus pencucian uang secara langsung dapat pula digolongkan sebagai adresat atau subyek hukum yang dapat dipidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 ini? Sementara payung hukum yang berbeda justru memberikan pelegalan atas adanya legal fee ini? Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan kebolehan adanya legal fee ini tanpa adanya batasan, tidak terkecuali terhadap klien yang merupakan terdakwa tindak pidana pencucian uang. Hal senada juga dapat ditemukan dalam pengaturan Kode Etik Profesi Advokat Indonesia Pasal 2 butir 2.8 dan butir 2.9 serta Pasal 3 butir 3.6.“Pasal 21 (1) Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya. (2) Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak”“Pasal 2 (2.8) Advokat harus menentukan honorarium dalam batas-batas yang layak dengan mengingat kemampuan klien” (2.9) Advokat tidak dibenarkan dengan sengaja membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu”“Pasal 3 (3.6) Jika klien hendak berganti advokat, advokat yang baru dipilih tadi dapat menerima perkara itu setelah terlebih dahulu advokat yang lama memberikan keterangan bahwa klien telah memenuhi semua kewajibannya terhadap advokat yang lama termasuk kewajiban keuangan (legal fee)”Ketika terjadi benturan norma sebagai akibat kekosongan hukum yang membatasi keberlakuan legal fee advokat terhadap tindak pidana pencucian uang ini, maka korelasi terhadap siapa adresat atau subyek hukum yang dikenai dalam sebuah peraturan perundangan menjadi fokus yang penting. Dalam hal ini penentuan adresat atau subyek hukum dalam suatu ketentuan perundangan tentunya mempunyai persyaratan yang diatur dalam sistem hukum yang berlaku, tidak terkecuali di Indonesia. Berpijak pada perspektif ketentuan hukum pidana (penal), seseorang dapat dikenai sanksi pidana sebagai subyek hukum atas suatu peraturan perundangan didasari dengan norma tidak tertulis “geen straf zonder schuld; actus nonfacit reum nisi mens sir rea (tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan)”. Dasar ini berkait erat dengan kemampuan seseorang bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukannya. Oleh sebab itu ketika pembahasan mengenai advokat yang menerima legal fee atas jasa hukum yang ia berikan terhadap klien yang notabene terdakwa tindak pidana pencucian uang, harus pula diuji dan dikaji menggunakan parameter adanya kesalahan (liability based on mistake) dan kemampuan bertanggungjawab (criminal responsibility).

1.      Indikator tentang Adanya Kesalahan

Mengacu pada pandangan Simon, kesalahan merupakan adanya keadaan fisik yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa unsur yang dapat melengkapi sebuah perbuatan dikatakan mengandung unsur kesalahan, yaitu (1) melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum), (2) di atas umur tertentu untuk menjamin kemampuan bertanggung jawab, (3) mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa), (4) tiadanya alasan pemaaf.Jika beberapa indikator adanya kesalahan ini peneliti gunakan dalam penguji penerimaan pembayaran legal fee oleh advokat atas jasa hukum yang diberikan kepada kliennya yang notabene merupakan tersangka tindak pidana pencucian uang, maka dapat ditunjukkan ketentuan hukum yang meniadakan indikator kesalahan tersebut.Dalam menjalankan tugas profesionalnya, advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum. Bahkan kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. Mencermati politik hukum diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ini dapat diketahui bahwa fungsi advokasi yang dilakukan seorang advokat dalam melaksanakan tugas sebagai salah satu dari empat pilar penegak hukum termasuk dalam melaksanakan undang-undang. Dengan demikian ketentuan Pasal 50 KUHP berlaku bagi seorang advokat dalam menjalankan tuganya. Ketentuan ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.“Pasal 50 barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana (KUHP)” dan “Pasal 16 Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan (UU No.18/2003)”. Dengan demikian perbuatan memberikan bantuan hukum bagi klien meskipun sang klien merupakan tersangka / terdakwa tindak pidana pencucian uang merupakan alasan pembenar tindakan advokat yang bersangkutan. Keberadaan alasan pembenar ini sebenarnya sudah cukup untuk mengeluarkan profesi advokat dari adresat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam hal ini diletakkan suatu prinsip, bahwa apa yang telah diharuskan atau diperintahkan oleh undang-undang tidak mungkin untuk diancam hukuman dengan undang-undang yang lain. Yang dimaksud dengan undang-undang dalam hal ini mencakup seluruh ketentuan hukum atau peraturan yang dibuat oleh suatu badan pemerintahan yang diberi kekuasaan untuk membuat undang-undang. Ketika prinsip ini disimpangi maka yang terjadi adalah tumpangtindihnya pengaturan suatu permasalahan hukum yang bermuara pada tidak singkronnya peraturan perundangan dalam sebuah sistem perundang-undangan, baik secara vertikal maupun horisontal.

Tabel 1. Singkronisasi Ketiadaan Unsur Kesalahan dalam Tugas Advokasi Profesi Advokat

UU Nomor 25 Tahun 2003 UU Nomor 18 Tahun 2003
Pasal 6 (1) setiap orang yang menerima atau menguasai a).penempatan, b).pentransferan, c).pembayaran, d).hibah, e).sumbangan, f).penitipan, g).penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah) Pasal 50 KUHP Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana
Pasal 6 (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiaban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Pasal 16 Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan
Pasal 18 (2) Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
Pasal 21 (1) Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.
Pasal 21 (2) Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
Kode Etik Profesi Advokat IndonesiaBagian II Hubungan dengan Klien
Bagian II Pasal 2 butir 2.8 Advokat harus menentukan honorarium dalam batas-batas yang layak dengan mengingat kemampuan klien
Bagian II Pasal 2 butir 2.9 Advokat tidak dibenarkan dengan sengaja membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu
Bagian III Hubungan dengan Teman Sejawat
Bagian III Pasal 3 butir 3.6 Jika klien hendak berganti advokat, advokat yang baru dipilih tadi dapat menerima perkara itu setelah terlebih dahulu advokat yang lama memberikan keterangan bahwa klien telah memenuhi semua kewajibannya terhadap advokat yang lama termasuk kewajiban keuangan (legal fee)

2.      Indikator tentang Kemampuan Bertanggungjawab

Kemampuan bertanggungjawab sebenarnya dapat disamakan keadaannya dengan unsur sifat melawan hukum. Hal ini disebabkan keduanya merupakan syarat mutlak, di satu sisi adanya sifat melawan hukum menjamin adanya suatu rumusan dilarangnya suatu perbuatan, sedangkan kemampuan bertanggungjawab menunjukkan adanya unsur kesalahan.Berkenaan dengan perbuatan menerima legal fee sebagai bentuk hak yang boleh dilakukan ketika bantuan hukum sudah diberikan dengan ukuran yang wajar dan disepakati kedua belah pihak, sama sekali berbeda dengan melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, sehingga tidak serta merta memenuhi ketentuan sifat melawan hukum melakukan tindak pidana. Hal demikian disebabkan adanya ranah yang berbeda ketika perjanjian kesepakatan antara advokat dan klien dibuat. Disatu sisi perjanjian memberikan bantuan hukum merupakan ranah hukum privat atau perdata, yang mengatur permasalahan person antara advokat dengan sang klien. Jika terdapat sifat melawan hukum dalam perjanjian tersebut maka berlaku baginya Pasal 1365 BW (Barangsiapa dengan perbuatan melawan hukum menimbulkan kerugian pada orang lain, harus mengganti kerugian tersebut apabila diminta oleh yang menderita kerugian tadi). Sedangkan tindakan menerima atau menguasai harta kekayaan sebagimana diatur dalam Pasal 6 merupakan ranah hukum pidana. Ketentuan Pasal 6 ini menunjuk secara jelas bahwa seseorang yang menerima harta kekayaan yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana berkedudukan hukum sebagai subyek hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP namun tingkatannya dipersamakan sebagai pelaku (pleger) tindak pidana pencucian uang, bukan lagi sebagai orang yang menyuruh lakukan (doen plegen), orang yang turut serta melakukan (medepleger) maupun penganjur / orang yang membujuk melakukan (uitlokker) perbuatan pidana pencucian uang Lebih jauh implikasi yang ditimbulkan dari perbedaan kedua ranah hukum ini adalah mengenai perbedaan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Dengan demikian terdapat dua pandangan mengenai sifat melawan hukum dalam perspektif hukum pidana dan hukum perdata.  Dalam kacamata hukum pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum dibagi menjadi dua pandangan yaitu sifat melawan hukum yang formil dan sifat melawan hukum yang materiil. Pandangan yang formal menyatakan apabila suatu perbuatan telah memenuhi larangan undang-undang, maka terdapat suatu kekeliruan / kesalahan. Letak melawan hukumnya perbuatan sudah nyata dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk dalam pengecualian yang telah ditentukan undang-undang pula. Sebaliknya yang berpendapat sifat melawan hukum secara materiil menyatakan bahwa belum tentu semua perbuatan yang memenuhi larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Dalam hal ini undang-undang tidak terbatas pada apa yang tertulis semata, namun termasuk norma-norma dan kenyataan-kenyataan yang berlaku di dalam masyarakat. Berdasarkan kedua perspektif hukum pidana baik secara formil maupun materiil tersebut, dapat dijelaskan mengenai dilarangnya suatu tindak pidana (criminal act) ini tentunya sangat berkait dengan asas legalitas. Asas ini menetukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan (nullum delictum nulla poena sine previa lege poenale). Dengan demikian legal fee tentunya tidak dapat dianalogikan sama dengan kegiatan menerima harta kekayaan yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Terlebih prasyarat adanya pengecualian pengaturan secara formil pada payung hukum perundangan lain juga terpenuhi mengenai legalitas legal fee ini yang dijamin dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Sehingga ketentuan Pasal 6 tidak menjadi semacam ‘asas legalitas’ terhadap tugas profesional advokat yang menjalankan fungsi advokasi terhadap kliennya yang memberikan legal fee sebagai sebuah hak. Dalam tataran norma dan kenyataan-kenyataan yang berlaku di dalam masyarakatpun kelaziman menerima legal fee sebagai hak yang diperjanjikan secara wajar bukan merupakan sesuatu yang dicela di tengah masyarakat. Dengan demikian profesi advokat beserta legal fee yang diterimanya tidak memenuhi sifat melawan hukum yang formil dan materiil dalam perspektif hukum pidana. Hal ini terlepas dari bermacam pandangan sinis mengenai keterpurukan citra advokat saat ini yang etos kerja profesionalnya digambarkan telah dikalahkan oleh gemerlapnya konsumerisme dan komersialisasi yang secara sengaja atau tidak sengaja menabrak harmonisme administration of justice system.Berbeda dengan sifat melawan hukum dalam perspektif hukum pidana yang sebagian besar termuat dalam KUHP maupun peraturan hukum lainnya, sifat melawan hukum dalam perspektif hukum perdata justru tidak ditentukan secara tegas. Sehingga setiap perbuatan melawan hukum dapat dikategorikan dalam hukum perdata selama pihak yang menderita kerugian meminta penggantian kerugian terhadap orang yang menimbulkan kerugian tersebut. Secara lebih jelas ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1365 KUHPdt (BW), yaitu “Barangsiapa dengan perbuatan melawan hukum menimbulkan kerugian pada orang lain, harus mengganti kerugian tersebut apabila diminta oleh yang menderita kerugian tadi”.  

1 Tanggapan to “Legal Fee Vs Money Laundering”



Tinggalkan komentar




Oktober 2007
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  

Blog Stats

  • 32.621 hits

Flickr Photos