Archive for the 'Uncategorized' Category

Bagaimana Formulasi Hukum Kita Mengatur Illegal Logging?

Oleh:

Muhammad Rustamaji

   

Hukum pidana sebagai salah satu sarana penegakan hukum, menempati posisi yang penting dalam upaya pendayagunaan hukum. Salah satu dari peran pendayagunaan sarana penal tersebut adalah pengaturan dalam tahap formulasinya.

Berikut ini akan dideskripsikan mengenai ketentuan pidana dari perundang-undangan yang merupakan konsepsi tahap formulasi lex specialis terhadap urusan-urusan di bidang kehutanan dan yang menjadi dasar hukum dalam penegakan hukum pidana (penal) terhadap penebangan liar (illegal logging), yaitu antara lain;

a.     Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragaraf ke-18 UU No.41 Tahun 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi juga ditujukan kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan sehingga timbul rasa enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidana yang berat.

Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999 yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini dapat pula dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat dicermati dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 UU No.41 Tahun 1999.

Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan penebangan liar (illegal logging) berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 antara lain sebagai berikut;

Tabel 1. Ketentuan Pidana dalam UU No.41 Tahun 1999

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (Pasal 50 (1)). Barang siapa dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang yang diberikan ijin pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta ijin pemungutan hasil hutan kayu danbukan kayu. Dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 (2)). Barang siapa yang melanggarketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:a.  500 (lima ratus) meter dari tepi waduk dan danaub.  200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawac.   100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungaid.  50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungaie.  2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurangf.    130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai (Pasal 50 ayat (3) huruf c)Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang dilarang untuk menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf e). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Menerima, membeli, atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 5 ayat (3) huruf f). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 50 ayat (3)huruf h). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000.- (sepuluh milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (6)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000.- 
Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan diguanakn untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3)huruf j). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (8)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf k). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000.- (satu milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (9)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000.- 
Negara melakukan perampasan terhadap hasil hutan dan alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran (Pasal 78 ayat (15)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman perampasan terhadap hasil hutan dan alat-alat yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran

Berdasarkan uraian tentang formulasi ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 di atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu;

1)    Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan

2)    Kegiatan yang keluar dari ketentuan perijinan sehingga merusak hutan

3)    Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang

4)    Menebang pohon tanpa ijin

5)    Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan ilegal

6)    Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)

7)    Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa ijin

Menelaah rumusan tentang unsur-unsur ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut, terdapat beberapa kelemahan yang diakibatkan adanya sifat selektifitas dari ketentuan hukum ini. Sasaran penegakan hukum dalam ketentuan pidana tersebut belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku kejahatan penebangan liar (illegal logging). Rumusan unsur-unsur pidana seperti diuraikan di atas memang sangat efektif untuk diterapkan kepada pelaku terutama masyarakat yang melakukan pencurian kayu tanpa ijin atau masyarakat yang diupah oleh pemodal untuk melakukan penebangan kayu secara ilegal dan kepada pelaku pengusaha yang melakukan pelanggaran konsesi penebangan kayu ataupun yang tanpa ijin melakukan operasi penebangan kayu. Akan tetapi perkembangan kasus penebangan liar (illegal logging) saat ini justru diindikasikan banyak melibatkan oknum pejabat pemerintah termasuk oknum pejabat pemerintah daerah, oknum pegawai negeri sipil, oknum TNI dan Polri serta oknum pejabat penyelenggaraan negara lainnya yang justru menjadi bagian dari pelaku intelektual dalam penebangan liar (illegal logging) belum dapat terjangkau oleh ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut.

Keterlibatan pegawai negeri sipil maupun militer, oknum pejabat serta oknum aparat pemerintah atau penegak hukum lainnya baik selaku pemegang saham dalam perusahaan penebangan kayu, maupun yang secara langsung melakukan kegiatan bisnis kayu, acapkali lolos dari jeratan hukum, sehingga efek selanjutnya adalah tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Subyek hukum (adresat) dalam tindak pidana kehutanan sebagaimana yang diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut, terbatas pada orang dalam pengertian baik orang pribadi (persoon), badan hukum, maupun bahan usaha, akan tetapi belum mengatur perbuatan yang dilakukan oleh korporasi dan pegawai negeri, demikian juga pengaturan sanksi tambahan terhadap pelaku individu dan korporasi.

Secara tegas UU No.41 Tahun 1999 belum memberikan definisi tentang penebangan liar (illegal logging), belum mengatur tentang tindak pidana korporasi, tindak pidana penyertaan, dan tindak pidana pembiaran (omission), terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas kejahatan penebangan liar (ilegal logging). Oleh karena itu, hal tersebut menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku kejahatan penebangan liar (ilegal logging) yang secara tegas tidak diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut. Pada akhirnya dalam upaya penegakan hukum, pelaku-pelaku tersebut dimungkinkan untuk lolos dari tuntutan hukum. Terkait dengan perkembangan kejahatan penebangan liar (ilegal logging) sebagaimana dicermati dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini tidak cukup efektif atau dapat dikatakan tidak dapat mengakomodasi perkembangan kehajatan penebangan liar (ilegal logging) yang berkembang dari masa-kemasa. 

b.     Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

Pengaturan pidana dalam UU No.5 Tahun 1990 ini diatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi pidana ada tiga macam yaitu pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) sedangkan sanksi pidana terhadap pelanggaran diatur dalam Pasal 40 ayat (3) dan (4) UU No.5 Tahun 1990, sedangkan unsur-unsur perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, Pasal 21 dan Pasal 33.

Tabel 2. Ketentuan Pidana dalam UU No.5 Tahun 1990

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap; keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-baginnya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau diluar Indonesia (Pasal 21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.-
Barang siapa karena kesalahannya melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap; keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.- (seratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (3)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-baginnya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau diluar Indonesia (Pasal 21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.- (lima puluh juta rupiah) (Pasal 40 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.-

Unsur-unsur pidana yang terkait dengan kegiatan penebangan liar (illegal logging) dalam undang-undang di atas antara lain;

1)    Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian yang mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan tersebut khusus pada kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata.

2)    Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, memperniagakan dan menyelundupkan hasil hutan, namun demikian ketentuan tersebut khusus terhadap hasil hutan berupa tumbuhan yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam kepunahan (Penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU No.5 Tahun 1990)

Berdasarkan rumusan ketentuan pidana dalam UU No.5 Tahun 1990 tersebut, maka dapat dipahami bahwa UU No.5 Tahun 1990 hanya secara khusus mengatur mengenai kajahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis tumbuhan tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) hanya sebagai instrumen pelengkap atau sebagai pasal lapisan tuntutan (subsidaritas) dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penebangan liar (illegal logging). Dan perlu diperhatikan bahwa ketentuan tersebut hanya dapat berfungsi jika unsur-unsurnya terpenuhi.

c.      Ketentuan Pidana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985

Ada dua jenis pidana berdasarkan Pasal 18 PP No.28 Tahun 1985 yaitu kejahatan dan pelanggaran sedangkan sanksi pidananya ada empat macam, yaitu pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran. Ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut diatur dalam Pasal 18, yang akan diuraikan sebagai berikut;

Tabel 3. Ketentuan Pidana dalam PP No.28 Tahun 1985

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Barang siapa dengan sengaja melakukan penebangan pohon-pohon dalam huatan lindung tanpa ijin  (Pasal 9 ayat (2)), dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp100.000.000.- (seratus juta rupiah) (Pasal 18 ayat (1)). Sedangkan jika perbuatan tersebut dilakuakn di dalam hutan bukan hutan lindung dipidana dengan penjara selama-lamnaya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp20.000.000 (dua puluh juta rupiah) (Pasal 18 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.- dan atau ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.-
Barang siapa yang melakukan pemungutan hasil hutan dengan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan (seluruh pohon) di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan (Pasal 7 ayat (3)), dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000.- (satu juta rupiah) (Pasal 18 ayat (3)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.-
Barang siapa yang dengan sengaja memiliki dan atau menguasai dan atau mengangkut hasil hutan yang sudah dipindahkan dari tempat pemungutannya tanpa disertai dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH), dipidana dengan didana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000.-(lima juta rupiah) (Pasal 18 ayat (4) huruf d) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja membawa alat-alat yang lazim diguanakan untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan, selain petugas yang diberi wewenang oleh undang-undang (Pasal 9 ayat (1)), dipidana dengan pidana kurungan selama-lamnya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 2.500.000.- (dua juta lima ratus ribu rupiah) (Pasal 18 ayat (5)). efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp2.500.000.-
Semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang diperguanakan untuk melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dapat dirampas untuk negara. efek jera yang diterapkan dengan perampasan semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana

Jika dicermati dari rumusan ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa PP No.28 Tahun 1985 ini hanya mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran yang secara khusus dilakukan dalam hutan lindung. Sama seperti UU No.5 Tahun 1990, ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 ini hanya sebgai pelengkap (subsideritas) atas tindak pidana di bidang kehutanan dan ketentuan ini hanya secara khusus mengatur tentang kejahatan di bidang kehutanan yang dilakukan di dalam hutan lindung. Jika dibandingkan dengan ketentuan pidana  dalam UU No.41 Tahun 1999, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya semua unsur-unsur yang diatur dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut telah dimuat dalam rumusan tentang ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999. sanksi pidana menurut UU No.41 Tahun 1999 juga relatif lebih berat jika dibandingkan dengan sanksi pidana yang diatur dalam PP No.28 Tahun 1985 yang relatif lebih ringan, sehingga efek jera yang ditimbulkan pun relatif kecil.

Dipandang dari segi ilmu hukum pidana, maka PP No.28 Tahun 1985 ini menurut Marpaung (1995:18) terdapat kerancuan dalam penerapan sanski pidana yang berat terhadap tindak pidana terhadap hutan. Hal tersebut dikarenakan sangat jarang formulasi tindak pidana dan sanksi dimuat dalam sebuah Peraturan Pemerintah, karena pada umumnya tindak pidana serta sanksi dirumuskan berdasarkan undang-undang, sedangkan ketentuan pidana kehutanan dalam UU No.5 Tahun 1967 justru diatur dalam PP No.28 Tahun 1985. Pengaturan sanksi pidana yang ditetapkan dalam PP No.28 Tahun 1985 ini sebenarnya merupakan penjabaran dari Pasal 19 ayat (1) UU No.5 Tahun 1967 yang berbunyi;“Peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini dapat memuat sanksi pidana, berupa hukuman pidana penjara atau kurungan dan/atau denda“. Oleh karena itu dalam menetapkan PP No.28 Tahun 1985 ini sebagai dasar hukum dalam penerapannya harus selalu dilihat dengan Pasal 19 UU No.5 Tahun 1967. Namun demikian, dengan diberlakukannya UU No.41 Tahun 1999 kerancuan tersebut dapat diatasi.

Di samping ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai illegal logging dalam lingkup kehutanan, ketentuan pidana di luar lex specialis dapat pula ditemukan dalam KUHP sebagai lex generalis sekaligus menunjukkan sifat pendayagunaan sarana penal yang komplementer dalam pengaturan tindak pidana illegal logging ini. Berikut uraian mengenai cakupan tindak pidana yang dapat digunakan dalam mendekati tindak pidana penebangan laiar (illegal logging) di dalam KUHP.

d.     Ketentuan Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Tindak pidana terhadap kehutanan merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Menurut Pompe dan Hamzah (1991:1), terdapat dua kriteria yang dapat menunjukkan hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subyeknya yang khusus, dan kedua, perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten). Berkenaan dengan tindak pidana penebangan liar (illegal logging) merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana perbuatannya dikategorikan khusus sebagai extra ordinary crime, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan.

Pada dasarnya kejahatan penebangan liar (illegal logging), secara umum dapat dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, penebangan liar (illegal logging) dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum, yaitu:

1)    Perusakan

Perusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang perusakan barang dalam arti barang-barang biasa yang dimiliki orang (Pasal 406 KUHP). Barang dalam hal ini dapat berupa barang tetap maupun tidak tetap, bergerak maupun tidak bergerak. Namun berkenaan dengan barang-barang yang mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal 408, akan tetapi terbatas pada barang-barang tertentu sebgaimana yang disebutkan dalam pasal tersebut[1] dan tidak relevan untuk ditetapkan pada kejahatan perusakan hutan.

Unsur perusakan terhadap hutan dalam kejahatan penebangan liar (illegal logging), bermula dari konsepsi tentang prinsip perijinan dalam sistem pengelolaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi hutan. Penebangan liar (illegal logging) pada hakekatnya merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perijinan yang ada, baik tidak memiliki ijin secara resmi maupun yang memiliki ijin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perijinan tersebut (Contoh :  over cutting, penebangan di luar areal konversi yang dimiliki). Kerusakan lingkungan akibat tindakan seperti ini belum tercakup dalam ketentuan Pasal 408 KUHP meskipun kepentingan umum berpotensi terganggu karenanya.

2)    Pencurian

Ketika penebangan liar (illegal logging) dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian, dapat dirumuskan dalam unsur-unsurnya menurut penjelasan Pasal 363 KUHP yaitu sebagai berikut:

a)    Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai

b)    Suatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku

c)     Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.

d)    Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan hukum. Jelas bahwa kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan kegiatan illegal logging ini adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu untuk dimiliki. Akan tetapi harus juga diperhatikan mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum adalah perbuatan melawan hukum.

Adapun ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP antara lain Pasal 363 yaitu pidana penjara 5 (lima) tahun, Pasal 364 pidana penjara 7 (tujuh) sampai dengan 9 (sembilan) tahun dan Pasal 365 dengan pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun.

3)    Pemalsuan

Pemalsuan surat diatur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 276 KUHP. Menurut penjelasan Pasal 263 KUHP, pemalsuan surat merupakan kegiatan membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah surat yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian, pembebasan utang atau surat yang dapat digunakan sebagai suatu keterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun, Pasal 264 paling lama 8 (delapan) tahun, Pasal 266 dipidana penjara 7 (tujuh) tahun. Berkenaan dengan illegal logging, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku llegal logging adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), termasuk pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kehutanan.

4)    Penggelapan

Penggelapan di dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Dalam penjelasan Pasal 372 KUHP, penggelapan diartikan mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan untuk dimiliki dengan melawan hak. Modus penggelapan dalam kejahatan penebangan liar (illegal logging) antara lain  penebangan di luar area yang dimiliki (over cutting), penebangan yang melebihi target kuota yang ada (over capasity), dan melakukan penebangan sistem tebang habis sedangkan iijin yang dimiliki adalah tebang pilih, mencantumkan data jumlah kayu dalam SKSHH yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya. Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.- (sembilan ratus rupiah).

5)    Penadahan

Heling atau persekongkolan atau penadahan diatur dalam Pasal 480 KUHP. Lebih lanjut perbuatan itu dikategorikan menjadi perbuatan membeli, atau menyewa barang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil dari kejahatan. Ancaman pidana dalam Pasal 480 adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.- (sembilan ratus rupiah). Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam maupun di luar negeri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil penebangan liar (illegal logging) yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku, baik penjual maupun pembeli. Modus ini juga diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No.41 Tahun 1999.


[1] Barang-barang kepentingan umum yang dimaksud Pasal 408 KUHP meliputi : pekerjaan jalan kereta api, trem, kawat telegram, telfon atau listrik, atau pekerjaan untuk menahan air, pembagian air, atau pembuangan air, pipa gas atau air, atau selokan (jalan membuang kotoran)

KEKUATAN PEMBUKTIAN TES DNA DALAM KACAMATA KUHAP

Oleh:

Muhammad Rustamaji

   

Pemanfaatan tes DNA dalam mengungkap pelaku tindak pidana terorisme merupakan langkah strategis yang mungkin dilakukan saat ini mengingat keotentikan alat bukti tes DNA itu sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah. Sebagai alat bukti petunjuk, tentunya berdampak sangat signifikan dalam pengungkapan kasus terorisme. Pentingnya kedudukan alat bukti tes DNA dalam proses peradilan pidana mencakup beberapa hal penting yaitu, pertama, terkait dengan identifikasi pelaku dalam proses penyidikan dan dalam pengembangan kasus. Kedua dalam hal mengungkap jaringan pelaku tindak pidana terorisme itu sendiri, dari hal-hal tersebut dapat diketahui latar belakang pelaku tindak pidana terorisme misalnya mengenai latar belakang pendidikan, keluarga sehingga dapat diketahui maksud dan tujuan pelaku tindak pidana terorisme melakukan berbagai aksinya, apakah hanya sebatas melakukan teror, memperjuangkan aksi kelompoknya atau menentang penjajahan, hal ini penting karena terkait dengan bagaimana proses pengusutan lebih lanjut. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti petunjuk menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa alat bukti petunjuk mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.

Namun sampai saat ini penggunaan alat bukti tes DNA dalam proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat yang dapat digunakan sebagai  alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sekunder sehingga masih memerlukan dukungan alat bukti lain. Alat bukti tes DNA belum dilihat sebagai alat bukti yang dapat mendukung proses pengidentifikasian pelaku tindak pidana terorisme.

Hingga saat ini pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA hanya diatur dalam KUHAP. Berikut adalah beberapa paparan mengenai pengaturan mengenai alat bukti tes DNA dari peraturan hukum tersebut berdasarkan ketentuan dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981)

Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam KUHAP tidak banyak kita temui pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti. Dalam hal ini hanya terdapat satu pasal yang mengatur alat bukti, yaitu :

Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan “Alat bukti yang sah ialah”;

(1)    Keterangan saksi

(2)    Keterangan ahli

(3)    Surat

(4)    Petunjuk

(5)    Keterangan terdakwa

Mengingat pembuktian dengan menggunakan tes DNA memang tidak diatur secara khusus dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai memanfaatkan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti di persidangan, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa alat bukti tes DNA paling dekat korelasinya dengan alat bukti petunjuk.

Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai alat bukti petunjuk yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian seperti yang disampaikan R. Soesilo bahwa yang dimaksud petunjuk yaitu suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya, adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim (R.Soesilo,1997 : 167). Dari definisi petunjuk tersebut, kita memperoleh beberapa ketentuan mengenai  petunjuk  yang harus dipenuhi antara lain;

1.     Suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya. Adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa

2.     Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim

Jika telaah ketentuan mengenai saksi di atas diterapkan dalam pemanfaaan alat bukti tes DNA  dalam mengungkap kasus terorisme, maka dapat kita ulas sebagai berikut;

1.     Suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya. Adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa

Hanya dari ketiga alat bukti itu, bukti petunjuk dapat diolah. Dari ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan. Persesuaian itu diambil dan diperoleh dari keterangan pihak dan peristiwa yang terkait di dalamnya.

2.     Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim

Sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yang dianut KUHAP (Pasal 183 KUHAP) pada prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim, dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian kita adalah perpaduan antara sistem conviction-in time(vrijbewijk) dan sistem pembuktian positif (positief wettelijk stelsel). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian kita. Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya. Dalam hal ini penggunaan tes DNA yang menyajikan data secara detail atau rinci mengenai susunan kromosom seseorang sehingga, memungkinkan hakim untuk dapat memberikan penilaian atas hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA tersebut.

Berdasarkan ilustrasi teknis diatas nampaknya alat bukti tes DNA  memang tepat untuk menjadi alat bukti petunjuk dalam mengungkap kasus terorisme. Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam KUHAP tidak banyak kita temui pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti, sedangkan substansi dan kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA yait

(1).          Substansi Pembuktian

Dalam kasus yang membutuhkan pembuktian mengenai asal-usul keturunan seseorang maka alat bukti tes DNA bertindak sebagai alat bukti petunjuk karena bukan merupakan alat bukti langsung atau indirect bewijs.

(2).          Kekuatan Pembuktian

Penggunaan tes DNA yang penyelesaiannya berkaitan dengan pelacakan asal-usul keturunan dapat dijadikan sebagai bukti primer, yang berarti dapat berdiri sendiri tanpa diperkuat dengan bukti lainnya, dengan alasan :

a.     DNA langsung diambil dari tubuh yang dipersengketakan dan dari yang bersengketa, sehingga tidak mungkin adanya rekayasa dari si pelaku kejahatan untuk menghilangkan jejak kejahatannya.

b.     Unsur-unsur yang terkandung dalam DNA seseorang berbeda dengan DNA orang lain (orang yang tidak mempunyai garis keturunan), yakni dalam kandungan basanya, sehingga kesimpulan yang dihasilkan cukup valid.  (Taufiqul Hulam, 2002 : 130)

Tes DNA sebagai salah satu bentuk alat bukti petunjuk harus mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang dapat ditunjukkan melalui syarat-syarat :

a.     Kerahasiaan (confidentially).

Penggunaan alat bukti tes DNA mempunyai tingkat kerahasianan yang cukup tinggi, mengingat informasi hasil tes DNA tidak disebarkan pada orang atau pihak yang tidak mempunyai hak untuk mengetahuinya. Dalam hal mendapatkan alat bukti tes DNA, pihak yang berwenang untuk mengeluarkan hasil pemerikasaan adalah Rumah Sakit atau Laboratorium yang memiliki fasilitas khusus dengan aparat yang telah ditunjuk, sehingga tingkat kerahasaiaan dapat terjaga.

b.     Otentik (autentify).

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diketahui bahwa tubuh manusia terdiri dari sel-sel, yaitu satuan terkecil yang memperlihatkan kehidupan, yang di dalamnya terdapat inti sel dan organel-organel yang berperan dalam bidang masing-masing di dalam sel itu. Sehubungan dengan itu, bagian yang perannya sangat penting dalam melakukan pengendalian adalah inti sel. Di dalam inti sel ini terdapat kromosom dan nukleus.

Kromosom yang terdapat dalam inti sel tersusun atas bagian- bagian yang dinamakan gen. gen-gen ini bila diperiksa lebih lanjut ternyata terdiri atas molekul- molekul yang merupakan sepasang rangkaian panjang yang saling melilit. Tiap rangkaian berisi satuan- satuan yang dinamakan DNA yang tersambung satu sama lain secara khas menurut urutan tertentu. (Taufiqul Hulam, 2002 : 125)

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa setiap manusia mempunyai susunan kromosom yang identik dan berbeda-beda setiap orang, sehingga keotentikan dari alat bukti tes DNA dapat teruji, disamping itu alat bukti tes DNA disahkan oleh pejabat yang berwenang sehingga memperkuat kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA.

c.      Objektif.

Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan DNA, merupakan hasil yang didapat dari    pemeriksaan berdasarkan keadaan obyek sesungguhnya dan tidak memasukkan unsur pendapat atau opini manusia di dalamnya, sehingga unsure subyektifitas seseorang dapat diminimalisir.

d.     Memenuhi langkah-langkah ilmiah (Scientic)

Untuk memperoleh hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA, harus menempuh langkah-langkah ilmiah yang hanya didapat dari uji laboratorium yang teruji secara klinis, yaitu pertama, mengambil DNA dari salah satu organ tubuh mausia yang di dalamnya terdapat sel yang masih hidup, kedua, DNA yang telah diambil tersebut dicampur dengan bahan kimia berupa proteinase yang berfungsi untuk menghancurkan sel, sehingga dalam larutan itu tercampur protein, kabohidrat, lemak, DNA dan lain-lain, ketiga pemisahan bagian-bagian lain selain DNA dengan menggunakan larutan fenol, setelah langkah-langkah ini akan diketahui bentuk DNA berupa larutan kental dan akan tergambar identitas seseorang dengan cara membaca tanda-tanda atau petunjuk yang terkandung di dalamnya. (Taufiqul Hulam, 2002 : 128)

Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa, sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain :

1.                 hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian aynag diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainaya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.

2.                 petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa (terikat pada prinsip batas minimum pembuktian ). Oleh karena itu petunjuk mempunyai nilai pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya alat bukti lain. (Yahya Harahap, 2005 : 317)

Stop Pembajakan Oleh Malaysia !

  

Oleh:

Muhammad Rustamaji

  

Di berbagai forum ilmiah dan seminasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI), acapkali bermunculan saran dan rekomendasi bahwa Indonesia sudah saatnya mengubah kebijakannya dari negara pengirim tenaga kerja (TKI) menjadi pengekspor produk berbasis HKI. Harapan ini tentunya bukan hanya mimpi di siang hari, mengingat karya seni dan budaya Bangsa Indonesia ternyata mendapat tempat di negara tetangga. Realitas beberapa film Indonesia dan karya cipta lagu band Indonesia merajai tangga lagu di Malaysia adalah buktinya. Oleh sebab itu, ketika mencermati perilaku culas negara jiran yang berkali-kali mengklaim seni budaya Bangsa Indonesia sebagai seni budaya warisan leluhurnya, agaknya saran para ahli ini patut direalisasikan. Betapa tidak, tapal batas wilayah negara, seni batik, keris, angklung, naskah-naskah kuno, lagu-lagu daerah, serta seni tari hingga foklore sudah diklaim oleh Malaysia, apakah pantas Pemerintah Indonesia tidak mengambil tindakan apapun? Sipadan-Ligitan dan Ambalat dengan eksotisme dan kekayaan alamnya, dendangan lagu rasa sayange yang kental dengan nuansa Ambon Manise, keunikan motif batik parang baris Jogjakarta, keris dan angklung yang khas Indonesia, serta foklore dan seni tari Reok Ponorogo adalah aset tak ternilai bagi seluruh Bangsa Indonesia. Potensi yang besar ini tentunya akan sirna dijarah kepentingan industri pariwisata asing, jika pemerintah terus saja berdiam diri dan tidak melakukan pengelolaan dengan baik.

Sementara sikap reaktif yang bermunculan setelah klaim oleh negara asing menunjukkan tidak adanya perencanaan yang baik dalam mengelola aset bangsa. Perilaku menyimpang di tataran teknis seperti tindakan penjualan beberapa naskah kuno dan arca di Museum Radya Pustaka, adalah contoh terkini yang menunjukkan betapa tidak berdayanya bangsa ini mengelola warisan seni budaya leluhurnya. Pola managemen dan perilaku yang menyimpang dari oknum pengemban amanah di sektor pariwisata, seni dan budaya inilah yang sudah saatnya dirombak dan diperbaiki. Inilah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan bersama, baik oleh pemerintah, akademisi, maupun seluruh elemen Bangsa Indonesia.

Lalu solusi apa yang dapat ditempuh ketika klaim asing atas karya seni dan budaya bangsa terus saja terjadi dan berulang? Dalam konteks yuridis, setidaknya terdapat dua langkah hukum yang dapat ditempuh, yang pertama melalui diplomasi internasional dan kedua melalui pendekatan hukum hak kekayaan intelektual.

Diplomasi Internasional

Patut di sadari bahwa silang sengketa yang acapkali terjadi antara Indonesia dengan Malaysia, merupakan gambaran riil fenomena globalisasi yang menempatkan permasalahan HKI pada tangga yang tertinggi dan menjadi isue global dalam hubungan antar negara. Disepakatinya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) Puratan Uruguay yang menandai menyebarnya sistem hukum HKI di setiap penjuru dunia, pada saat ini berpotensi mengubah arah sengketa antar negara dari sengketa ideologi ke arah sengketa HKI. Dalam hal demikian, melalui jalur diplomasi internasional, dapat ditempuh langkah penyampaian nota diplomatik maupun pembicaraan tingkat menteri berkenaan dengan keberatan atas klaim-klaim seni budaya asli Indonesia oleh Pemerintah Malaysia. Tindakan balasan di bidang perdagangan (trade retaliation / cross retailation) serta intervensi asing sebagai akibat pelanggaran HKI yang telah dilakukan, dapat pula disampaikan sebagai efek penggetar (deterence) terhadap kepentingan Malaysia. Pada tahap berikutnya kerugian Malaysia dapat berlipat ganda jika isu ini digulirkan dalam ranah multirateral dalam forum Trade Related Aspec of Intelectual Property -(TRIPs-WTO) maupun melalui badan PBB yang berwenang di sektor HKI, yaitu WIPO. Eksistensi forum-forum tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan fenomena meningkatnya perhatian masyarakat internasional terhadap perlindungan di bidang HKI. Perhatian ini tercermin pula dalam persetujuan Putaran Uruguay dalam rangka GATT yang didalamnya terdapat persetujuan tentang TRIPs.

Dengan demikian, Program Visit Malaysia 2007 yang notabene memperdagangkan potensi wisata dengan menggunakan jingle lagu ‘rasa sayange’ (rasa sayang) dan ‘tarian reok’ (tari barong) yang diklaim milik Malaysia, merupakan pelanggaran serius terhadap hak cipta heritage Indonesia. Lagu maupun karya seni tari dan foklore yang ‘dicuri’ tersebut dilindungi dalam payung hak cipta yang langsung melekat setelah diciptakan meski tanpa didaftarkan pada otoritas setempat, hal ini tentunya berbeda dengan paten yang menggunakan prinsip first to file untuk mendapatkan hak perlindungan. Bukti otentik perekaman lagu saat Asean Games dan bukti pencatatan oleh Taman Budaya Maluku terhadap lagu ‘rasa sayange’, merupakan realitas yang tidak dapat diperdebatkan. Inilah fakta dan bukti otentik yang setidaknya dapat digunakan sebagai amunisi diplomatik dalam rangkaian nota keberatan atas tindakan illegal recording lagu rasa sayange dan klaim ilegal tarian Reok Ponorogo dalam kampanye wisata Malaysia Truly Asia 2007.

Pendekatan HKI

Selain sebagai sebuah industri, pariwisata merupakan ajang untuk mengenalkan keunikan seni budaya, serta eksotisme bentang alam suatu bangsa, dalam jalinan kepercayaan yang jujur alami. Beragam suguhan istimewa, mulai dari keramah-tanahan penduduknya, keindahan panorama yang tertata seimbang, serta seni budaya yang membalutnya, sudah selayaknya memberikan sensasi keaslian dan unsur pembeda bagi para wisatawan yang mengunjunginya. Maka menjadi aneh dan menggelikan ketika aspek keaslian dan unsur pembada ini diabaikan dengan sikap pongah dan keserakahan yang ditunjukkan dengan klaim-klaim illegal dalam gelaran pariwisata seni dan budaya.

Sebuah langkah yang memalukan dan tidak seharusnya dilakukan ketika suatu seni budaya yang jelas merupakan heritage bangsa lain dicomot untuk ditawarkan bagi para wisatawan. Langkah ini justru akan memberikan dampak kemunduran bagi pariwisata yang bersangkutan disebabkan ketidakasliannya. Di dunia yang serba terhubung dengan teknologi informasi dan komunikasi seperti saat ini, klaim-klaim ilegal ini sebenarnya justru menjadi bumerang. Disadari atau tidak, klaim ini justru menguntungkan bagi pemilik budaya asli, karena wisatawan tentunya memilih seni dan budaya asli daripada yang dibajak. Wacana yang bergulir di media masa justru menjadi sumber informasi dan promosi gratis bagi pemilik seni budaya asli. Di sinilah sebenarnya peluang yang dapat dimanfaatkan Indonesia dengan menunjukkan budaya yang asli kepada masyarakat dunia dengan kesantunan dan budaya ketimuran.

Sebaliknya sikap tidak terpuji ini selayaknya disadari benar oleh para pengambil kebijkan di negeri jiran tersebut. Alangkah memalukan dan merupakan sebentuk sikap yang tidak jujur yang akan mencoreng muka sendiri jika tindakan ini terus dilanjutkan. Bukankah lebih bijaksana jika saja Pemerintah Malaysia menempuh jalur legal dengan membayar royalti jika memang menginginkan seni budaya Indonesia digunakan dalam industri wisata mereka. Mekanisme ini sebenarnya sudah tersedia dalam aspek perlindungan hak kekayaan intelaktual dalam bidang hak cipta karya seni dan budaya. Pendekatan HKI dengan membayar royalti kepada pemerintah yang memegang heritage asli adalah langkah cerdas dan menguntungkan dari pada dituding sebangai negara pencuri karya seni dan potensi kerugian akibat kehilangan wisatawan yang diharapkan.

Tentunya Pemerintah Indonesia akan berbesar hati membantu tetangganya dalam memajukan industri wisatanya, jika langkah terbuka dan legal dijalin dalam kerjasama yang apik. Simbiosis mutualisme sangat dimungkinkan terjadi dalam kerjasama pariwisata dan pengembangan seni budaya, layaknya kerjasama di sektor pendidikan yang dahulu pernah dibangun. Guru-guru terbaik Indonesia saat itu banyak di kirim ke Malaysia untuk mendidik serta mengajarkan ilmu pengetahuan dan sistem pendidikan, dan sekarang Malaysia banyak menuai buah manis dengan majunya pendidikan serta banyaknya mahasiswa luar negeri yang menuntut ilmu di Malaysia, tidak terkecuali mahasiswa dari Indonesia. Inilah yang seharusnya disadari bersama agar semboyan Negara Malaysia ‘Bersekutu Tambah Mutu’ dan Slogan Wisatanya ‘Malaysia Truly Asia’ tidak tercoreng-moreng menjadi ‘Malaysia Truly Thief of Asia’ ! semoga. 

Memantapkan Langkah Metodologi Menuju Penelitian yang Bermutu

oleh 

Muhammad Rustamaji    

Pendahuluan 

Mengapa meneliti menjadi penting bagi hidup dan kehidupan manusia? Mengapa pula kedalaman penguasaan metodologi menjadi prasyarat demi tercapainya penelitian yang bermutu? Atau bagaimana menjadi seorang peneliti yang baik dan benar itu, sebelum ia bersusah payah mempelajari metodologi? Inilah beberapa pertanyaan yang berjejalan menunggu jawaban kita dalam forum ini. Forum yang diharapkan menciptakan para peneliti muda yang handal dan produktif.  

Ketika mempelajari metodologi penelitian, kita sudah dihadapkan dengan bermacam ketentuan ilmiah yang sudah pasti membingungkan bagi awam. Kali pertama mengenalnya, seakan dapat diilustrasikan seperti beberapa orang buta yang diminta menggambarkan seperti apa gajah itu. Apa yang terjadi kemudian sudah dapat diterka, bahwa penggambaran tersebut tidak akan sempurna karena parsialitas pendekatan yang terkotak-kotak. Boleh jadi orang buta pertama mengatakan gajah adalah binatang yang langsing dan panjang seperti pipa peralon, saat ia memegang belalinya. Namun ketika sang buta lain memegang telinga sang gajah maka ia akan berujar gajah itu binatang yang tipis lebar, dsb. Inilah fenomena kebingungan yang sama yang acapkali muncul ketika mengenal metodologi sebagai sebuah standar keilmiahan sebuah karya. Metodologi sebagai sebuah ‘cara’ seharusnya membantu para calon peneliti menjadi peneliti yang handal, dan bukan sebaliknya menjadi ciut nyalinya. 

Untuk itulah dalam makalah singkat ini penulis mencoba mengajak audience sekalian mencoba merenungkan kembali apa yang patut kita bangun dalam mewujudkan penelitian yang bermutu itu. Fasilitas lengkap? Buku yang komplit? Atau justru calon peneliti yang berintegritas tinggi dengan semangat belajarnya?. Sebuah untaian kalimat bijak mengatakan; 

enough money can get excellent laboratories, libraries, etc, and excellent people (faculty and students) to put in the laboratories and libraries. But laboratories do not produce creative science and technology, people do).’  

Ya demikianlah adanya, uang dapat membeli laboratorium yang canggih, perpustakaan yang lengkap, dan ilmuwan serta staf yang istimewa untuk bekerja di laboratorium dan perpustakaan itu. Tapi yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kreatif bukan laboratoriumnya, tapi ilmuannya.  

Maka setelah kenyang dengan beragam teori dan konsep-konsep metode penelitian, sepatutnya perlu direnungkan kembali, apa sejatinya langkah yang harus dipersiapkan sebelum terjun ke dalam relung penelitian. Bahasan ini menjadi penting ketika kita mencermati fenomena plagiatisme, copy-paste, atau aksi comot karya dan hak cipta ilmiah orang lain, yang masih saja terjadi dalam penyusunan sebuah penelitian maupun karya ilmiah yang lain. Apakah hal ini yang diharapkan dicetak melalui forum diklat maupun pelatihan seperti ini? Tentu saja tidaaaak! oleh sebab itu kita perlu mengenal tiga langkah besar yang harus terintegrasikan dalam kegiatan ilmiah yang kita lakukan. Ketiga langkah besar tersebut adalah (1) proses pra penelitian (2)proses penelitian dan (3)proses publikasi ilmiah. 

Proses Prapenelitian 

Jauh sebelum penelitian dilakukan, setiap peneliti seharusnya mempunyai penanaman di dalam dirinya tentang sikap dan perilaku ilmiah sebagai kode etik yang dipedomani. Budaya ilmiah adalah jawabannya. Budaya ilmiah inilah yang pada akhirnya terus menerus diwariskan kepada para peneliti generasi berikutnya dalam mengembangkan penelitian yang berkualitas nobel. Di luar negeri terdapat laboratorium atau lembaga penelitian yang sudah berumur ratusan tahun dan tetap eksis menghasilkan karya-karya ilmiah tingkat dunia, seperti Medical Research Council (MRC) di Inggris, Institut Pasteur di Prancis, Bell Lab di Amerika Serikat, dsb. Satu hal yang dapat dicermati dari sekian contoh lembaga tersebut adalah kedisiplinan dan komitmen yang tinggi para pemimpinnya dalam menjaga budaya ilmiah di lembaganya. Adalah mustahil menciptakan kelestarian sikap dan mental sekian banyak generasi peneliti secara simultan tanpa ketegasan visi pemimpinnya. Inilah langkah awal untuk menciptakan penelitian yang bermutu, yaitu mulai membentuk karakter seseorang yang berintegritas tinggi sebagai seorang peneliti. 

Langkah praktis yang langsung dapat dipraktekkan dalam upaya menyusun sebuah visi yang menjadi arahan budaya ilmiah yang akan dikembangkan, adalah iqro’ atau membaca!. Sedangkan budaya ilmiah sebenarnya juga tersusun dan terbentuk dengan sangat sederhana di dalam kegiatan ilmiah. Membaca dan menulis adalah ketrampilan dasarnya. Ya, kemampuan literal inilah yang akan menggerakkan budaya ilmiah yang sehat dan dinamis. Sebuah siklus yang terus bergulir antara konsumsi ilmiah dengan membaca, ke arah menghasilkan produk ilmiah dengan menuliskannya. Kita ingat petuah Bacon, pencetus metode induktif, bahwa ”Reading makes a full man, conference makes a ready man, and writing makes an exact man.” Demikianlah siklusnya, banyak membaca, banyak tahu, banyak tahu berani berkomentar dan berpendapat, pada pusaran berikutnya kesiapan diri muncul terhadap setiap pertanyaan dan penyataan yang datang, dan akhirnya penelaahan yang mendalam, perenungan (kontemplasi)serta kecakapan berbahasa tulis mengantarkan munculnya produk ilmiah tertulis yang dapat diakses siapapun yang membutuhkannya. 

Kegiatan membaca dan menulis ini ketika sudah menjadi kebutuhan pribadi, tentunya akan mempunyai daya ‘ledak’ yang luar biasa ketika secara berkelompok dikembangkan dan terus dikembangkan dalam inovasi tiada henti. Pada tahap inilah pembentukan karakter pribadi (character building) peneliti yang sebenarnya merupakan proses yang berat, menjadi ringan karena dilakukan secara berjamaah. Dengan berjamaah ilmiah maka setiap orang yang membaca dan menemukan sebuah permasalahan, akan memperoleh umpan balik yang beragam dalam kualitas maupun kuantitas dari sekelompok rekannya. Inilah multiguna berjamaah ilmiah dalam proses prapenelitian yang menghasilkan kesiapan mental, fisik dan pemikiran sebagai peneliti yang handal. 

Proses Penelitian 

Penelitian sebagai sebuah usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan,gejala atau hipotesa, dengan menerapkan metode ilmiah, tetap melibatkan persiapan dalam beberapa langkah awal sebelum terjun dalam pelaksanaan penelitian sesungguhnya. Untuk itu dalam merancang sebuah penelitian, setidaknya terdapat delapan langkah yang umumnya harus dilalui oleh peneliti; 

1.      Observasi Permasalahan 

Telah diungkapkan bahwa “persiapan yang matang, adalah setengah dari keberhasilan”, maka tanpa observasi permasalahan yang tuntas, penelitian bisa saja hanya terjebak dalam sebuah pengulangan atau tidak benar-benar menuntaskan permasalahan yang diteliti. Sumber permasalahan dapat berasal dari mana saja, kapan saja dan melalui media apapun. Publikasi ilmiah di perpustakaan, laporan investigasi di media massa sampai dengan obrolan tetanggga tentang masalah yang sedang menghangat, adalah contohnya.Langkah praktis yang segera dapat dilakukan adalah segera catat, tulis atau rekam ide cemerlang tersebut tanpa menundanya. Sempatkan waktu barang tiga menit untuk menuangkan ide-ide yang berterbangan dalam peta pikiran berupa skema sederhana. Ingat, menunda sedetik saja akan menghapuskan kesempatan anda memperoleh gagasan yang segar dan menyumbat aliran ide yang deras mengucur, entah kapan lagi dan dimana akan ditemukan. 

2.      Pengumpulan Data Awal 

Sebagai upaya penangkapan ide pertama kali, seringkali observasi permasalahan tidak lengkap jika tanpa disertai pengumpulan data awal secara tersendiri. Untuk itulah diperlukan pengumpulan data awal yang lebih terkonsentrasi. Bentuknya bisa penelusuran literatur, akses data yang terbuka untuk umum, kliping dsb.Kemajuan teknologi informasi saat ini dapat dikatakan sangat membantu bahkan tidak berlebihan jika dikatakan sangat memanjakan para user di dunia maya. Untuk itulah langkah praktis yang dapat dilakukan adalah mencari informasi yang diperlukan dengan media internet yang tentunya sudah dilengkapi dengan search engine berkenaan dengan data yang diperlukan. Pemanfaatan mesin pencari blog-blog di internet juga dapat dioptimalkan dalam pencarian para penulis dunia maya yang mengkonsentrasikan pada topik bahasan yang dibutuhkan, yang tentunya akan sangat membantu. 

3.      Pendefinisian Masalah 

Setelah melalui dua langkah sebelumnya, maka permasalahan terlihat lebih detail, maka di sinilah inti permasalahan ditemukan. Jangan sampai seorang peneliti salah menduga suatu inti permasalahan hanya karena publisitas yang gencar di berbagai media. Terkadang sulit membedakan mana yang menjadi inti penelitian terhadap sebuah pemberitaan yang menghangat di media massa. Sebagai contoh kasus narkotika yang menimpa Roy Marten untuk kali kedua, kasus foto telanjang Anjasmara, maupun kehebohan putusan bebas terhadap Adelin Lies. Semua hal tersebut adalah isu-isu hukum yang potensial diangkat sebagai kudul karya tulis maupun penelitian. Lalu yang menjadi inti permasalahan Roy martin, Anjasmara, sebagai seorang selebritis atau kasus narkotika dan pornografinya yang menjadi inti pokok permasalahan penelitian? Di sinilah para peneliti harus menentukan mana yang akan dipilih sebagai inti permasalahan penelitian. Dalam sebuah penelitian, pendefinisian maupun perumusan masalah dapat berbentuk pernyataan maupun pertanyaan. Dalam hal ini tentu saja pertanyaan yang dirumuskan setidaknya harus menjelaskan;

a.      menjelaskan hubungan dua gejala (variabel)

b.      menyetakan secara jelas dan tidak mengandung keraguan akan inti permasalahan

c.      memungkinkan untuk diuji secara empiris. 

4.      Pembentukan Kerangka Teori Pembentukan kerangka teori yaitu menyiapkan suatu model konsep yang melandasi keseluruhan aktivitas penelitian yang akan dilakukan. Dalam membentuk kerangka konsep ini, perlu melihat hubungan antar variabel masalah yang ada melalui penalaran yang logis dan kemungkinan pemecahannya. Walau nampak sulit, secara lebih sederhana hal ini dapat dipelajari dari pengalaman riset diri sendiri atau orang lain yang mengerjakan hal serupa. Oleh sebab itu penelitian terdahulu yang mempunyai korelasi berkenaan dengan hal yang diteliti seringkali juga dimuat dalam kerangka teori untuk selanjutnya dijelaskan letak perbedannya dari penelitian yang akan dilakukan. Langkah ini mempunyai manfaat bahwa penelitian yang akan dilakukan menunjukkan nilai originalitas sekaligus menunjukkan arah pengembangan ke arah mana penelitian terbaru berpijak dari penelitian pendahulunya. Secara praktis dalam langkahpenyusunan penelitian, pembentukan kerangka teori biasanya diikuti dengan kerangka konsepsional dan paparan penelitian terdahulu. 

a.      kerangka teori, disusun berdasarkan kajian-kajian teori para pakar hukum, untuk selanjutnya digunakan sebAgai indikator dan landasan teoritis dalam penelitian. Contoh;

Analisis Kasus Adelin Lies
Rumusan Masalah 1 Sejauhmana suatu putusan hakim memenuhi nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum?
Kerangka Teoritis Kerangka teori dari studi ini dalam kaitan dengan permasalahan pertama, yaitu berkaitan dengan ajaran relativisme Gustav Radbruch, khususnya mengenai antinomi-antinomi ide hukum (antinomies of the idea of law). Gustav Radbruch mengemukakan bahwa beranjak dari konsep hukum sebagai konsep budaya (cultural concept), yaitu konsep yang berhubungan dengan nilai, maka ia menerapkan pada nilai hukum (the value of law), ide hukum (the idea of law). Hukum menurut maknanya dimaksudkan untuk memenuhi ide hukum tersebut. Ide hukum yang dimaksud, ditemukan dalam tiga elemen yaitu keadilan (justice), kegunaan (expediency), dan kepastian hukum (legal certainty)
Rumusan Masalah 2 Pendekatan apakah yang dipergunakan hakim dalam memaknai hukum untuk suatu perkara yang ditanganinya?
Kerangka Teoritis Adapun permasalahan kedua berkaitan dengan ajaran mengenai hubungan antara hakim dan hukum yang tampak dalam praktik hukum, teori ini dikemukakan oleh Theo Huijbers. Praktik hukum yang dimaksud adalah cara hukum digunakan dan dimaknai di depan pengadilan. Setidaknya terdapat empat konsep yang bersumber dari ajaran yang berbeda seperti dikemukakan oleh Theo Huijbers, yaitu; legisme (ideenjurisprudenz), ajaran hukum bebas (frei rechtslehre), interessenjurisprudenz, dan idealisme hukum baru (new legal idealism). Pandangan yang legistis melihat praktek di peradilan tidak lain sebagai penerapan peraturan perundang-undangan dalam perkara-perkara konkrit secara rasional belaka.hukum dipandang sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara  karena bersifat rasional. Teori rasionalitas sistem hukum pada abad ke-19 ditunjuk dengan istilah ideenjurisprudenz. Sedangkan ajaran hukum bebas yang dikemukakan oleh mazhab realisme hukum Amerika membela kebebasan yang besar bagi sang hakim. Sementara interessenjurisprudenz tetap mempertahankan norma-norma hukum sebagai penentu dalam proses di pengadilan, walaupun situasi konkret diperhitungkan sepenuhnya juga. Teori ini dikualifikasi sebagai penemuan hukum (rechtsvinding), artinya hakim mencari dan menemukan keadilan dalam batas norma-norma yang telah ditentukan dengan menerapkannya secara kreatif pada tiap-tiap perkara konkret. Di pihak lain, dalam idealisme hukum baru, undang-undang memiliki bobot normatif bagi penerapan hukum sebab undang-undang mencerminkan cita-cita hidup yang dituju dalam membentuk suatu tata hukum. Idealisme baru ini hanya dapat timbul dalam rangka sistem hukum konstitusional. Tekanan dalam idealisme hukum baru di samping undang-undang juga pada cita-cita bangsa, walaupun belum dihayati sepenuhnya.

 b.      kerangka konsepsional, digunakan untuk mendefinisikan pengertian-pengertian di dalam penelitian agar tidak mengalami pembiasan dalam pengumpulan data himgga pada tahap analisis penelitian. Kerangka konsepsioal ini dapat disusun melalui (1) peraturan perundang-undangan, (2) metode-metode untuk merumuskan pengertian hukum (rechtsbegrip). 

c.      paparan penelitian terdahulu, menunjukkan perbedaan konsentrasi penelitian sekaligus originalitas dari suatu penelitian.  

5.      Hipotesa Hipotesa merupakan dugaan ilmiah tentang pemecahan ilmiah berdasar pada kerangka teori yang telah dibentuk. Syarat hipotesa yang baik adalah dapat diuji, kemudian dapat diterima akal (rasionable) dalam arti paralel dengan teori yang dibentuk yang dibentuk serta relevan baik dengan teori maupun dengan pengalaman sendiri atau orang lain. Pengujian hipotesa sering dilakukan menggunakan kata “apabila”

6.      Desain Riset Peran pembimbing atau supervisor sangat penting di sini karena dengan pengalamannya akan membantu mengarahkan desain riset yang paling efektif. Desain riset ini adalah gambaran menyeluruh mengenai bagaimana seorang peneliti akan menjalankan penelitiannya sehingga tujuan penelitian dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Desain penelitian dalam langkah praktis acapkali digambar dalam diagram alur penelitian. 

7.      Koleksi, Analisa dan Interpretasi Data Tahap inilah yang seringkali disebut sebagai penelitian yang sesungguhnya. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data yang benar-benar dibutuhkan, sehingga sang peneliti melakukan klasifikasi maupun penyortiran. Selanjutnya dengan desain penelitian yang ada, peneliti melakukan analisis, baik secara pendekatan empiris, statistik, maupun pendekatan normatif studi kasus, perundangan, historis, perbandingan, maupun konseptual. 

8.      Deduksi Pada tahap yang terakhir ini adalah langkah menuju kesimpulan melalui interpretasi terhadap hasil analisa. Dari deduksi ini peneliti membuat rekomendasi. 

Proses Publikasi Ilmiah 

Sebuah penelitian maupun karya ilmiah lainnya, melekat di dalamnya hak publik untuk mengetahui. Untuk itu publikasi menjadi penting dalam rangkaian penelitian maupun penyusunan karya ilmiah sebagai bentuk proses yang utuh, sekaligus sebagai pertanggung jawaban publik atas karya yang dihasilkan. 

‘Publish or perish’ adalah semboyan yang agaknya sangat tepat untuk menggambarkan kewajiban mempublikasikan penelitian dan karya ilmiah yang sudah diselesaikan. Ya, publikasikan atau hancurkan, that’s all. Saat ini banyak media yang dapat digunakan, mulai dari seminasi hasil penelitian, artikel dalam jurnal publik maupun ilmiah, hingga jurnal elektronik yang banyak disediakan ISP (internet service provider) di dunia maya. 

Banyak manfaat yang dapat diambil dengan langkah publikasi hasil penelitian ini, salah satunya seperti yang sudah disitir di muka penulisan ini, conference makes a ready man!. Beragam tanggapan, masukan, kritik bahkan hujatan sangat mungkin diterima oleh seorang peneliti ketika ia mempublikasikan hasil penelitiannya. Masih ingat kasus publikasi ilmiah yang menyatakan 90% mahasiswi di Jogjakarta tidak virgin lagi? Ini contoh riil betapa publikasi ilmiah dapat mendatangkan hujatan ketika metode penelitian diragukan. Namun demikian bukan pada tempatnya jika saat ini traumatik hujatan maupun kritik harus dihindari dengan menyimpan rapat penelitian kita di lemari kaca, yang bahkan debu tak dapat menyentuhnya. Penelitian semacam ini akan kehilangan kemanfaatannya sebagai sebuah solusi yang bisa jadi sangat dibutuhkan bangsa dan negara. Maka apapun hasilnya, ketika jerih payah sudah dilakukan demi sebuah penelitian, publikasikan atau hancurkan! adalah pilihan yang tak dapat tergantikan. Ok friend? Wassalam.

KARIKATUR YANG MENUAI BADAI

Oleh: 

Muhammad Rustamaji 

Penodaan keyakinan dan pelecehan kepercayaan umat beragama, kembali terjadi dan tak ayal menuai bermacam reaksi yang semakin meluas. Masih segar dalam ingatan, ketika di awal Mei 2005 sedikitnya lima belas orang tewas dalam sebuah demonstrasi yang berujung kerusuhan di Afganistan, berkait merebaknya isu pelecehan Al Quran oleh tentara Amerika Serikat di penjara Guantanamo. Demonstrasi dan sikap protes juga dilancarkan kepada perwakilan AS di seluruh dunia, terlebih di negara-negara mayoritas muslim. Isu ini diawali pemberitaan oleh majalah Newsweek yang akhirnya diralat sebagai berita yang keliru dan tidak pernah terjadi. Namun peristiwa ini tampaknya tidak menjadi suatu pelajaran yang berharga dan mendewasakan bagi pihak-pihak yang masih saja bersikap diskriminatif terhadap isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Terbukti, pemuatan 12 gambar karikatur Nabi Muhammad SAW oleh harian Jyllands-Pasten pada 30 September 2005 lalu, justru menjadi bahan perberitaan yang “marketable” dengan banyaknya pemuatan ulang di beberapa media Eropa.

Sikap anti sosial dan tidak peka terhadap kepercayaan umat beragama semacam ini, sangat berpotensi menimbulkan reaksi yang berdimensi lebih luas. Potensi eskalasi konflik ini tampaknya juga disadari oleh Perdana Menteri Denmark Andres Fogh Rasmussen, ketika ia mendesak para diplomat untuk membantu meredakan suasana karena ketegangan ini dapat mengarah pada “persoalan yang lebih mengglobal”(4/2). Pandangan PM Denmark ini tentunya sangat relevan ketika melihat secara kuantitatif, pemuatan karikatur tersebut merupakan perhinaan terhadap sensitifitas kepercayaan lebih dari satu milyar umat muslim di seluruh dunia.

Mencermati semakin meluasnya berbagai reaksi umat muslim dunia atas pemuatan karikatur tersebut, fenomena ini sebenarnya merupakan sebuah penjelasan dari teori yang dikemukakan Friedman tentang bergulirnya perubahan besar yang mengglobal. Friedman mengemukakan tiga faktor pemicu perubahan global yaitu (1) ideologi, (2) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta (3) mobilisasi massa. Dalam kacamata pergaulan dunia, ideologi menempati posisi yang mendasar dan memberikan landasan berfikir bagi pengikutnya. Sifatnya yang borderless memungkinkan perkembangan ideologi memasuki ranah apapun tanpa terbatasi teritori negara sekalipun. Inilah yang kemudian menimbulkan reaksi domino ketika sebuah ideologi yang diyakini dan mempunyai akar kuat dari suatu agama berbenturan dengan hal-hal yang melecehkannya.Perkembangan iptek sebagai faktor kedua, juga mempunyai peran yang tidak kecil dalam terjadinya arus perubahan global. Saat ini teknologi informasi yang ada memungkinkan setiap orang dari belahan bumi manapun untuk mengetahui informasi terkini di suatu tempat yang samasekali belum pernah ia kunjungi. Demikian halnya dengan secarik karikatur yang substansinya “melukai” dan melanggar hak asasi penganut agama lain, sangat mudah di akses dan disebarluaskan sebagai bahan informasi yang bombastis. Akhirnya faktor mobilisasi massa sebagai penggerak perubahan mewujud dalam berbagai demontrasi, aksi massa, hingga pemboikotan, ketika ideologi, kepercayaan dan keyakinan atas sebuah agama, yang dikatakan sebagai hak asasi yang paling asasi, terlukai. Dengan ditopang sirkulasi informasi yang cepat, semua pihak dengan basis massa yang tersebar diberbagai belahan dunia, merespon dengan eskalasi yang berbeda, namun tetap dengan tujuan yang sama untuk menentang penghinaan tersebut. Jika sudah demikian, apa yang dapat diperbuat?

Melalui pendekatan yang sama sebagaimana dikemukakan Friedman, sebenarnya terdapat sebuah solusi yang dapat ditempuh guna menyelesaikan silang sengketa tersebut. Langkah pertama adalah pengembangan ideologi kerukunan hidup beragama dan toleransi. Hal ini mungkin terdengar klise, namun ideologi rasis dan sikap diskriminatif harus diberangus dengan ideologi pula yang bersubstansi egaliter dan toleran. Sikap keras kepala seperti yang ditunjukkan beberapa media massa Eropa dengan memuat ulang karikatur Nabi Muhammad SAW, dan justru berlindung di balik tameng kebebasan pers, hanya akan menunjukkan arogansi dan memperluas perbedaan yang ada. Pola pemikiran kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi, harus tetap memperhatikan prinsip kewajiban asasi manusia, yaitu untuk selalu menghargai dan toleran terhadap kebebasan beragama, dan hak asasi orang lain, kapanpun dan dimanapun. Langkah konkrit yang dapat dilakukan dapat melalui institusi pendidikan, media massa, maupun pola penyelesaian sengketa non-litigasi yang mengutamakan keselarasan frame berfikir, baik melalui lembaga-lembaga informal maupun formal ditataran lokal dan internasional.

Langkah kedua adalah optimalisasi melalui berbagai media massa mengenai prinsip, sikap dan bermacam pemberitaan yang bersifat recovery dan meredam gejolak aksi balasan kepada institusi yang secara langsung maupun tidak langsung mewakili pihak pelontar isu SARA. Langkah ini perlu dilakukan karena pandangan yang keliru, pemahaman yang tidak mendalam, atau kesalahan estimasi eskalasi reaksi yang ditimbulkan dari sebuah pemberitaan, harus menemukan penjelasan dan solusi melalui mekanisme “ralat” dan etika “maaf”. Dalam hal ini media massa memegang peran penting sebagai fasilitator para pihak yang berseteru untuk menemukan alternatif penyelesaian sengketa yang bermuara pada win-win solution.

Langkah ketiga diperankan oleh para pemuka masyarakat dan tokoh agama yang mempunyai posisi tawar untuk mengendalikan mobilisasi massa dalam merespon suatu permasalahan umat. Para pemuka agama-lah yang seharusnya kali pertama menyuarakan pentingnya sikap tegas yang proporsional, saling menahan diri, dan adil dalam meredam dan menyelesaikan konflik yang menyentuh sensitifitas umat. Sikap tegas yang proporsional ini dimaksudkan sebagai bentuk sikap penolakan dan pengecaman terhadap pelanggaran hak asasi umat beragama yang telah dinodai, tanpa harus terjebak dalam anarkisme. Sikap proporsional dengan menerima permintaan maaf yang telah disampaikan pemerintah Denmark maupun harian Jyllands-Pasten, tanpa melupakan tuntutan penerapan sanksi yang proporsional, merupakan bentuk pembelajaran bersama bahwa itikad baik saling memaafkan harus dipandang sebagai bentuk toleransi terhadap kekhilafan. Sebaliknya penerapan sanksi yang proporsional juga merupakan bentuk penerapan keadilan universal yang menempatkan hukum sebagai alat pencegah sekaligus mampu memberikan efek jera, baik bagi pelaku maupun pembelajaran bagi masyarakat internasional. Dengan konsepsi tersebut, diharapakan di masa yang akan datang tidak diketemukan lagi bermacam bentuk diskriminasi dan sikap rasis yang bernuansa perbedaan SARA.

Hal inilah yang seharusnya menjadi renungan dan pemikiran bersama, agar sensitifitas tetap terjaga, tidak harus diseragamkan, tidak pula dihilangkan. Namun biarlah sensitifitas ini tetap menempati ranah yang memang seharusnya menjadi dimensi keragamannya. Tentulah ini yang diharapkan sebagai “unity in differsity” yaitu hidup sejajar, berdampingan, tanpa diskriminasi yang memarjinalkan. Semoga!. 

Menyoal Eksistensi Pidana Hukuman Mati di Indonesia

Oleh:

Muhammad Rustamaji 

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Meski diwarnai dengan discenting opinion dan lingkup putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika, namun putusan tersebut dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan masyarakat luas. Ya, masyarakat kita masih memandang pidana mati masih layak untuk dipertahankan. Beberapa tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, maupun illegal logging agaknya pantas dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus operandi tindak pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun ekses negatif yang meluas dan sistematik bagi halayak, menjadi titik tekan yang paling dirasakan mayarakat. Maka sebagai langkah yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana hukuman mati di Indonesia, putusan MK ini mendapat apresiasi yang representatif.

Namun demikian, putusan Mahkamah Konstitusi atas eksistensi pidana hukuman mati di Indonesia, disadari atau tidak telah membuka kembali ’perang wacana’ mengenai konsep penghukuman yang berprikemanusiaan dan beradab. Beragam pandangan dan argumentasi mengenai pidana hukuman mati sebenarnya telah lama diketengahkan di kalangan akademisi, praktisi, maupun pakar hukum. Bahkan sejak digulirkannya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, wacana ini tidak luput dari banyak sorotan. Perdebatan yang terjadi mencakup sisi filosofis, yuridis maupun sosiologis mengenai urgensi penerapan pidana hukuman mati. Bermacam pertanyaan mendasar seperti apakah manusia berhak mencabut nyawa sesamanya, sedangkan kehidupan adalah karunia Tuhan? siapa yang memberi kewenangan kepada seorang algojo untuk merenggut hak hidup manusia yang lain? hingga pertanyaan teknis mengenai bagaimana pelaksanaan pidana hukuman mati yang memenuhi keberadaban itu dilakukan? terus bergulir mencari rumusan jawaban. Namun semua wacana tersebut timbul tenggelam dalam forum diskusi dan seminar karena ketiadaan kekuatan yuridis yang bersifat final dan mengikat. Hal yang tentunya berbeda ketika wacana tersebut termaktub dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang secara kelembagaan mempunyai kewenangan dan kekuatan hukum sebagai judge make law dalam pengujian produk perundangan.

Babak baru yang kemudian muncul dalam putusan MK ini adalah penguatan teori penjatuhan pidana sebagai konsep pembalasan (vergeldingstheorie) daripada sebagai konsep memperbaiki (verbeteringstheorie) si pelaku. Dengan pidana hukuman mati, negara seakan berlepas diri untuk memperbaiki sikap tindak si pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya. Meskipun sisi hukum yang merupakan ranah yudikatif ini dapat pula diupayakan lebih ringan melalui grasi dan amnesti sebagai hak prerogratif eksekutif, namun hukuman mati masih dipandang sebagai konsep pembalasan atas tindak pidana yang dilakukan. Jika demikian, bagaimana dengan ketentuan sila ke-2 Pancasila ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”? dan ”hak hidup” setiap manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945?  

Dengan perspektif yang berbeda dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi, mengenai nilai kemanusian dalam kerangka acuan keadilan dan keberadaban ini, sangat menarik ketika mengamati beberapa negara lain menyikapinya. Jika di Indonesia saat ini menghapuskan pelaksanaan hukuman mati melalui tiang gantungan, dan diganti dengan ditembak sampai mati oleh regu tembak, hal senada ternyata dapat dijumpai pula di negara lain. Beberapa negara asing misalnya Amerika Serikat, di beberapa negara bagiannya menggunakan kursi listrik, gas beracun dan ada pula yang menggunakan tempat penggantungan seperti di Indonesia pada masa silam. Di Perancis pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan dengan alat pemenggal kepala yang disebuat ’quilotine’. Sedangkan di Negara Timur Tengah menggunakan tiang gantungan atau pedang dalam pelaksanaan hukuman mati pemenggalan kepala. Dapat dicermati bahwa negara-negara yang dikenal sebagai pencetus HAM dan demokrasi ternyata memberlakukan pula eksistensi pidana hukuman mati. Bahkan secara  sederhana dapat dikatakan bahwa, perdebatan panjang mengenai nilai kemanusiaan pada akhirnya berakhir pada pendekatan teknis yang dipandang lebih manusiawi pada saat pelaksanaan hukuman mati. Terbukti, saat ini di negara-negara tersebut dikembangkan adanya teknik lethal injection dalam pelaksanaan hukuman mati. Melalui tiga kali penyuntikan yang terdiri atas obat pembius, obat penghenti detak jantung dan suntikan terakhir yang barupa racun, teknik ini dianggap paling manusiawi dan beradab karena menghilangkan penderitaan bagi sang terpidana mati.

Hukuman Pokok

Fakta hukum yang selanjutnya patut dicermati adalah rumusan hukuman pokok dan hukuman yang bersifat khusus dan alternatif. Terdapat konsepsi yang berbeda ketika konteks pidana hukuman mati ini diberlakukan. Ketika mencermati Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat ditemukan bahwa pidana hukuman mati termasuk sebagai hukuman pokok. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai masa percobaan dalam paruh waktu tertentu menjelang eksekusi. Dengan demikian ketika putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap, maka eksekusi dapat dijalankan. Sedangkan dibeberapa ketentuan hukum yang bersifat khusus, seperti dalam Undang-Undang Narkotika, pidana hukuman mati bersifat khusus dan alternatif. Artinya, ketika pelaku tindak pidana narkotika atau tindak pidana lain yang bersifat extraordinary crime dijatuhi hukuman mati, maka vonis tersebut dapat dieksekusi ketika telah melalui masa percobaan dan sang terpidana tidak menunjukkan sikap yang lebih baik. Dalam hal ini masih terbuka baginya upaya grasi maupun amnesti yang dapat diupayakan selama hukuman percobaan. Klausul hukuman percobaan penjara sepuluh tahun inilah yang membedakan ketika pidana hukuman mati tidak digolongkan dalam hukuman pokok.  

Kejanggalan segera terlihat ketika memperbandingkan KUHP sebagai peraturan umum (lex generalis) terhadap ketentuan-ketentuan pidana luar biasa sebagai peraturan khusus (lex specialis). Dapat dicermati bahwa tindak pidana biasa (ordinary crime) yang diatur oleh KUHP justru menempatkan pidana hukuman mati sebagai hukuman pokok. Namun di dalam ketentuan perundangan yang khusus mengatur pidana luar biasa (extraordinary crime), pidana hukuman mati justru ditempatkan sebagai hukuman alternatif semata. Tidakkah para perumus perundangan mencermati hal ini? Sedangkan diketahui bahwa extraordinary crime mempunyai ekses yang lebih luas bagi kehidupan bersama.  

Inilah beberapa telaah mengenai eksistensi pidana hukuman mati yang sejatinya masih diperlukan dalam menjaga kehidupan bernegara dan berbangsa yang beradab. Justru karena adanya ancaman hukuman mati dalam ketentuan yurudis, diharapkan menumbuhkan efek jera dan pembelajaran bagi khalayak akan arti penting menjaga hak-hak sesama dan tidak melanggarnya. Sebuah fenomena simbolistik yang menarik ketika para pejabat Republik Rakyat Cina (RRC) mendapat suvenir sebuah peti mati berukuran mini dari presidennya. Langkah ini ditempuh untuk memberikan pengingatan bahwa jika para pejabat tersebut melakukan korupsi maka hukuman matilah yang pantas untuknya, tidak terkecuali bagi presiden yang bersangkutan. Mereka menyadari bahwa korupsi akan merusak sendi kehidupan bernegara, penggunaan narkotika akan merusak generasi bangsa dan illegal logging akan menghancurkan lingkungan hidup mereka. Semangat kesadaran seperti inilah yang seharusnya muncul ketika eksistensi pidana hukuman mati tetap diberlakukan di Indonesia. Akhirnya kesadaran tersebut membawa kepahaman untuk sesegera mungkin lepas dari kungkungan krisis multidimensi seperti saat ini. Semoga.

Legal Fee Vs Money Laundering

Kedudukan Advokat yang Menerima Legal fee Sesuai Ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dari Klien yang Menjadi Tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Kerangka Subyek Hukum yang Dapat Dipidana Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003

Oleh

     Muhammad Rustamaji  

Mencermati kembali bunyi Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, secara tersurat dapat diketemukan adanya sebuah pengaturan pemberlakuan undang-undang ini terhadap subyek hukum yang dikenainya.“Pasal 6 (1) setiap orang yang menerima atau menguasai a).penempatan, b).pentransferan, c).pembayaran, d).hibah, e).sumbangan, f).penitipan, g).penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah)”Ketentuan Pasal 6 tersebut agaknya menjadi semacam ‘asas legalitas’ terhadap semua pihak yang menerima kucuran uang hasil tindak pidana pencucian uang. Sedangkan pengecualiannya hanya berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melakukan kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan (STR) dan transaksi keuangan tunai (CTR). Namun demikian, apakah penasehat hukum atau advokat yang menerima pembayaran jasa hukum (legal fee) dari terdakwa kasus pencucian uang secara langsung dapat pula digolongkan sebagai adresat atau subyek hukum yang dapat dipidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 ini? Sementara payung hukum yang berbeda justru memberikan pelegalan atas adanya legal fee ini? Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan kebolehan adanya legal fee ini tanpa adanya batasan, tidak terkecuali terhadap klien yang merupakan terdakwa tindak pidana pencucian uang. Hal senada juga dapat ditemukan dalam pengaturan Kode Etik Profesi Advokat Indonesia Pasal 2 butir 2.8 dan butir 2.9 serta Pasal 3 butir 3.6.“Pasal 21 (1) Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya. (2) Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak”“Pasal 2 (2.8) Advokat harus menentukan honorarium dalam batas-batas yang layak dengan mengingat kemampuan klien” (2.9) Advokat tidak dibenarkan dengan sengaja membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu”“Pasal 3 (3.6) Jika klien hendak berganti advokat, advokat yang baru dipilih tadi dapat menerima perkara itu setelah terlebih dahulu advokat yang lama memberikan keterangan bahwa klien telah memenuhi semua kewajibannya terhadap advokat yang lama termasuk kewajiban keuangan (legal fee)”Ketika terjadi benturan norma sebagai akibat kekosongan hukum yang membatasi keberlakuan legal fee advokat terhadap tindak pidana pencucian uang ini, maka korelasi terhadap siapa adresat atau subyek hukum yang dikenai dalam sebuah peraturan perundangan menjadi fokus yang penting. Dalam hal ini penentuan adresat atau subyek hukum dalam suatu ketentuan perundangan tentunya mempunyai persyaratan yang diatur dalam sistem hukum yang berlaku, tidak terkecuali di Indonesia. Berpijak pada perspektif ketentuan hukum pidana (penal), seseorang dapat dikenai sanksi pidana sebagai subyek hukum atas suatu peraturan perundangan didasari dengan norma tidak tertulis “geen straf zonder schuld; actus nonfacit reum nisi mens sir rea (tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan)”. Dasar ini berkait erat dengan kemampuan seseorang bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukannya. Oleh sebab itu ketika pembahasan mengenai advokat yang menerima legal fee atas jasa hukum yang ia berikan terhadap klien yang notabene terdakwa tindak pidana pencucian uang, harus pula diuji dan dikaji menggunakan parameter adanya kesalahan (liability based on mistake) dan kemampuan bertanggungjawab (criminal responsibility).

1.      Indikator tentang Adanya Kesalahan

Mengacu pada pandangan Simon, kesalahan merupakan adanya keadaan fisik yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa unsur yang dapat melengkapi sebuah perbuatan dikatakan mengandung unsur kesalahan, yaitu (1) melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum), (2) di atas umur tertentu untuk menjamin kemampuan bertanggung jawab, (3) mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa), (4) tiadanya alasan pemaaf.Jika beberapa indikator adanya kesalahan ini peneliti gunakan dalam penguji penerimaan pembayaran legal fee oleh advokat atas jasa hukum yang diberikan kepada kliennya yang notabene merupakan tersangka tindak pidana pencucian uang, maka dapat ditunjukkan ketentuan hukum yang meniadakan indikator kesalahan tersebut.Dalam menjalankan tugas profesionalnya, advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum. Bahkan kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. Mencermati politik hukum diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ini dapat diketahui bahwa fungsi advokasi yang dilakukan seorang advokat dalam melaksanakan tugas sebagai salah satu dari empat pilar penegak hukum termasuk dalam melaksanakan undang-undang. Dengan demikian ketentuan Pasal 50 KUHP berlaku bagi seorang advokat dalam menjalankan tuganya. Ketentuan ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.“Pasal 50 barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana (KUHP)” dan “Pasal 16 Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan (UU No.18/2003)”. Dengan demikian perbuatan memberikan bantuan hukum bagi klien meskipun sang klien merupakan tersangka / terdakwa tindak pidana pencucian uang merupakan alasan pembenar tindakan advokat yang bersangkutan. Keberadaan alasan pembenar ini sebenarnya sudah cukup untuk mengeluarkan profesi advokat dari adresat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam hal ini diletakkan suatu prinsip, bahwa apa yang telah diharuskan atau diperintahkan oleh undang-undang tidak mungkin untuk diancam hukuman dengan undang-undang yang lain. Yang dimaksud dengan undang-undang dalam hal ini mencakup seluruh ketentuan hukum atau peraturan yang dibuat oleh suatu badan pemerintahan yang diberi kekuasaan untuk membuat undang-undang. Ketika prinsip ini disimpangi maka yang terjadi adalah tumpangtindihnya pengaturan suatu permasalahan hukum yang bermuara pada tidak singkronnya peraturan perundangan dalam sebuah sistem perundang-undangan, baik secara vertikal maupun horisontal.

Tabel 1. Singkronisasi Ketiadaan Unsur Kesalahan dalam Tugas Advokasi Profesi Advokat

UU Nomor 25 Tahun 2003 UU Nomor 18 Tahun 2003
Pasal 6 (1) setiap orang yang menerima atau menguasai a).penempatan, b).pentransferan, c).pembayaran, d).hibah, e).sumbangan, f).penitipan, g).penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah) Pasal 50 KUHP Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana
Pasal 6 (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiaban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Pasal 16 Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan
Pasal 18 (2) Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
Pasal 21 (1) Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.
Pasal 21 (2) Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
Kode Etik Profesi Advokat IndonesiaBagian II Hubungan dengan Klien
Bagian II Pasal 2 butir 2.8 Advokat harus menentukan honorarium dalam batas-batas yang layak dengan mengingat kemampuan klien
Bagian II Pasal 2 butir 2.9 Advokat tidak dibenarkan dengan sengaja membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu
Bagian III Hubungan dengan Teman Sejawat
Bagian III Pasal 3 butir 3.6 Jika klien hendak berganti advokat, advokat yang baru dipilih tadi dapat menerima perkara itu setelah terlebih dahulu advokat yang lama memberikan keterangan bahwa klien telah memenuhi semua kewajibannya terhadap advokat yang lama termasuk kewajiban keuangan (legal fee)

2.      Indikator tentang Kemampuan Bertanggungjawab

Kemampuan bertanggungjawab sebenarnya dapat disamakan keadaannya dengan unsur sifat melawan hukum. Hal ini disebabkan keduanya merupakan syarat mutlak, di satu sisi adanya sifat melawan hukum menjamin adanya suatu rumusan dilarangnya suatu perbuatan, sedangkan kemampuan bertanggungjawab menunjukkan adanya unsur kesalahan.Berkenaan dengan perbuatan menerima legal fee sebagai bentuk hak yang boleh dilakukan ketika bantuan hukum sudah diberikan dengan ukuran yang wajar dan disepakati kedua belah pihak, sama sekali berbeda dengan melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, sehingga tidak serta merta memenuhi ketentuan sifat melawan hukum melakukan tindak pidana. Hal demikian disebabkan adanya ranah yang berbeda ketika perjanjian kesepakatan antara advokat dan klien dibuat. Disatu sisi perjanjian memberikan bantuan hukum merupakan ranah hukum privat atau perdata, yang mengatur permasalahan person antara advokat dengan sang klien. Jika terdapat sifat melawan hukum dalam perjanjian tersebut maka berlaku baginya Pasal 1365 BW (Barangsiapa dengan perbuatan melawan hukum menimbulkan kerugian pada orang lain, harus mengganti kerugian tersebut apabila diminta oleh yang menderita kerugian tadi). Sedangkan tindakan menerima atau menguasai harta kekayaan sebagimana diatur dalam Pasal 6 merupakan ranah hukum pidana. Ketentuan Pasal 6 ini menunjuk secara jelas bahwa seseorang yang menerima harta kekayaan yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana berkedudukan hukum sebagai subyek hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP namun tingkatannya dipersamakan sebagai pelaku (pleger) tindak pidana pencucian uang, bukan lagi sebagai orang yang menyuruh lakukan (doen plegen), orang yang turut serta melakukan (medepleger) maupun penganjur / orang yang membujuk melakukan (uitlokker) perbuatan pidana pencucian uang Lebih jauh implikasi yang ditimbulkan dari perbedaan kedua ranah hukum ini adalah mengenai perbedaan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Dengan demikian terdapat dua pandangan mengenai sifat melawan hukum dalam perspektif hukum pidana dan hukum perdata.  Dalam kacamata hukum pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum dibagi menjadi dua pandangan yaitu sifat melawan hukum yang formil dan sifat melawan hukum yang materiil. Pandangan yang formal menyatakan apabila suatu perbuatan telah memenuhi larangan undang-undang, maka terdapat suatu kekeliruan / kesalahan. Letak melawan hukumnya perbuatan sudah nyata dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk dalam pengecualian yang telah ditentukan undang-undang pula. Sebaliknya yang berpendapat sifat melawan hukum secara materiil menyatakan bahwa belum tentu semua perbuatan yang memenuhi larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Dalam hal ini undang-undang tidak terbatas pada apa yang tertulis semata, namun termasuk norma-norma dan kenyataan-kenyataan yang berlaku di dalam masyarakat. Berdasarkan kedua perspektif hukum pidana baik secara formil maupun materiil tersebut, dapat dijelaskan mengenai dilarangnya suatu tindak pidana (criminal act) ini tentunya sangat berkait dengan asas legalitas. Asas ini menetukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan (nullum delictum nulla poena sine previa lege poenale). Dengan demikian legal fee tentunya tidak dapat dianalogikan sama dengan kegiatan menerima harta kekayaan yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Terlebih prasyarat adanya pengecualian pengaturan secara formil pada payung hukum perundangan lain juga terpenuhi mengenai legalitas legal fee ini yang dijamin dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Sehingga ketentuan Pasal 6 tidak menjadi semacam ‘asas legalitas’ terhadap tugas profesional advokat yang menjalankan fungsi advokasi terhadap kliennya yang memberikan legal fee sebagai sebuah hak. Dalam tataran norma dan kenyataan-kenyataan yang berlaku di dalam masyarakatpun kelaziman menerima legal fee sebagai hak yang diperjanjikan secara wajar bukan merupakan sesuatu yang dicela di tengah masyarakat. Dengan demikian profesi advokat beserta legal fee yang diterimanya tidak memenuhi sifat melawan hukum yang formil dan materiil dalam perspektif hukum pidana. Hal ini terlepas dari bermacam pandangan sinis mengenai keterpurukan citra advokat saat ini yang etos kerja profesionalnya digambarkan telah dikalahkan oleh gemerlapnya konsumerisme dan komersialisasi yang secara sengaja atau tidak sengaja menabrak harmonisme administration of justice system.Berbeda dengan sifat melawan hukum dalam perspektif hukum pidana yang sebagian besar termuat dalam KUHP maupun peraturan hukum lainnya, sifat melawan hukum dalam perspektif hukum perdata justru tidak ditentukan secara tegas. Sehingga setiap perbuatan melawan hukum dapat dikategorikan dalam hukum perdata selama pihak yang menderita kerugian meminta penggantian kerugian terhadap orang yang menimbulkan kerugian tersebut. Secara lebih jelas ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1365 KUHPdt (BW), yaitu “Barangsiapa dengan perbuatan melawan hukum menimbulkan kerugian pada orang lain, harus mengganti kerugian tersebut apabila diminta oleh yang menderita kerugian tadi”.  

Pendidikan 4 All

Kubangan Sistem Pendidikan Tradisional

di Ruas Tol Peradaban

 oleh

Muhammad Rustamaji

Membicarakan dan mencermati fenomena kelulusan para siswa dan penerimaan mahasiswa baru sebagai bagian dari proses sistem pendidikan di negeri ini, tentunya merupakan sebuah tema yang sedikit terlupa di sela berita bencana alam yang silih berganti mendera. Meski sebenarnya terdapat pembelajaran yang basar di sana, seperti halnya ketika Jepang justru menanyakan “berapa jumlah guru, dosen, dan profesor, yang masih hidup pasca Bom Atom Hirosima – Nagasaki ?”. Dapat dilihat bagaimana mereka bersemangat untuk belajar ditengah kedukaan, sekaligus mengobarkan isu pendidikan sebagai wahana membangun negeri setelah bencana tiba, itulah semangat negeri jiran di Asia Timur. Lalu bagaimana dengan kita?. Mendiskusikan sistem pendidikan kita, sudah selayaknya mendapat proporsi yang seimbang, sebab masih banyak varian persoalan di sana, mulai dari permasalahan teknis yang menyangkut fasilitas pendidikan, kompleksitas perubahan sistem pendidikan yang terus berbenah, hingga bermacam ekspektasi, ekspresi dan reaksi atas hasil kelulusan. Hal ini sangat berbeda ketika beberapa waktu lalu masyarakat dunia membicarakan hingar-bingar piala dunia dengan setumpuk prediksi yang mempunyai akurasi tinggi, meski bola ternyata tetap bulat dan penuh dengan kemungkinan yang mencengangkan. Sebuah realita yang berkebalikan, yang tidak dapat diprediksikan atau bahkan dapat dikatakan autopis jika dibandingkan dengan sistem pendidikan yang bercita-cita mendunia.

Kebutuhan Akan Pendidikan

Sebagai salah satu aspek kebutuhan pokok saat ini, pendidikan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Meski pandangan terhadap pendidikan tidak selalu harus di batasi dengan ruang kelas yang berjajar, bangku-bangku yang tertata, maupun ijasah yang dituju sebagai tolok ukur keberhasilan utama. Pendidikan menempati ruang dan waktu sebagai asupan informasi yang selalu baru bagi setiap insan manusia, yang tentunya akan mengalami keterbelakangan jika tak mengacuhkannya. Harus disadari, peserta didik maupun pendidik di abad ke-21 akan menghadapi tantangan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Perubahan pesat di setiap lini kehidupan yang didorong kemajuan teknologi dan pesatnya komunikasi merambah ke semua aspek kehidupan, tidak terkecuali di bidang pendidikan. Bermacam metode pembelajaran, keterampilan, dan berbagai fakta yang berasal dari zaman pra-teknologi, tidak akan mampu mempersiapkan peserta didik maupun pendidik sekalipun, untuk menghadapi tantangan di masa depan, kecuali jika para pembelajar tersebut senantiasa menempa diri sebagai pembelajar seumur hidup. Untuk itu diperlukan sebuah pemikiran yang dapat menjembatani kesenjangan yang muncul antara metode belajar mengajar yang selama ini ada terhadap pesatnya perkembangan zaman. Metode ini harus memenuhi syarat menyeluruh, dapat diaplikasikan, inovatif dan mendorong para pembelajar menjadi warga yang aktif dalam dunia yang baru. Di sinilah aspek kebutuhan akan pendidikan muncul sebagai sebuah kebutuhan pokok yang mutlak diperlukan keberadaannya. Sebagaimana layaknya kebutuhan pokok lainnya, pendidikan memegang peranan penting yang tidak dapat dikesampingkan saat ini. Ketika pangan memenuhi nutrisi biologis jasmani, maka pendidikan memberikan asupan pengetahuan bagi super komputer kita, yaitu otak. Ketika sandang memberikan selubung etik dan estetik yang membungkus ragawi, maka pendidikan memberikan balutan cakrawala dan wacana sehingga kita tahu segalanya dan tidak menjadi malu terhadap sesama. Dan demikian pula ketika papan memberikan perlindungan dan menjadi arah tujuan berpulang keperaduan, maka pendidikan berperan menjadi payung kehidupan yang melindungi dari pekatnya kabut kebodohan, sekaligus memberi pijakan teori dan pengalaman praktis yang menuntun jalan. Ya, demikianlah gambaran fungsi pendidikan yang sejajar dengan kebutuhan pokok kita sebagai manusia. Tampak ideal, sangat akademis, bernorma tinggi dan sangat tertata rapi disetiap jenjangnya. Namun di balik keteraturan sistem pendidikan tersebut, tertangkap sebuah bayangan kelabu dari kacamata sosiologis, ketika huru-hara justru terjadi di lingkungan kampus, mahasiswa di ciduk aparat, aparat di serbu mahasiswa, dan bermacam tindakan anarkis atas nama demokratis. Beberapa pertanyaan muncul, apakah pandangan normatif fungsi pendidikan tersebut menunjukkan rona hitam putih terhadap rivalnya yang tidak berpendidikan? Apakah pendidikan menjadi pembeda yang signifikan dalam berpikir, bertutur, bertindak, dan berperilaku atas rivalnya yang tidak berpendidikan? Inilah diskusi yang semoga cukup menggelitik untuk kita perbincangkan.Paradigma Pembelajaran Sebagaimana lukisan yang tertoreh dengan beraneka warna dan sentuhannya, dibalik itu semua tentu terpatri sebuah aliran yang mendasari sang perupa mengekpresikan karya seninya. Hal yang tidak jauh berbeda juga berlangsung ketika sang guru mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya, mengajarkan huruf demi huruf hingga merengkuh kelengkapan sebuah ensiklopedia, dari rumus dasar matematika hingga alih teknologi yang mendunia, atau dari sebuh konsep sedehana menjadi aturan hukum yang menjadi panglima. Demkianlah setetes pendidikan diajarkan melalui transfer nilai-nilai yang sangat luar biasa. Namun perlu diingat, itu semua pastilah terdapat paradigma pembelajaran yang mendasarinya.Setidaknya terdapat dua paradigma pembelajaran yang selama ini coba diterapkan dalam sistem pendidikan kita. Paradigma pertama mengusung pendidikan dalam pembelajaran classical yang menggunakan pendekatan perilaku, menggunakan pengajaran yang berpusat pada guru (teacher oriented), dan berdasarkan pengajaran yang bersifat eksplisit yang “mengisi” peserta didik sepanjang waktu, ibarat mengisi ember dengan bermacam air yang ada. Guru / dosen memberikan informasi khusus dengan cara menggurui. Informasi ini biasanya dianalisa dengan cermat, dibagi menjadi tugas-tugas terpisah, dan disajikan secara berurutan kepada peserta didik. Guru / dosen dianggap sebagai “pemilik” semua informasi. Tugas guru / dosen adalah menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik. Sedangkan peserta didik diharapkan menguasai suatu tugas melalui latihan dan pengulangan sebelum pindah ketahapan yang lain (Seefeidt, 1994).Disinilah kita terjebak dalam sebuah kubangan “penjara pendidikan” yang tidak menawarkan sebuah penyelesaian yang mendasar sebagai sebuah proses yang mengubah hidup. Maka jangan heran ketika mahasiswa menyerbu rektoratnya karena SPP naik, dan pihak rektorat balik menyerbu mahasiswa yang mendemonya, inilah sedikit gambaran yang sangat memalukan di tengah institusi pendidikan tinggi di negeri ini. Ketiadaan proses belajar yang mampu mengubah peserta didik memiliki cakrawala berpikir yang luas dan menghilangkan kaca mata kuda dibenaknya, dituding sebagai salah satu penyebabnya. Hal ini tidak lain karena tersumbatnya arus berpikir yang selama ini hanya berjalan satu arah dan menghilangkan daya kritis yang sedang mencari bentuknya. Sehingga ketika daya kritis ini tidak mendapatkan saluran yang mampu memberikan jawaban yang bijak, maka anarkis yang muncul sebagai ekses demokratisasi yang tersumbat. Namun sekali lagi hal ini bukan berarti tindakan anarkis menjadi legal dan sah ketika pintu dialogis terkunci. Adalah hak setiap orang terlebih bagi mereka yang mengenyam pendidikan tinggi melontarkan buah pikir dan pendapatnya secara baik dan tidak mengganggu hak orang lain, termasuk yang menolaknya secara tegas. Inilah konsep dasar demokrasi yang notabene merupakan buah pembelajaran panjang bangsa-bangsa beradab dalam mengemukakan pendapatnya.Jika dalam hukum kita mengenal konsepsi hukum yang progresif, tampaknya paradigma kedua dalam dunia pendidikan juga mencerminkan hal yang serupa. Paradigma di sini menggunakan pendekatan perkembangan yang menempatkan peserta didik sebagai pembelajar sejati dalam konteks historis pendidikan progresif dan diposisikannya peserta didik menjadi titik awal pengembangan metodologi. Inilah yang disebut sistem pendidikan yang berpusat pada peserta didik (student oriented). Setidaknya terdapat tiga macam cakupan dalam pelaksanaan sistem pembelajaran yang berpusat pada peserta didik ini, yaitu (1) Konstruktifisme, dalam hal ini terdapat sebuah keyakinan bahwa pembelajaraan terjadi ketika peserta didik berusaha memahami dunia disekeliling mereka. Pembelajaran menjadi proses interaktif yang melibatkan teman sebaya, orang lain, dan lingkungan. Mereka memahami apa yang terjadi di sekeliling mereka dengan mensintesa pengalaman baru dengan apa yang telah mereka pahami sebelumnya (Jacqueline dan Martin Brooks, 1993). Bedah kasus (public case examination),  simulasi perkara maupun miniatur persidangan semu, merupakan contoh aplikasi riil dalam pendidikan hukum yang dapat dikembangkan untuk dijadikan “jembatan” penghubung antara law in book dan law in action dalam inovasi pembelajaran. (2) Metodologi yang sesuai perkembangan. Di sisi metodologi yang sesuai dengan perkembangan adalah metodologi yang didasarkan pada pengetahuan mengenai perkembangan peserta didik. Program yang disesuaikan dengan perkembangan, dirancang untuk membantu peserta didik menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri. Saat peserta didik mengajukan pertanyaan, timbullah minat, motivasi dan perhatian mereka dengan sendirinya. Peran dosen hanya menunjukkan jalan untuk menemukan jawaban yang memuaskan peserta didik, tanpa terlalu menyederhanakan informasi, atau menghujani peserta didik dengan informasi yang tidak dapat dipahami. (3) Pendidikan progresif, John Dewey yang dikenal sebagai bapak pendidikan progresif, menekankan bahwa “pendidikan dipandang sebagai proses sepanjang hidup, bukanlah persiapan untuk masa mendatang”. Dewey berpendapat bahwa pendidikan yang ditujukan untuk persiapan dimasa dewasa, telah menyangkal adanya kegembiraan dan rasa ingin tahu yang terdapat dalam diri peserta didik, yang mereka bawa ke sekolah / kampus, dan mengalihkan fokus pengajaran yang seharusnya ditujukan terhadap minat dan kemampuan yang saat ini nyata-nyata dimiliki peserta didik, dialihkan menjadi fokus terhadap anggapan-anggapan abstrak tentang hal-hal yang mungkin mereka ingin dapat di masa mendatang (Dewey, 1938).

Harapan Bagi Pendidikan Hukum Indonesia

Maka mensintesa dari uraian terdahulu, menurut hemat penulis pandangan normatif fungsi pendidikan dapat secara gamblang menunjukkan rona hitam putih terhadap rivalnya yang tidak berpendidikan ketika pendidikan mampu menghadirkan sebuah perubahan bagi setiap orang yang menempuhnya, sehingga ia mempunyai keberanian mengubah hidupnya. Berubah dari kubangan kebodohan dan ketidaktahuan kearah jalan tol pemahaman dan pengetahuan luasnya cakrawala kehidupan. Selanjutnya paradigma pendidikan yang progresif tadi mampu menjadi pembeda yang signifikan dalam berpikir, bertutur, bertindak, dan berperilaku atas “rivalnya” yang tidak mengenyam bangku pendidikan. Semoga inilah gambaran yang sedang kita tuju sebagaimana dahulu juga pernah berlangsung dalam pendidikan hukum kita yang mengalami tiga tahap perubahan dari suasana pendidikan Rechtsschool (1910) yang tanpa cita-cita kecuali menjadi anak pelajar di bawah perwalian pejabat Belanda. Dilanjutkan pada suasana pendidikan di Universitas Leiden (1920) yang mulai membuka cakrawala idiologi sebagai bangsa besar dan mengenal sistem negara modern. Hingga akhirnya pada suasana pendidikan Rechtshoogeschool (1925) yang mencerahkan anak bangsa menjadi pencetus ide-ide nasionalisme, melahirkan pikiran serba kritis dan menolak kendali perwalian paternalistik yang tidak hanya berbau kolonial namun juga kolot. Viva Justisia. Semoga !!.


Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Blog Stats

  • 32.621 hits

Flickr Photos