Bagaimana Formulasi Hukum Kita Mengatur Illegal Logging?

Oleh:

Muhammad Rustamaji

   

Hukum pidana sebagai salah satu sarana penegakan hukum, menempati posisi yang penting dalam upaya pendayagunaan hukum. Salah satu dari peran pendayagunaan sarana penal tersebut adalah pengaturan dalam tahap formulasinya.

Berikut ini akan dideskripsikan mengenai ketentuan pidana dari perundang-undangan yang merupakan konsepsi tahap formulasi lex specialis terhadap urusan-urusan di bidang kehutanan dan yang menjadi dasar hukum dalam penegakan hukum pidana (penal) terhadap penebangan liar (illegal logging), yaitu antara lain;

a.     Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragaraf ke-18 UU No.41 Tahun 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi juga ditujukan kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan sehingga timbul rasa enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidana yang berat.

Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999 yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini dapat pula dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat dicermati dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 UU No.41 Tahun 1999.

Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan penebangan liar (illegal logging) berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 antara lain sebagai berikut;

Tabel 1. Ketentuan Pidana dalam UU No.41 Tahun 1999

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (Pasal 50 (1)). Barang siapa dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang yang diberikan ijin pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta ijin pemungutan hasil hutan kayu danbukan kayu. Dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 (2)). Barang siapa yang melanggarketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:a.  500 (lima ratus) meter dari tepi waduk dan danaub.  200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawac.   100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungaid.  50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungaie.  2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurangf.    130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai (Pasal 50 ayat (3) huruf c)Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang dilarang untuk menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf e). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Menerima, membeli, atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 5 ayat (3) huruf f). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 50 ayat (3)huruf h). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000.- (sepuluh milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (6)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000.- 
Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan diguanakn untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3)huruf j). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (8)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf k). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000.- (satu milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (9)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000.- 
Negara melakukan perampasan terhadap hasil hutan dan alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran (Pasal 78 ayat (15)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman perampasan terhadap hasil hutan dan alat-alat yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran

Berdasarkan uraian tentang formulasi ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 di atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu;

1)    Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan

2)    Kegiatan yang keluar dari ketentuan perijinan sehingga merusak hutan

3)    Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang

4)    Menebang pohon tanpa ijin

5)    Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan ilegal

6)    Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)

7)    Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa ijin

Menelaah rumusan tentang unsur-unsur ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut, terdapat beberapa kelemahan yang diakibatkan adanya sifat selektifitas dari ketentuan hukum ini. Sasaran penegakan hukum dalam ketentuan pidana tersebut belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku kejahatan penebangan liar (illegal logging). Rumusan unsur-unsur pidana seperti diuraikan di atas memang sangat efektif untuk diterapkan kepada pelaku terutama masyarakat yang melakukan pencurian kayu tanpa ijin atau masyarakat yang diupah oleh pemodal untuk melakukan penebangan kayu secara ilegal dan kepada pelaku pengusaha yang melakukan pelanggaran konsesi penebangan kayu ataupun yang tanpa ijin melakukan operasi penebangan kayu. Akan tetapi perkembangan kasus penebangan liar (illegal logging) saat ini justru diindikasikan banyak melibatkan oknum pejabat pemerintah termasuk oknum pejabat pemerintah daerah, oknum pegawai negeri sipil, oknum TNI dan Polri serta oknum pejabat penyelenggaraan negara lainnya yang justru menjadi bagian dari pelaku intelektual dalam penebangan liar (illegal logging) belum dapat terjangkau oleh ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut.

Keterlibatan pegawai negeri sipil maupun militer, oknum pejabat serta oknum aparat pemerintah atau penegak hukum lainnya baik selaku pemegang saham dalam perusahaan penebangan kayu, maupun yang secara langsung melakukan kegiatan bisnis kayu, acapkali lolos dari jeratan hukum, sehingga efek selanjutnya adalah tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Subyek hukum (adresat) dalam tindak pidana kehutanan sebagaimana yang diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut, terbatas pada orang dalam pengertian baik orang pribadi (persoon), badan hukum, maupun bahan usaha, akan tetapi belum mengatur perbuatan yang dilakukan oleh korporasi dan pegawai negeri, demikian juga pengaturan sanksi tambahan terhadap pelaku individu dan korporasi.

Secara tegas UU No.41 Tahun 1999 belum memberikan definisi tentang penebangan liar (illegal logging), belum mengatur tentang tindak pidana korporasi, tindak pidana penyertaan, dan tindak pidana pembiaran (omission), terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas kejahatan penebangan liar (ilegal logging). Oleh karena itu, hal tersebut menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku kejahatan penebangan liar (ilegal logging) yang secara tegas tidak diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut. Pada akhirnya dalam upaya penegakan hukum, pelaku-pelaku tersebut dimungkinkan untuk lolos dari tuntutan hukum. Terkait dengan perkembangan kejahatan penebangan liar (ilegal logging) sebagaimana dicermati dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini tidak cukup efektif atau dapat dikatakan tidak dapat mengakomodasi perkembangan kehajatan penebangan liar (ilegal logging) yang berkembang dari masa-kemasa. 

b.     Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

Pengaturan pidana dalam UU No.5 Tahun 1990 ini diatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi pidana ada tiga macam yaitu pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) sedangkan sanksi pidana terhadap pelanggaran diatur dalam Pasal 40 ayat (3) dan (4) UU No.5 Tahun 1990, sedangkan unsur-unsur perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, Pasal 21 dan Pasal 33.

Tabel 2. Ketentuan Pidana dalam UU No.5 Tahun 1990

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap; keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-baginnya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau diluar Indonesia (Pasal 21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.-
Barang siapa karena kesalahannya melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap; keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.- (seratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (3)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-baginnya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau diluar Indonesia (Pasal 21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.- (lima puluh juta rupiah) (Pasal 40 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.-

Unsur-unsur pidana yang terkait dengan kegiatan penebangan liar (illegal logging) dalam undang-undang di atas antara lain;

1)    Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian yang mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan tersebut khusus pada kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata.

2)    Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, memperniagakan dan menyelundupkan hasil hutan, namun demikian ketentuan tersebut khusus terhadap hasil hutan berupa tumbuhan yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam kepunahan (Penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU No.5 Tahun 1990)

Berdasarkan rumusan ketentuan pidana dalam UU No.5 Tahun 1990 tersebut, maka dapat dipahami bahwa UU No.5 Tahun 1990 hanya secara khusus mengatur mengenai kajahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis tumbuhan tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) hanya sebagai instrumen pelengkap atau sebagai pasal lapisan tuntutan (subsidaritas) dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penebangan liar (illegal logging). Dan perlu diperhatikan bahwa ketentuan tersebut hanya dapat berfungsi jika unsur-unsurnya terpenuhi.

c.      Ketentuan Pidana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985

Ada dua jenis pidana berdasarkan Pasal 18 PP No.28 Tahun 1985 yaitu kejahatan dan pelanggaran sedangkan sanksi pidananya ada empat macam, yaitu pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran. Ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut diatur dalam Pasal 18, yang akan diuraikan sebagai berikut;

Tabel 3. Ketentuan Pidana dalam PP No.28 Tahun 1985

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Barang siapa dengan sengaja melakukan penebangan pohon-pohon dalam huatan lindung tanpa ijin  (Pasal 9 ayat (2)), dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp100.000.000.- (seratus juta rupiah) (Pasal 18 ayat (1)). Sedangkan jika perbuatan tersebut dilakuakn di dalam hutan bukan hutan lindung dipidana dengan penjara selama-lamnaya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp20.000.000 (dua puluh juta rupiah) (Pasal 18 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.- dan atau ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.-
Barang siapa yang melakukan pemungutan hasil hutan dengan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan (seluruh pohon) di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan (Pasal 7 ayat (3)), dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000.- (satu juta rupiah) (Pasal 18 ayat (3)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.-
Barang siapa yang dengan sengaja memiliki dan atau menguasai dan atau mengangkut hasil hutan yang sudah dipindahkan dari tempat pemungutannya tanpa disertai dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH), dipidana dengan didana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000.-(lima juta rupiah) (Pasal 18 ayat (4) huruf d) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja membawa alat-alat yang lazim diguanakan untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan, selain petugas yang diberi wewenang oleh undang-undang (Pasal 9 ayat (1)), dipidana dengan pidana kurungan selama-lamnya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 2.500.000.- (dua juta lima ratus ribu rupiah) (Pasal 18 ayat (5)). efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp2.500.000.-
Semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang diperguanakan untuk melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dapat dirampas untuk negara. efek jera yang diterapkan dengan perampasan semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana

Jika dicermati dari rumusan ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa PP No.28 Tahun 1985 ini hanya mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran yang secara khusus dilakukan dalam hutan lindung. Sama seperti UU No.5 Tahun 1990, ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 ini hanya sebgai pelengkap (subsideritas) atas tindak pidana di bidang kehutanan dan ketentuan ini hanya secara khusus mengatur tentang kejahatan di bidang kehutanan yang dilakukan di dalam hutan lindung. Jika dibandingkan dengan ketentuan pidana  dalam UU No.41 Tahun 1999, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya semua unsur-unsur yang diatur dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut telah dimuat dalam rumusan tentang ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999. sanksi pidana menurut UU No.41 Tahun 1999 juga relatif lebih berat jika dibandingkan dengan sanksi pidana yang diatur dalam PP No.28 Tahun 1985 yang relatif lebih ringan, sehingga efek jera yang ditimbulkan pun relatif kecil.

Dipandang dari segi ilmu hukum pidana, maka PP No.28 Tahun 1985 ini menurut Marpaung (1995:18) terdapat kerancuan dalam penerapan sanski pidana yang berat terhadap tindak pidana terhadap hutan. Hal tersebut dikarenakan sangat jarang formulasi tindak pidana dan sanksi dimuat dalam sebuah Peraturan Pemerintah, karena pada umumnya tindak pidana serta sanksi dirumuskan berdasarkan undang-undang, sedangkan ketentuan pidana kehutanan dalam UU No.5 Tahun 1967 justru diatur dalam PP No.28 Tahun 1985. Pengaturan sanksi pidana yang ditetapkan dalam PP No.28 Tahun 1985 ini sebenarnya merupakan penjabaran dari Pasal 19 ayat (1) UU No.5 Tahun 1967 yang berbunyi;“Peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini dapat memuat sanksi pidana, berupa hukuman pidana penjara atau kurungan dan/atau denda“. Oleh karena itu dalam menetapkan PP No.28 Tahun 1985 ini sebagai dasar hukum dalam penerapannya harus selalu dilihat dengan Pasal 19 UU No.5 Tahun 1967. Namun demikian, dengan diberlakukannya UU No.41 Tahun 1999 kerancuan tersebut dapat diatasi.

Di samping ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai illegal logging dalam lingkup kehutanan, ketentuan pidana di luar lex specialis dapat pula ditemukan dalam KUHP sebagai lex generalis sekaligus menunjukkan sifat pendayagunaan sarana penal yang komplementer dalam pengaturan tindak pidana illegal logging ini. Berikut uraian mengenai cakupan tindak pidana yang dapat digunakan dalam mendekati tindak pidana penebangan laiar (illegal logging) di dalam KUHP.

d.     Ketentuan Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Tindak pidana terhadap kehutanan merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Menurut Pompe dan Hamzah (1991:1), terdapat dua kriteria yang dapat menunjukkan hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subyeknya yang khusus, dan kedua, perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten). Berkenaan dengan tindak pidana penebangan liar (illegal logging) merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana perbuatannya dikategorikan khusus sebagai extra ordinary crime, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan.

Pada dasarnya kejahatan penebangan liar (illegal logging), secara umum dapat dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, penebangan liar (illegal logging) dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum, yaitu:

1)    Perusakan

Perusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang perusakan barang dalam arti barang-barang biasa yang dimiliki orang (Pasal 406 KUHP). Barang dalam hal ini dapat berupa barang tetap maupun tidak tetap, bergerak maupun tidak bergerak. Namun berkenaan dengan barang-barang yang mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal 408, akan tetapi terbatas pada barang-barang tertentu sebgaimana yang disebutkan dalam pasal tersebut[1] dan tidak relevan untuk ditetapkan pada kejahatan perusakan hutan.

Unsur perusakan terhadap hutan dalam kejahatan penebangan liar (illegal logging), bermula dari konsepsi tentang prinsip perijinan dalam sistem pengelolaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi hutan. Penebangan liar (illegal logging) pada hakekatnya merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perijinan yang ada, baik tidak memiliki ijin secara resmi maupun yang memiliki ijin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perijinan tersebut (Contoh :  over cutting, penebangan di luar areal konversi yang dimiliki). Kerusakan lingkungan akibat tindakan seperti ini belum tercakup dalam ketentuan Pasal 408 KUHP meskipun kepentingan umum berpotensi terganggu karenanya.

2)    Pencurian

Ketika penebangan liar (illegal logging) dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian, dapat dirumuskan dalam unsur-unsurnya menurut penjelasan Pasal 363 KUHP yaitu sebagai berikut:

a)    Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai

b)    Suatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku

c)     Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.

d)    Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan hukum. Jelas bahwa kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan kegiatan illegal logging ini adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu untuk dimiliki. Akan tetapi harus juga diperhatikan mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum adalah perbuatan melawan hukum.

Adapun ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP antara lain Pasal 363 yaitu pidana penjara 5 (lima) tahun, Pasal 364 pidana penjara 7 (tujuh) sampai dengan 9 (sembilan) tahun dan Pasal 365 dengan pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun.

3)    Pemalsuan

Pemalsuan surat diatur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 276 KUHP. Menurut penjelasan Pasal 263 KUHP, pemalsuan surat merupakan kegiatan membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah surat yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian, pembebasan utang atau surat yang dapat digunakan sebagai suatu keterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun, Pasal 264 paling lama 8 (delapan) tahun, Pasal 266 dipidana penjara 7 (tujuh) tahun. Berkenaan dengan illegal logging, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku llegal logging adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), termasuk pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kehutanan.

4)    Penggelapan

Penggelapan di dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Dalam penjelasan Pasal 372 KUHP, penggelapan diartikan mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan untuk dimiliki dengan melawan hak. Modus penggelapan dalam kejahatan penebangan liar (illegal logging) antara lain  penebangan di luar area yang dimiliki (over cutting), penebangan yang melebihi target kuota yang ada (over capasity), dan melakukan penebangan sistem tebang habis sedangkan iijin yang dimiliki adalah tebang pilih, mencantumkan data jumlah kayu dalam SKSHH yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya. Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.- (sembilan ratus rupiah).

5)    Penadahan

Heling atau persekongkolan atau penadahan diatur dalam Pasal 480 KUHP. Lebih lanjut perbuatan itu dikategorikan menjadi perbuatan membeli, atau menyewa barang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil dari kejahatan. Ancaman pidana dalam Pasal 480 adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.- (sembilan ratus rupiah). Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam maupun di luar negeri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil penebangan liar (illegal logging) yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku, baik penjual maupun pembeli. Modus ini juga diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No.41 Tahun 1999.


[1] Barang-barang kepentingan umum yang dimaksud Pasal 408 KUHP meliputi : pekerjaan jalan kereta api, trem, kawat telegram, telfon atau listrik, atau pekerjaan untuk menahan air, pembagian air, atau pembuangan air, pipa gas atau air, atau selokan (jalan membuang kotoran)

KEKUATAN PEMBUKTIAN TES DNA DALAM KACAMATA KUHAP

Oleh:

Muhammad Rustamaji

   

Pemanfaatan tes DNA dalam mengungkap pelaku tindak pidana terorisme merupakan langkah strategis yang mungkin dilakukan saat ini mengingat keotentikan alat bukti tes DNA itu sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah. Sebagai alat bukti petunjuk, tentunya berdampak sangat signifikan dalam pengungkapan kasus terorisme. Pentingnya kedudukan alat bukti tes DNA dalam proses peradilan pidana mencakup beberapa hal penting yaitu, pertama, terkait dengan identifikasi pelaku dalam proses penyidikan dan dalam pengembangan kasus. Kedua dalam hal mengungkap jaringan pelaku tindak pidana terorisme itu sendiri, dari hal-hal tersebut dapat diketahui latar belakang pelaku tindak pidana terorisme misalnya mengenai latar belakang pendidikan, keluarga sehingga dapat diketahui maksud dan tujuan pelaku tindak pidana terorisme melakukan berbagai aksinya, apakah hanya sebatas melakukan teror, memperjuangkan aksi kelompoknya atau menentang penjajahan, hal ini penting karena terkait dengan bagaimana proses pengusutan lebih lanjut. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti petunjuk menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa alat bukti petunjuk mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.

Namun sampai saat ini penggunaan alat bukti tes DNA dalam proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat yang dapat digunakan sebagai  alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sekunder sehingga masih memerlukan dukungan alat bukti lain. Alat bukti tes DNA belum dilihat sebagai alat bukti yang dapat mendukung proses pengidentifikasian pelaku tindak pidana terorisme.

Hingga saat ini pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA hanya diatur dalam KUHAP. Berikut adalah beberapa paparan mengenai pengaturan mengenai alat bukti tes DNA dari peraturan hukum tersebut berdasarkan ketentuan dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981)

Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam KUHAP tidak banyak kita temui pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti. Dalam hal ini hanya terdapat satu pasal yang mengatur alat bukti, yaitu :

Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan “Alat bukti yang sah ialah”;

(1)    Keterangan saksi

(2)    Keterangan ahli

(3)    Surat

(4)    Petunjuk

(5)    Keterangan terdakwa

Mengingat pembuktian dengan menggunakan tes DNA memang tidak diatur secara khusus dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai memanfaatkan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti di persidangan, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa alat bukti tes DNA paling dekat korelasinya dengan alat bukti petunjuk.

Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai alat bukti petunjuk yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian seperti yang disampaikan R. Soesilo bahwa yang dimaksud petunjuk yaitu suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya, adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim (R.Soesilo,1997 : 167). Dari definisi petunjuk tersebut, kita memperoleh beberapa ketentuan mengenai  petunjuk  yang harus dipenuhi antara lain;

1.     Suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya. Adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa

2.     Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim

Jika telaah ketentuan mengenai saksi di atas diterapkan dalam pemanfaaan alat bukti tes DNA  dalam mengungkap kasus terorisme, maka dapat kita ulas sebagai berikut;

1.     Suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya. Adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa

Hanya dari ketiga alat bukti itu, bukti petunjuk dapat diolah. Dari ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan. Persesuaian itu diambil dan diperoleh dari keterangan pihak dan peristiwa yang terkait di dalamnya.

2.     Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim

Sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yang dianut KUHAP (Pasal 183 KUHAP) pada prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim, dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian kita adalah perpaduan antara sistem conviction-in time(vrijbewijk) dan sistem pembuktian positif (positief wettelijk stelsel). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian kita. Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya. Dalam hal ini penggunaan tes DNA yang menyajikan data secara detail atau rinci mengenai susunan kromosom seseorang sehingga, memungkinkan hakim untuk dapat memberikan penilaian atas hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA tersebut.

Berdasarkan ilustrasi teknis diatas nampaknya alat bukti tes DNA  memang tepat untuk menjadi alat bukti petunjuk dalam mengungkap kasus terorisme. Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam KUHAP tidak banyak kita temui pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti, sedangkan substansi dan kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA yait

(1).          Substansi Pembuktian

Dalam kasus yang membutuhkan pembuktian mengenai asal-usul keturunan seseorang maka alat bukti tes DNA bertindak sebagai alat bukti petunjuk karena bukan merupakan alat bukti langsung atau indirect bewijs.

(2).          Kekuatan Pembuktian

Penggunaan tes DNA yang penyelesaiannya berkaitan dengan pelacakan asal-usul keturunan dapat dijadikan sebagai bukti primer, yang berarti dapat berdiri sendiri tanpa diperkuat dengan bukti lainnya, dengan alasan :

a.     DNA langsung diambil dari tubuh yang dipersengketakan dan dari yang bersengketa, sehingga tidak mungkin adanya rekayasa dari si pelaku kejahatan untuk menghilangkan jejak kejahatannya.

b.     Unsur-unsur yang terkandung dalam DNA seseorang berbeda dengan DNA orang lain (orang yang tidak mempunyai garis keturunan), yakni dalam kandungan basanya, sehingga kesimpulan yang dihasilkan cukup valid.  (Taufiqul Hulam, 2002 : 130)

Tes DNA sebagai salah satu bentuk alat bukti petunjuk harus mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang dapat ditunjukkan melalui syarat-syarat :

a.     Kerahasiaan (confidentially).

Penggunaan alat bukti tes DNA mempunyai tingkat kerahasianan yang cukup tinggi, mengingat informasi hasil tes DNA tidak disebarkan pada orang atau pihak yang tidak mempunyai hak untuk mengetahuinya. Dalam hal mendapatkan alat bukti tes DNA, pihak yang berwenang untuk mengeluarkan hasil pemerikasaan adalah Rumah Sakit atau Laboratorium yang memiliki fasilitas khusus dengan aparat yang telah ditunjuk, sehingga tingkat kerahasaiaan dapat terjaga.

b.     Otentik (autentify).

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diketahui bahwa tubuh manusia terdiri dari sel-sel, yaitu satuan terkecil yang memperlihatkan kehidupan, yang di dalamnya terdapat inti sel dan organel-organel yang berperan dalam bidang masing-masing di dalam sel itu. Sehubungan dengan itu, bagian yang perannya sangat penting dalam melakukan pengendalian adalah inti sel. Di dalam inti sel ini terdapat kromosom dan nukleus.

Kromosom yang terdapat dalam inti sel tersusun atas bagian- bagian yang dinamakan gen. gen-gen ini bila diperiksa lebih lanjut ternyata terdiri atas molekul- molekul yang merupakan sepasang rangkaian panjang yang saling melilit. Tiap rangkaian berisi satuan- satuan yang dinamakan DNA yang tersambung satu sama lain secara khas menurut urutan tertentu. (Taufiqul Hulam, 2002 : 125)

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa setiap manusia mempunyai susunan kromosom yang identik dan berbeda-beda setiap orang, sehingga keotentikan dari alat bukti tes DNA dapat teruji, disamping itu alat bukti tes DNA disahkan oleh pejabat yang berwenang sehingga memperkuat kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA.

c.      Objektif.

Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan DNA, merupakan hasil yang didapat dari    pemeriksaan berdasarkan keadaan obyek sesungguhnya dan tidak memasukkan unsur pendapat atau opini manusia di dalamnya, sehingga unsure subyektifitas seseorang dapat diminimalisir.

d.     Memenuhi langkah-langkah ilmiah (Scientic)

Untuk memperoleh hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA, harus menempuh langkah-langkah ilmiah yang hanya didapat dari uji laboratorium yang teruji secara klinis, yaitu pertama, mengambil DNA dari salah satu organ tubuh mausia yang di dalamnya terdapat sel yang masih hidup, kedua, DNA yang telah diambil tersebut dicampur dengan bahan kimia berupa proteinase yang berfungsi untuk menghancurkan sel, sehingga dalam larutan itu tercampur protein, kabohidrat, lemak, DNA dan lain-lain, ketiga pemisahan bagian-bagian lain selain DNA dengan menggunakan larutan fenol, setelah langkah-langkah ini akan diketahui bentuk DNA berupa larutan kental dan akan tergambar identitas seseorang dengan cara membaca tanda-tanda atau petunjuk yang terkandung di dalamnya. (Taufiqul Hulam, 2002 : 128)

Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa, sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain :

1.                 hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian aynag diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainaya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.

2.                 petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa (terikat pada prinsip batas minimum pembuktian ). Oleh karena itu petunjuk mempunyai nilai pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya alat bukti lain. (Yahya Harahap, 2005 : 317)

LEGALITAS LINUX DALAM REGIME HKI

Oleh:

Muhammad Rustamaji   

Alasan yang Melandasi Linux Dapat Digunakan Sebagai Perangkat Lunak Program Komputer dengan Tanpa Melanggar Hak Cipta

Fokus pembicaraan mengenai penilaian legal atau ilegalnya suatu pemanfaatan hak cipta orang lain, sebenarnya terletak pada ada tidaknya izin yang diberikan dari si pemegang hak cipta tersebut kepada pihak pengguna hak cipta, untuk mengambil manfaat dari hasil karya ciptanya tersebut. Dalam dunia perdagangan dan alih teknologi, ijin ini disebut dengan lisensi. Lisensi adalah ijin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu (Pasal 1 angka 14 UU No.19 tahun 2002).

Pada prinsipnya lisensi produk teknologi tidak berbeda dengan lisensi yang diterapkan dalam produk perangkat lunak komputer (software). Namun demikian, kiranya perlu diketahui bahwa dalam pemberian lisensi produk-produk software ini, terdapat dua jenis lisensi yang banyak digunakan, yaitu lisensi per komputer dan lisensi GPL (GNU Public Lisence). Jenis lisensi yang pertama mengharuskan si pemakai (user) membayar lisensi untuk setiap mesin/komputer yang menggunakan software yang bersangkutan. Hal ini berarti setiap pemilik seperangkat komputer yang siap dioperasikan, harus membeli perangkat keras (seperti monitor, keyboard, mouse, CPU dan sebagainya) yang dibutuhkan, serta harus membayar setiap software / program komputer  yang berjalan dalam komputernya tersebut (seperti word, exel, corel, dan sebagainya). Sedangkan jenis lisensi yang kedua membolehkan pemakai (user) menggunakan software yang bersangkutan di bermacam komputer secara bebas. Hal tersebut dapat dilakukan karena lisensi GPL pada prinsipnya memberikan hak milik publik untuk memiliki bersama suatu produk yang berlisensi GPL, sehingga setiap orang berhak untuk mengambil, mengembangkan, memodifikasi dan bebas melakukan apapun terhadap produk yang berlisensi GPL tersebut.

Berbicara mengenai linux, setidaknya terdapat dua hal penting yang menjadi alasan mengapa linux dapat dimanfaatkan secara legal, tanpa harus meminta izin pemegang hak, tetapi tetap tidak melanggar hak cipta orang lain, yaitu :

1.    Linux Berlisensi GPL (GNU Public Lisence)

Para pengguna linux sering menggunakan istilah GNU/Linux sebagai padan kata dari Linux. Berangkat dari peristilahan yang digunakan ini, dapat kita ketahui bahwa linux merupakan operating sistem (OS) yang kompatible dengan Unix, dan linux itu sendiri berisi kernel Linux dan sekumpulan lengkap alat-alat dan program-program lain, yang kebanyakan di bawah naungan proyek GNU dari Free Software Foundation. Tampilan grafis atau Graphical User Interface (GUI) disediakan oleh X Window System beserta kumpulan libraries dan alat-alatnya.

Dengan adanya lisensi GPL dengan naungan proyek GNU dari Free Software Foundation ini, semua software yang tersedia bisa didapat gratis berdasarkan lisensi GNU General Public License atau lisensi-lisensi lain yang mirip dengan itu. Berdasarkan lisensi ini, siapa pun bisa mendapatkan program baik dalam bentuk source code (bisa dibaca manusia) mau pun binary (bisa dibaca mesin), sehingga program tersebut dapat diubah, diadaptasi, mau pun dikembangkan lebih lanjut oleh siapa saja.

2.    Produk Linux Merupakan Produk  Massa

Strategi hemat di kala krisis separti saat ini, banyak kita temukan dalam berbagai trik yang dilakukan perusahaan ataupun perorangan untuk memperoleh software gratis. Salah satu cara yang banyak dilakukan adalah mengambil software dari kernel Linux, lalu membundelnya dengan software gratis ataupun software komersial lainnya membentuk distribusi Linux (distro). Beberapa distribusi Linux yang terkenal antara lain RedHat Linux, Caldera OpenLinux, Slackware Linux, Debian Linux, S.u.S.E Linux, Trinux, dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan linux justru dilakukan secara serempak oleh banyak orang dengan gaya atau stile-nya masing-masing, sehingga menghasilkan beragam software linux yang berfariasi.

Karena banyak sekali program-program maupun komponen software (biasanya tergabung dalam “paket”) yang membentuk sebuah sistem Linux yang lengkap, dan kesemuanya itu diurus oleh banyak orang dan organisasi dalam jadwal yang berbeda-beda, maka beberapa perusahaan dan organisasi mengumpulkan paket-paket tersebut menjadi satu distribusi (distro). Tapi tidak itu saja, mereka juga melakukan tes-tes terhadap software di dalamnya, mengembangkan program-program instalasi atau yang memudahkan instalasi, sebagian ada yang memberikan technical support, dan sebagainya. Ada distribusi komersial seperti Red Hat, Caldera, SuSE, dan ada juga distribusi yang non-komersial seperti Debian GNU/Linux. Baik distribusi komersial mau pun non-komersial tersedia tanpa dipungut biaya di internet, dan juga tersedia di media seperti CD-ROM. Perbedaan mendasar antara distro komersial dan non-komersial adalah bahwa produk komersial didukung oleh perusahaan yang menyediakan technical support, dan mungkin juga menyediakan beberapa software komersial lain yang tidak bisa didistribusikan secara gratis. Hal ini tentunya penting di lingkungan bisnis tertentu (Anonim, Mengapa linux, 2003) 

TELECONFERENCE DALAM KACAMATA HUKUM PEMBUKTIAN

Oleh:

Muhammad Rustamaji  

Nilai Pembuktian Pemanfaatan Teknologi Teleconference Sebagai Alat Bantu Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Persidangan pengadilan melalui teknologi teleconference sebelum pemeriksaan kasus korupsi dengan terdakwa Mantan Kabulog Rahardi Ramelan memang belum pernah terjadi di Indonesia.  Sebagaimana dalam ketentuan KUHAP mengenai tata cara dan prosedur pembuktianpun tidak diatur mengenai teleconference. Namun KUHAP sebenarnya telah menegaskan bahwa menjadi saksi adalah kewajiban setiap orang. Mereka yang telah dipanggil ke sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi menolak kewajiban itu, dapat dikenakan pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dalam kasus Rahardi Ramelan ini, B.J Habibie sebagai saksi, KUHAP juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa seseorang dapat menolak pemanggilan sebagai saksi karena alasan mendampingi sang istri yang tengah mendapat perawatan di rumah sakit. 

Mengingat persidangan pengadilan melalui teleconference memang tidak diatur dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai memanfaatkan teleconference sebagai alat bukti di persidangan, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa teleconference paling dekat korelasinya dengan alat bukti saksi.

Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai saksi yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian seperti yang disampaikan R. Soesilo bahwa yang dimaksud kesaksisan yaitu keterangan lisan seseorang di muka sidang pengadilan, dengan disumpah lebih dahulu, tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri (nontestimonium de auditu). Kesaksian yang tidak dilihat sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang lain bukanlah merupakan kesaksian yang sah.(R.Soesilo,1979). Dari definisi kesaksian tersebut, kita memperoleh beberapa ketentuan mengenai  saksi yang harus dipenuhi antara lain;

1.     Keterangan lisan seseorang di muka sidang pengadilan (sesuai Pasal 185 ayat 1) KUHAP)

2.     Dengan disumpah lebih dahulu (sesuai Pasal 275 ayat(2) jo.Pasal 303 HIR dan Pasal 160 ayat (3) jo. 185 ayat (7) KUHAP).

3.     Tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri (nontestimonium de auditu)-(sesuai Pasal 1 ayat (27) KUHAP)Jika telaah ketentuan mengenai saksi di atas diterapkan dalam pemanfaaan teleconverence dalam kesaksian B.J. Habibie, maka dapat kita ulas sebagai berikut;

1.    Keterangan di Muka Sidang Pengadilan

Sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yang dianut KUHAP (Pasal 183 KUHAP) pada prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim, dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian kita adalah perpaduan antara sistem conviction-in time(vrijbewijk) dan sistem pembuktian positif (positief wettelijk stelsel). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian kita. Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya di sidang pengadilan secara fisik berhadap-hadapan.

Dalam hal ini penggunaan teknologi teleconference yang menyajikan gambar secara detail dan kualitas suara secara jelas tanpa gangguan (noice), memungkinkan hakim untuk mengetahui secara langsung sorot mata, roman muka, maupun bahasa tubuh (gestures) yang ditunjukkan oleh seorang di muka persidangan. Dengan demikian pada prinsipnya kehadiran seseorang di muka persidangan sebagaimana dimaksud hadir secara fisik juga dapat dipenuhi dengan menggunakan teknologi teleconference.

Berdasarkan ilustrasi teknis diatas nampaknya teleconference memang tepat untuk menggantikan kehadiran saksi di muka persidangan secara virtual. Namun perlu mendapat perhatian juga dalam hal alokasi waktu meminta keterangan saksi, hal ini penting karena waktu yang sempit dan terbatas akan sangat berpengaruh terhadap kualitas ketuntasan dan kedalaman informasi yang diperoleh dari saksi. Jika permasalahan alokasi waktu ini tidak mendapatkan solusi yang tuntas, maka sia-sialah seluruh usaha menghadirkan saksi secara  virtual di muka sidang karena dangkalnya informasi dan ketidaktuntasan keterangan yang dibutuhkan.

2.    Dengan Disumpah Lebih Dahulu

Sebagaimana ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dalam memanfaatkan teknologi teleconference tidak jauh berbeda dengan persidangan biasa, yaitu sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya.

3.    Nontestimonium de Auditu

Seperti halnya di setiap persidangan pidana, bahwa keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Dalam hal ini teleconfernce akan menjadi alat bukti yang sah sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkalnya.

Selain ketiga ketentuan mengenai saksi yang harus dipenuhi agar sah menurut hukum, perlu diperhatikan pula asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Dalam hal ini jangan sampai penggunaan teknologi teleconference justru melanggar katentuan asas dalam pengadilan pidana karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memanfaatkan teknologi teleconference tersebut. 

4.    Asas Biaya Ringan

Benarkah memanfaatkan teknologi teleconference dalam persidangan membutuhkan biaya yang besar ? ternyata tidak. Terdapat banyak cara melakukan konferensi jarak jauh. Teknologinya-pun semakin lama semakin murah, dengan kualitas yang tidak kalah baik. Salah satu teknik terbaru adalah menggunakan videopon dua arah, teknik ini jauh lebih menguntungkan daripada menggunakan sistem uplink ke satelit yang mahal dan rumit.

Sistem videopon satu arah sudah pernah diuji di medan perang Afganistan-AS, untuk melaporkan kejadian di peperangan. Reporter televisi menyiarkan tayangan langsung menggunakan videopon yang ringan dibawa jika dibandingkan sistem pemancar bergerak yang berat.

Dengan dipenuhinya asas biaya ringan dalam beracara ketika memanfaatkan teknologi teleconference, maka permasalahan diskriminasi hukum dapat diatasi. Permasalahan diskriminasi perlakuan hukum ini beberapa waktu lalu sempat mencuat, bahwa teleconference yang notabene mahal dapat digelar karena yang menjadi saksi adalah mantan presiden RI. Disinilah peran pemilihan teknologi yang tepat sehingga diperoleh efisiensi biaya yang murah, sehingga dengan terjangkaunya biaya teleconference maka teknologi inipun dapat digunakan setiap orang yang beracara di persidangan, sejauh dianggap perlu oleh majelis hakim.   

Stop Pembajakan Oleh Malaysia !

  

Oleh:

Muhammad Rustamaji

  

Di berbagai forum ilmiah dan seminasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI), acapkali bermunculan saran dan rekomendasi bahwa Indonesia sudah saatnya mengubah kebijakannya dari negara pengirim tenaga kerja (TKI) menjadi pengekspor produk berbasis HKI. Harapan ini tentunya bukan hanya mimpi di siang hari, mengingat karya seni dan budaya Bangsa Indonesia ternyata mendapat tempat di negara tetangga. Realitas beberapa film Indonesia dan karya cipta lagu band Indonesia merajai tangga lagu di Malaysia adalah buktinya. Oleh sebab itu, ketika mencermati perilaku culas negara jiran yang berkali-kali mengklaim seni budaya Bangsa Indonesia sebagai seni budaya warisan leluhurnya, agaknya saran para ahli ini patut direalisasikan. Betapa tidak, tapal batas wilayah negara, seni batik, keris, angklung, naskah-naskah kuno, lagu-lagu daerah, serta seni tari hingga foklore sudah diklaim oleh Malaysia, apakah pantas Pemerintah Indonesia tidak mengambil tindakan apapun? Sipadan-Ligitan dan Ambalat dengan eksotisme dan kekayaan alamnya, dendangan lagu rasa sayange yang kental dengan nuansa Ambon Manise, keunikan motif batik parang baris Jogjakarta, keris dan angklung yang khas Indonesia, serta foklore dan seni tari Reok Ponorogo adalah aset tak ternilai bagi seluruh Bangsa Indonesia. Potensi yang besar ini tentunya akan sirna dijarah kepentingan industri pariwisata asing, jika pemerintah terus saja berdiam diri dan tidak melakukan pengelolaan dengan baik.

Sementara sikap reaktif yang bermunculan setelah klaim oleh negara asing menunjukkan tidak adanya perencanaan yang baik dalam mengelola aset bangsa. Perilaku menyimpang di tataran teknis seperti tindakan penjualan beberapa naskah kuno dan arca di Museum Radya Pustaka, adalah contoh terkini yang menunjukkan betapa tidak berdayanya bangsa ini mengelola warisan seni budaya leluhurnya. Pola managemen dan perilaku yang menyimpang dari oknum pengemban amanah di sektor pariwisata, seni dan budaya inilah yang sudah saatnya dirombak dan diperbaiki. Inilah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan bersama, baik oleh pemerintah, akademisi, maupun seluruh elemen Bangsa Indonesia.

Lalu solusi apa yang dapat ditempuh ketika klaim asing atas karya seni dan budaya bangsa terus saja terjadi dan berulang? Dalam konteks yuridis, setidaknya terdapat dua langkah hukum yang dapat ditempuh, yang pertama melalui diplomasi internasional dan kedua melalui pendekatan hukum hak kekayaan intelektual.

Diplomasi Internasional

Patut di sadari bahwa silang sengketa yang acapkali terjadi antara Indonesia dengan Malaysia, merupakan gambaran riil fenomena globalisasi yang menempatkan permasalahan HKI pada tangga yang tertinggi dan menjadi isue global dalam hubungan antar negara. Disepakatinya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) Puratan Uruguay yang menandai menyebarnya sistem hukum HKI di setiap penjuru dunia, pada saat ini berpotensi mengubah arah sengketa antar negara dari sengketa ideologi ke arah sengketa HKI. Dalam hal demikian, melalui jalur diplomasi internasional, dapat ditempuh langkah penyampaian nota diplomatik maupun pembicaraan tingkat menteri berkenaan dengan keberatan atas klaim-klaim seni budaya asli Indonesia oleh Pemerintah Malaysia. Tindakan balasan di bidang perdagangan (trade retaliation / cross retailation) serta intervensi asing sebagai akibat pelanggaran HKI yang telah dilakukan, dapat pula disampaikan sebagai efek penggetar (deterence) terhadap kepentingan Malaysia. Pada tahap berikutnya kerugian Malaysia dapat berlipat ganda jika isu ini digulirkan dalam ranah multirateral dalam forum Trade Related Aspec of Intelectual Property -(TRIPs-WTO) maupun melalui badan PBB yang berwenang di sektor HKI, yaitu WIPO. Eksistensi forum-forum tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan fenomena meningkatnya perhatian masyarakat internasional terhadap perlindungan di bidang HKI. Perhatian ini tercermin pula dalam persetujuan Putaran Uruguay dalam rangka GATT yang didalamnya terdapat persetujuan tentang TRIPs.

Dengan demikian, Program Visit Malaysia 2007 yang notabene memperdagangkan potensi wisata dengan menggunakan jingle lagu ‘rasa sayange’ (rasa sayang) dan ‘tarian reok’ (tari barong) yang diklaim milik Malaysia, merupakan pelanggaran serius terhadap hak cipta heritage Indonesia. Lagu maupun karya seni tari dan foklore yang ‘dicuri’ tersebut dilindungi dalam payung hak cipta yang langsung melekat setelah diciptakan meski tanpa didaftarkan pada otoritas setempat, hal ini tentunya berbeda dengan paten yang menggunakan prinsip first to file untuk mendapatkan hak perlindungan. Bukti otentik perekaman lagu saat Asean Games dan bukti pencatatan oleh Taman Budaya Maluku terhadap lagu ‘rasa sayange’, merupakan realitas yang tidak dapat diperdebatkan. Inilah fakta dan bukti otentik yang setidaknya dapat digunakan sebagai amunisi diplomatik dalam rangkaian nota keberatan atas tindakan illegal recording lagu rasa sayange dan klaim ilegal tarian Reok Ponorogo dalam kampanye wisata Malaysia Truly Asia 2007.

Pendekatan HKI

Selain sebagai sebuah industri, pariwisata merupakan ajang untuk mengenalkan keunikan seni budaya, serta eksotisme bentang alam suatu bangsa, dalam jalinan kepercayaan yang jujur alami. Beragam suguhan istimewa, mulai dari keramah-tanahan penduduknya, keindahan panorama yang tertata seimbang, serta seni budaya yang membalutnya, sudah selayaknya memberikan sensasi keaslian dan unsur pembeda bagi para wisatawan yang mengunjunginya. Maka menjadi aneh dan menggelikan ketika aspek keaslian dan unsur pembada ini diabaikan dengan sikap pongah dan keserakahan yang ditunjukkan dengan klaim-klaim illegal dalam gelaran pariwisata seni dan budaya.

Sebuah langkah yang memalukan dan tidak seharusnya dilakukan ketika suatu seni budaya yang jelas merupakan heritage bangsa lain dicomot untuk ditawarkan bagi para wisatawan. Langkah ini justru akan memberikan dampak kemunduran bagi pariwisata yang bersangkutan disebabkan ketidakasliannya. Di dunia yang serba terhubung dengan teknologi informasi dan komunikasi seperti saat ini, klaim-klaim ilegal ini sebenarnya justru menjadi bumerang. Disadari atau tidak, klaim ini justru menguntungkan bagi pemilik budaya asli, karena wisatawan tentunya memilih seni dan budaya asli daripada yang dibajak. Wacana yang bergulir di media masa justru menjadi sumber informasi dan promosi gratis bagi pemilik seni budaya asli. Di sinilah sebenarnya peluang yang dapat dimanfaatkan Indonesia dengan menunjukkan budaya yang asli kepada masyarakat dunia dengan kesantunan dan budaya ketimuran.

Sebaliknya sikap tidak terpuji ini selayaknya disadari benar oleh para pengambil kebijkan di negeri jiran tersebut. Alangkah memalukan dan merupakan sebentuk sikap yang tidak jujur yang akan mencoreng muka sendiri jika tindakan ini terus dilanjutkan. Bukankah lebih bijaksana jika saja Pemerintah Malaysia menempuh jalur legal dengan membayar royalti jika memang menginginkan seni budaya Indonesia digunakan dalam industri wisata mereka. Mekanisme ini sebenarnya sudah tersedia dalam aspek perlindungan hak kekayaan intelaktual dalam bidang hak cipta karya seni dan budaya. Pendekatan HKI dengan membayar royalti kepada pemerintah yang memegang heritage asli adalah langkah cerdas dan menguntungkan dari pada dituding sebangai negara pencuri karya seni dan potensi kerugian akibat kehilangan wisatawan yang diharapkan.

Tentunya Pemerintah Indonesia akan berbesar hati membantu tetangganya dalam memajukan industri wisatanya, jika langkah terbuka dan legal dijalin dalam kerjasama yang apik. Simbiosis mutualisme sangat dimungkinkan terjadi dalam kerjasama pariwisata dan pengembangan seni budaya, layaknya kerjasama di sektor pendidikan yang dahulu pernah dibangun. Guru-guru terbaik Indonesia saat itu banyak di kirim ke Malaysia untuk mendidik serta mengajarkan ilmu pengetahuan dan sistem pendidikan, dan sekarang Malaysia banyak menuai buah manis dengan majunya pendidikan serta banyaknya mahasiswa luar negeri yang menuntut ilmu di Malaysia, tidak terkecuali mahasiswa dari Indonesia. Inilah yang seharusnya disadari bersama agar semboyan Negara Malaysia ‘Bersekutu Tambah Mutu’ dan Slogan Wisatanya ‘Malaysia Truly Asia’ tidak tercoreng-moreng menjadi ‘Malaysia Truly Thief of Asia’ ! semoga. 

Memantapkan Langkah Metodologi Menuju Penelitian yang Bermutu

oleh 

Muhammad Rustamaji    

Pendahuluan 

Mengapa meneliti menjadi penting bagi hidup dan kehidupan manusia? Mengapa pula kedalaman penguasaan metodologi menjadi prasyarat demi tercapainya penelitian yang bermutu? Atau bagaimana menjadi seorang peneliti yang baik dan benar itu, sebelum ia bersusah payah mempelajari metodologi? Inilah beberapa pertanyaan yang berjejalan menunggu jawaban kita dalam forum ini. Forum yang diharapkan menciptakan para peneliti muda yang handal dan produktif.  

Ketika mempelajari metodologi penelitian, kita sudah dihadapkan dengan bermacam ketentuan ilmiah yang sudah pasti membingungkan bagi awam. Kali pertama mengenalnya, seakan dapat diilustrasikan seperti beberapa orang buta yang diminta menggambarkan seperti apa gajah itu. Apa yang terjadi kemudian sudah dapat diterka, bahwa penggambaran tersebut tidak akan sempurna karena parsialitas pendekatan yang terkotak-kotak. Boleh jadi orang buta pertama mengatakan gajah adalah binatang yang langsing dan panjang seperti pipa peralon, saat ia memegang belalinya. Namun ketika sang buta lain memegang telinga sang gajah maka ia akan berujar gajah itu binatang yang tipis lebar, dsb. Inilah fenomena kebingungan yang sama yang acapkali muncul ketika mengenal metodologi sebagai sebuah standar keilmiahan sebuah karya. Metodologi sebagai sebuah ‘cara’ seharusnya membantu para calon peneliti menjadi peneliti yang handal, dan bukan sebaliknya menjadi ciut nyalinya. 

Untuk itulah dalam makalah singkat ini penulis mencoba mengajak audience sekalian mencoba merenungkan kembali apa yang patut kita bangun dalam mewujudkan penelitian yang bermutu itu. Fasilitas lengkap? Buku yang komplit? Atau justru calon peneliti yang berintegritas tinggi dengan semangat belajarnya?. Sebuah untaian kalimat bijak mengatakan; 

enough money can get excellent laboratories, libraries, etc, and excellent people (faculty and students) to put in the laboratories and libraries. But laboratories do not produce creative science and technology, people do).’  

Ya demikianlah adanya, uang dapat membeli laboratorium yang canggih, perpustakaan yang lengkap, dan ilmuwan serta staf yang istimewa untuk bekerja di laboratorium dan perpustakaan itu. Tapi yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kreatif bukan laboratoriumnya, tapi ilmuannya.  

Maka setelah kenyang dengan beragam teori dan konsep-konsep metode penelitian, sepatutnya perlu direnungkan kembali, apa sejatinya langkah yang harus dipersiapkan sebelum terjun ke dalam relung penelitian. Bahasan ini menjadi penting ketika kita mencermati fenomena plagiatisme, copy-paste, atau aksi comot karya dan hak cipta ilmiah orang lain, yang masih saja terjadi dalam penyusunan sebuah penelitian maupun karya ilmiah yang lain. Apakah hal ini yang diharapkan dicetak melalui forum diklat maupun pelatihan seperti ini? Tentu saja tidaaaak! oleh sebab itu kita perlu mengenal tiga langkah besar yang harus terintegrasikan dalam kegiatan ilmiah yang kita lakukan. Ketiga langkah besar tersebut adalah (1) proses pra penelitian (2)proses penelitian dan (3)proses publikasi ilmiah. 

Proses Prapenelitian 

Jauh sebelum penelitian dilakukan, setiap peneliti seharusnya mempunyai penanaman di dalam dirinya tentang sikap dan perilaku ilmiah sebagai kode etik yang dipedomani. Budaya ilmiah adalah jawabannya. Budaya ilmiah inilah yang pada akhirnya terus menerus diwariskan kepada para peneliti generasi berikutnya dalam mengembangkan penelitian yang berkualitas nobel. Di luar negeri terdapat laboratorium atau lembaga penelitian yang sudah berumur ratusan tahun dan tetap eksis menghasilkan karya-karya ilmiah tingkat dunia, seperti Medical Research Council (MRC) di Inggris, Institut Pasteur di Prancis, Bell Lab di Amerika Serikat, dsb. Satu hal yang dapat dicermati dari sekian contoh lembaga tersebut adalah kedisiplinan dan komitmen yang tinggi para pemimpinnya dalam menjaga budaya ilmiah di lembaganya. Adalah mustahil menciptakan kelestarian sikap dan mental sekian banyak generasi peneliti secara simultan tanpa ketegasan visi pemimpinnya. Inilah langkah awal untuk menciptakan penelitian yang bermutu, yaitu mulai membentuk karakter seseorang yang berintegritas tinggi sebagai seorang peneliti. 

Langkah praktis yang langsung dapat dipraktekkan dalam upaya menyusun sebuah visi yang menjadi arahan budaya ilmiah yang akan dikembangkan, adalah iqro’ atau membaca!. Sedangkan budaya ilmiah sebenarnya juga tersusun dan terbentuk dengan sangat sederhana di dalam kegiatan ilmiah. Membaca dan menulis adalah ketrampilan dasarnya. Ya, kemampuan literal inilah yang akan menggerakkan budaya ilmiah yang sehat dan dinamis. Sebuah siklus yang terus bergulir antara konsumsi ilmiah dengan membaca, ke arah menghasilkan produk ilmiah dengan menuliskannya. Kita ingat petuah Bacon, pencetus metode induktif, bahwa ”Reading makes a full man, conference makes a ready man, and writing makes an exact man.” Demikianlah siklusnya, banyak membaca, banyak tahu, banyak tahu berani berkomentar dan berpendapat, pada pusaran berikutnya kesiapan diri muncul terhadap setiap pertanyaan dan penyataan yang datang, dan akhirnya penelaahan yang mendalam, perenungan (kontemplasi)serta kecakapan berbahasa tulis mengantarkan munculnya produk ilmiah tertulis yang dapat diakses siapapun yang membutuhkannya. 

Kegiatan membaca dan menulis ini ketika sudah menjadi kebutuhan pribadi, tentunya akan mempunyai daya ‘ledak’ yang luar biasa ketika secara berkelompok dikembangkan dan terus dikembangkan dalam inovasi tiada henti. Pada tahap inilah pembentukan karakter pribadi (character building) peneliti yang sebenarnya merupakan proses yang berat, menjadi ringan karena dilakukan secara berjamaah. Dengan berjamaah ilmiah maka setiap orang yang membaca dan menemukan sebuah permasalahan, akan memperoleh umpan balik yang beragam dalam kualitas maupun kuantitas dari sekelompok rekannya. Inilah multiguna berjamaah ilmiah dalam proses prapenelitian yang menghasilkan kesiapan mental, fisik dan pemikiran sebagai peneliti yang handal. 

Proses Penelitian 

Penelitian sebagai sebuah usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan,gejala atau hipotesa, dengan menerapkan metode ilmiah, tetap melibatkan persiapan dalam beberapa langkah awal sebelum terjun dalam pelaksanaan penelitian sesungguhnya. Untuk itu dalam merancang sebuah penelitian, setidaknya terdapat delapan langkah yang umumnya harus dilalui oleh peneliti; 

1.      Observasi Permasalahan 

Telah diungkapkan bahwa “persiapan yang matang, adalah setengah dari keberhasilan”, maka tanpa observasi permasalahan yang tuntas, penelitian bisa saja hanya terjebak dalam sebuah pengulangan atau tidak benar-benar menuntaskan permasalahan yang diteliti. Sumber permasalahan dapat berasal dari mana saja, kapan saja dan melalui media apapun. Publikasi ilmiah di perpustakaan, laporan investigasi di media massa sampai dengan obrolan tetanggga tentang masalah yang sedang menghangat, adalah contohnya.Langkah praktis yang segera dapat dilakukan adalah segera catat, tulis atau rekam ide cemerlang tersebut tanpa menundanya. Sempatkan waktu barang tiga menit untuk menuangkan ide-ide yang berterbangan dalam peta pikiran berupa skema sederhana. Ingat, menunda sedetik saja akan menghapuskan kesempatan anda memperoleh gagasan yang segar dan menyumbat aliran ide yang deras mengucur, entah kapan lagi dan dimana akan ditemukan. 

2.      Pengumpulan Data Awal 

Sebagai upaya penangkapan ide pertama kali, seringkali observasi permasalahan tidak lengkap jika tanpa disertai pengumpulan data awal secara tersendiri. Untuk itulah diperlukan pengumpulan data awal yang lebih terkonsentrasi. Bentuknya bisa penelusuran literatur, akses data yang terbuka untuk umum, kliping dsb.Kemajuan teknologi informasi saat ini dapat dikatakan sangat membantu bahkan tidak berlebihan jika dikatakan sangat memanjakan para user di dunia maya. Untuk itulah langkah praktis yang dapat dilakukan adalah mencari informasi yang diperlukan dengan media internet yang tentunya sudah dilengkapi dengan search engine berkenaan dengan data yang diperlukan. Pemanfaatan mesin pencari blog-blog di internet juga dapat dioptimalkan dalam pencarian para penulis dunia maya yang mengkonsentrasikan pada topik bahasan yang dibutuhkan, yang tentunya akan sangat membantu. 

3.      Pendefinisian Masalah 

Setelah melalui dua langkah sebelumnya, maka permasalahan terlihat lebih detail, maka di sinilah inti permasalahan ditemukan. Jangan sampai seorang peneliti salah menduga suatu inti permasalahan hanya karena publisitas yang gencar di berbagai media. Terkadang sulit membedakan mana yang menjadi inti penelitian terhadap sebuah pemberitaan yang menghangat di media massa. Sebagai contoh kasus narkotika yang menimpa Roy Marten untuk kali kedua, kasus foto telanjang Anjasmara, maupun kehebohan putusan bebas terhadap Adelin Lies. Semua hal tersebut adalah isu-isu hukum yang potensial diangkat sebagai kudul karya tulis maupun penelitian. Lalu yang menjadi inti permasalahan Roy martin, Anjasmara, sebagai seorang selebritis atau kasus narkotika dan pornografinya yang menjadi inti pokok permasalahan penelitian? Di sinilah para peneliti harus menentukan mana yang akan dipilih sebagai inti permasalahan penelitian. Dalam sebuah penelitian, pendefinisian maupun perumusan masalah dapat berbentuk pernyataan maupun pertanyaan. Dalam hal ini tentu saja pertanyaan yang dirumuskan setidaknya harus menjelaskan;

a.      menjelaskan hubungan dua gejala (variabel)

b.      menyetakan secara jelas dan tidak mengandung keraguan akan inti permasalahan

c.      memungkinkan untuk diuji secara empiris. 

4.      Pembentukan Kerangka Teori Pembentukan kerangka teori yaitu menyiapkan suatu model konsep yang melandasi keseluruhan aktivitas penelitian yang akan dilakukan. Dalam membentuk kerangka konsep ini, perlu melihat hubungan antar variabel masalah yang ada melalui penalaran yang logis dan kemungkinan pemecahannya. Walau nampak sulit, secara lebih sederhana hal ini dapat dipelajari dari pengalaman riset diri sendiri atau orang lain yang mengerjakan hal serupa. Oleh sebab itu penelitian terdahulu yang mempunyai korelasi berkenaan dengan hal yang diteliti seringkali juga dimuat dalam kerangka teori untuk selanjutnya dijelaskan letak perbedannya dari penelitian yang akan dilakukan. Langkah ini mempunyai manfaat bahwa penelitian yang akan dilakukan menunjukkan nilai originalitas sekaligus menunjukkan arah pengembangan ke arah mana penelitian terbaru berpijak dari penelitian pendahulunya. Secara praktis dalam langkahpenyusunan penelitian, pembentukan kerangka teori biasanya diikuti dengan kerangka konsepsional dan paparan penelitian terdahulu. 

a.      kerangka teori, disusun berdasarkan kajian-kajian teori para pakar hukum, untuk selanjutnya digunakan sebAgai indikator dan landasan teoritis dalam penelitian. Contoh;

Analisis Kasus Adelin Lies
Rumusan Masalah 1 Sejauhmana suatu putusan hakim memenuhi nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum?
Kerangka Teoritis Kerangka teori dari studi ini dalam kaitan dengan permasalahan pertama, yaitu berkaitan dengan ajaran relativisme Gustav Radbruch, khususnya mengenai antinomi-antinomi ide hukum (antinomies of the idea of law). Gustav Radbruch mengemukakan bahwa beranjak dari konsep hukum sebagai konsep budaya (cultural concept), yaitu konsep yang berhubungan dengan nilai, maka ia menerapkan pada nilai hukum (the value of law), ide hukum (the idea of law). Hukum menurut maknanya dimaksudkan untuk memenuhi ide hukum tersebut. Ide hukum yang dimaksud, ditemukan dalam tiga elemen yaitu keadilan (justice), kegunaan (expediency), dan kepastian hukum (legal certainty)
Rumusan Masalah 2 Pendekatan apakah yang dipergunakan hakim dalam memaknai hukum untuk suatu perkara yang ditanganinya?
Kerangka Teoritis Adapun permasalahan kedua berkaitan dengan ajaran mengenai hubungan antara hakim dan hukum yang tampak dalam praktik hukum, teori ini dikemukakan oleh Theo Huijbers. Praktik hukum yang dimaksud adalah cara hukum digunakan dan dimaknai di depan pengadilan. Setidaknya terdapat empat konsep yang bersumber dari ajaran yang berbeda seperti dikemukakan oleh Theo Huijbers, yaitu; legisme (ideenjurisprudenz), ajaran hukum bebas (frei rechtslehre), interessenjurisprudenz, dan idealisme hukum baru (new legal idealism). Pandangan yang legistis melihat praktek di peradilan tidak lain sebagai penerapan peraturan perundang-undangan dalam perkara-perkara konkrit secara rasional belaka.hukum dipandang sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara  karena bersifat rasional. Teori rasionalitas sistem hukum pada abad ke-19 ditunjuk dengan istilah ideenjurisprudenz. Sedangkan ajaran hukum bebas yang dikemukakan oleh mazhab realisme hukum Amerika membela kebebasan yang besar bagi sang hakim. Sementara interessenjurisprudenz tetap mempertahankan norma-norma hukum sebagai penentu dalam proses di pengadilan, walaupun situasi konkret diperhitungkan sepenuhnya juga. Teori ini dikualifikasi sebagai penemuan hukum (rechtsvinding), artinya hakim mencari dan menemukan keadilan dalam batas norma-norma yang telah ditentukan dengan menerapkannya secara kreatif pada tiap-tiap perkara konkret. Di pihak lain, dalam idealisme hukum baru, undang-undang memiliki bobot normatif bagi penerapan hukum sebab undang-undang mencerminkan cita-cita hidup yang dituju dalam membentuk suatu tata hukum. Idealisme baru ini hanya dapat timbul dalam rangka sistem hukum konstitusional. Tekanan dalam idealisme hukum baru di samping undang-undang juga pada cita-cita bangsa, walaupun belum dihayati sepenuhnya.

 b.      kerangka konsepsional, digunakan untuk mendefinisikan pengertian-pengertian di dalam penelitian agar tidak mengalami pembiasan dalam pengumpulan data himgga pada tahap analisis penelitian. Kerangka konsepsioal ini dapat disusun melalui (1) peraturan perundang-undangan, (2) metode-metode untuk merumuskan pengertian hukum (rechtsbegrip). 

c.      paparan penelitian terdahulu, menunjukkan perbedaan konsentrasi penelitian sekaligus originalitas dari suatu penelitian.  

5.      Hipotesa Hipotesa merupakan dugaan ilmiah tentang pemecahan ilmiah berdasar pada kerangka teori yang telah dibentuk. Syarat hipotesa yang baik adalah dapat diuji, kemudian dapat diterima akal (rasionable) dalam arti paralel dengan teori yang dibentuk yang dibentuk serta relevan baik dengan teori maupun dengan pengalaman sendiri atau orang lain. Pengujian hipotesa sering dilakukan menggunakan kata “apabila”

6.      Desain Riset Peran pembimbing atau supervisor sangat penting di sini karena dengan pengalamannya akan membantu mengarahkan desain riset yang paling efektif. Desain riset ini adalah gambaran menyeluruh mengenai bagaimana seorang peneliti akan menjalankan penelitiannya sehingga tujuan penelitian dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Desain penelitian dalam langkah praktis acapkali digambar dalam diagram alur penelitian. 

7.      Koleksi, Analisa dan Interpretasi Data Tahap inilah yang seringkali disebut sebagai penelitian yang sesungguhnya. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data yang benar-benar dibutuhkan, sehingga sang peneliti melakukan klasifikasi maupun penyortiran. Selanjutnya dengan desain penelitian yang ada, peneliti melakukan analisis, baik secara pendekatan empiris, statistik, maupun pendekatan normatif studi kasus, perundangan, historis, perbandingan, maupun konseptual. 

8.      Deduksi Pada tahap yang terakhir ini adalah langkah menuju kesimpulan melalui interpretasi terhadap hasil analisa. Dari deduksi ini peneliti membuat rekomendasi. 

Proses Publikasi Ilmiah 

Sebuah penelitian maupun karya ilmiah lainnya, melekat di dalamnya hak publik untuk mengetahui. Untuk itu publikasi menjadi penting dalam rangkaian penelitian maupun penyusunan karya ilmiah sebagai bentuk proses yang utuh, sekaligus sebagai pertanggung jawaban publik atas karya yang dihasilkan. 

‘Publish or perish’ adalah semboyan yang agaknya sangat tepat untuk menggambarkan kewajiban mempublikasikan penelitian dan karya ilmiah yang sudah diselesaikan. Ya, publikasikan atau hancurkan, that’s all. Saat ini banyak media yang dapat digunakan, mulai dari seminasi hasil penelitian, artikel dalam jurnal publik maupun ilmiah, hingga jurnal elektronik yang banyak disediakan ISP (internet service provider) di dunia maya. 

Banyak manfaat yang dapat diambil dengan langkah publikasi hasil penelitian ini, salah satunya seperti yang sudah disitir di muka penulisan ini, conference makes a ready man!. Beragam tanggapan, masukan, kritik bahkan hujatan sangat mungkin diterima oleh seorang peneliti ketika ia mempublikasikan hasil penelitiannya. Masih ingat kasus publikasi ilmiah yang menyatakan 90% mahasiswi di Jogjakarta tidak virgin lagi? Ini contoh riil betapa publikasi ilmiah dapat mendatangkan hujatan ketika metode penelitian diragukan. Namun demikian bukan pada tempatnya jika saat ini traumatik hujatan maupun kritik harus dihindari dengan menyimpan rapat penelitian kita di lemari kaca, yang bahkan debu tak dapat menyentuhnya. Penelitian semacam ini akan kehilangan kemanfaatannya sebagai sebuah solusi yang bisa jadi sangat dibutuhkan bangsa dan negara. Maka apapun hasilnya, ketika jerih payah sudah dilakukan demi sebuah penelitian, publikasikan atau hancurkan! adalah pilihan yang tak dapat tergantikan. Ok friend? Wassalam.

Keterbatasan Hukum di Tengah Pusaran Aliran Sesat dan Perilaku Anarkis

oleh:

Muhammad Rustamaji  

Untuk kesekian kalinya, kasus penodaan agama kembali terjadi. Dalam waktu yang tidak lama amuk massa yang acapkali muncul seiring mencuatnya suatu pemberitaan tentang aliran sesat, terus saja berulang dan berulang. Sungguh memprihatinkan, bangsa yang dahulu dikenal oleh masyarakat dunia dengan kebhinekaan dan kerukunan umat beragamanya, saat ini nyaris tak bersisa. Umat tercabik-cabik dengan gempuran aliran kepercayaan yang sesat dan menyesatkan. Sedangkan adu jotos, kekerasan, dan perusakan, masih saja dipilih sebagai jalan keluar penyelesaian. Akar permasalahan coba digali, namun formulasi solusi hanya terhenti di permukaan substansi. Hal ini disebabkan langkah yang berjalan secara parsial masih diperagakan oleh setiap elemen bangsa, baik pemerintah selaku umarok maupun ulama selaku pemuka agama dan masyarakat.

Dapat dicermati, permasalahan umat seakan selesai dengan sebuah vonis sesat oleh aparat. Koridor hukum selanjutnya dipilih sebagai satu-satunya solusi untuk menanggulangi anarki yang terjadi. Padahal jika ditelaah lebih mendalam, hukum semata tidak akan mampu menanggulangi bencana keimanan umat ini. Pertanyaan penting yang tidak mampu dijawab oleh hukum adalah; apa yang akan dilakukan hukum setelah para pelaku penodaan agama dibebaskan dari jerat hukum dan kembali menyebarkan ajarannya? Apakah hukum dapat mejamin tindakan anarkis tidak akan terulang ketika aliran dan ajaran sesat berkembang lagi pasca pernyataan taubat yang kamuflase? Tidak, hukum tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dalam sistem hukum pidana di Indonesia dikenal asas nebis in idem, bahwa seseorang tidak dapat dituntut atas tindak pidana yang sama. Jika demikian, apakah pendekatan demikian merupakan solusi yang tepat?

Ketika hukum akhirnya merumuskan kegiatan penyebaran aliran sesat dalam sebuah ketentuan pidana mengenai penodaan agama, Pasal 156a huruf (a) KUHP hanya mampu menyelesaikan kekacauan publiknya saja, tidak lebih. Karena ajaran sesat dalam anatominya melibatkan proses perenungan yang merupakan ciri filsafat, keyakinan yang mencirikan agama dan ilmu pengetahuan tentang manusia dan konsep berfikirnya (humaniora). Maka ketika hukum kewalahan, kondisi demikian bukanlah hal yang mengherankan, sebab antara dimensi hukum, agama dan filsafat adalah tiga dimensi yang jelas berbeda sejak semula. Hukum sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan adalah hasil olah pikir manusia megenai pengaturan hidup bersama dan lingkungannya. Sedangkan filsafat sebagai jalan pencarian kebijaksanaan (philo sofia), jauh berada di relung nomena perenungan yang bersifat abstrak dan simbolik. Adapun agama sebagai sebuah titik kehidupan yang menghubungkan manusia dengan penciptanya, mempunyai hukum, pola hubungan kebijaksanaan, dan sifat tersendiri dari segi illahiyah. Inilah kekeliruan langkah yang acapkali terjadi ketika semua beban penanganan penodaan agama dan maraknya aliran sesat diserakan hukum semata. Keterbatasan jangkauan hukum ini harus disadari oleh umaro (pemimpin bangsa) untuk selanjutnya menggandeng ulama (pemuka agama) memformulasikan solusi yang tepat.

Menilik salah satu modus operandi para pelaku penganut aliran sesat dalam penyebarannya adalah menelaah setiap ajaran agama yang ada, untuk selanjutnya dilemahkan dengan kondisi realitas yang ada. Pada titik ini dapat diketahui bahwa sisi idealitas umat beragama adalah poin yang dijadikan objek sasaran. Seharusnya dengan agama, umat menjadi tertata dan makmur adanya, namun dalam kenyataannya tidak demikian. Inilah salah satu alasan yang menjadikan para pelaku pengikut ajaran sesat tersebut berpandangan agama-agama yang saat ini ada tak lagi sempurna. Inilah sejatinya tugas ulama memberi pencerahan bahwa bukan agama yang tidak lagi sempurna setelah dinyatakan sempurna oleh Tuhan YME, tetapi kitalah para pemeluknya yang masih patut belajar banyak tentang agama kita. Terlalu sering perilaku, adab, dan akhlak umat beragama justru menutupi cahaya agama yang terang benerang. Jadi siapa yang tidak sempurna, agama atau kita selaku pemeluknya?

Untuk itulah kebersamaan ulama dan umaro dalam memperbaharui metode dakwah, pembumian visi misi yang jelas, serta ketauladanan yang bersahaja, adalah beberapa butir titik tekan yang selama ini terabaikan. Ceramah-ceramah agama satu arah antara mubalig kepada umatnya yang hanya berlangsung dalam seremonial resmi dan formal sudah saatnya ditambah dengan pendekatan yang cair dan disetiap lini. Komunikasi dua arah bahkan multi dimensi diharapkan menghindarkan penafsiran sendiri-sendiri oleh oknum yang sebenarnya memperturutkan hawa nafsunya dalam menelaah agama dan kepercayaannya. Visi misi yang kurang jelas tentang apa arti hidup dengan cahaya agama dalam kehidupan bersama, sudah saatnya dipugar sehingga seringnya tujuan yang redup dengan kekecewaan terhadap pemuka dapat diantisipasi. Pembangunan ruhiyah baik top down dari departemen dan lembaga penegak hukum yang kental dengan nilai moralitas dan spiritualitas, maupun bottom up di sektor masayarakat dan umat sudah saatnya ditumbuhkembangkan dalam keseharian. Mengubah orientasi masyarakat yang saat ini mulai jenuh dan frustasi menanti tauladan dari para pemimpin negeri, menjadi membangun diri sendiri untuk menjadi tauladan yang baik dilingkungannya, adalah lebih tepat kiranya. Karena jika ketauladanan dari elit yang ditunggu, maka kegamangan dan ketidakpastian yang akan menghampiri. Oleh sebab itu akan jauh lebih mudah menjadikan diri pribadi sebagai seorang yang berdedikasi tinggi untuk kebaikan negeri dari pada terus menunggu. Rating tinggi untuk beragam banyolan tentang para pemimpin negeri adalah salah satu indikasi yang mudah diamati. Rasa segan, enggan, maupun rasa percaya terhadap pemimpin sedikit demi sedikit luntur. Sementara di sisi lain, letupan emosi dan tindakan anarkis justru semakin cepat meninggi ketika sebuah isu menjalari kepentingannya. Beragam isu itu dapat berupa suku, agama, ras, antar golongan, maupun hal yang sepele seperti tawuran antar geng motor dan baku hantam antar suporter sepak bola. Sungguh bencana sosial yang lambat laun semakin bergelombang menghempas masa depan generasi mendatang yang sepatutnya tidak diwarnai dengan kekerasan dan sifat berpecah belah. Mau jadi apa bangsa ini ketika ancaman luar senantiasa menyerang sedangkan kesolidan internal semakin tercabik dengan perpecahan dan pengeroposan akidah dan moralitas bangsa?

Patut disadari bahwa bangsa yang mampu bertahan dalam persaingan global pada akhirnya adalah bangsa yang mampu memanagemen permasalahannya, mencari solusi atas problematika yang ada, dan menempuh jalur paling efektif dan efisien dalam penyelesaiannya. Semua penyelesaian secara ‘okol’ sudah saatnya ditransformasi menjadi penyelesaian menggunakan ‘akal’ yang jernih dan jauh dari anarki. Dialog yang mendalam dan penuh hikmah akan menuntun pada penyadaran atas ketersesatan dan penyimpangan. Karena kepastian hukum, keadilan masyarakat, dan kemanfaatan hukum, sejatinya akan sangat sulit diseimbangkan jika beban permasalahan hanya ditumpukan kepada hukum, tanpa pihak lain di segala lini ikut berperan.

KARIKATUR YANG MENUAI BADAI

Oleh: 

Muhammad Rustamaji 

Penodaan keyakinan dan pelecehan kepercayaan umat beragama, kembali terjadi dan tak ayal menuai bermacam reaksi yang semakin meluas. Masih segar dalam ingatan, ketika di awal Mei 2005 sedikitnya lima belas orang tewas dalam sebuah demonstrasi yang berujung kerusuhan di Afganistan, berkait merebaknya isu pelecehan Al Quran oleh tentara Amerika Serikat di penjara Guantanamo. Demonstrasi dan sikap protes juga dilancarkan kepada perwakilan AS di seluruh dunia, terlebih di negara-negara mayoritas muslim. Isu ini diawali pemberitaan oleh majalah Newsweek yang akhirnya diralat sebagai berita yang keliru dan tidak pernah terjadi. Namun peristiwa ini tampaknya tidak menjadi suatu pelajaran yang berharga dan mendewasakan bagi pihak-pihak yang masih saja bersikap diskriminatif terhadap isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Terbukti, pemuatan 12 gambar karikatur Nabi Muhammad SAW oleh harian Jyllands-Pasten pada 30 September 2005 lalu, justru menjadi bahan perberitaan yang “marketable” dengan banyaknya pemuatan ulang di beberapa media Eropa.

Sikap anti sosial dan tidak peka terhadap kepercayaan umat beragama semacam ini, sangat berpotensi menimbulkan reaksi yang berdimensi lebih luas. Potensi eskalasi konflik ini tampaknya juga disadari oleh Perdana Menteri Denmark Andres Fogh Rasmussen, ketika ia mendesak para diplomat untuk membantu meredakan suasana karena ketegangan ini dapat mengarah pada “persoalan yang lebih mengglobal”(4/2). Pandangan PM Denmark ini tentunya sangat relevan ketika melihat secara kuantitatif, pemuatan karikatur tersebut merupakan perhinaan terhadap sensitifitas kepercayaan lebih dari satu milyar umat muslim di seluruh dunia.

Mencermati semakin meluasnya berbagai reaksi umat muslim dunia atas pemuatan karikatur tersebut, fenomena ini sebenarnya merupakan sebuah penjelasan dari teori yang dikemukakan Friedman tentang bergulirnya perubahan besar yang mengglobal. Friedman mengemukakan tiga faktor pemicu perubahan global yaitu (1) ideologi, (2) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta (3) mobilisasi massa. Dalam kacamata pergaulan dunia, ideologi menempati posisi yang mendasar dan memberikan landasan berfikir bagi pengikutnya. Sifatnya yang borderless memungkinkan perkembangan ideologi memasuki ranah apapun tanpa terbatasi teritori negara sekalipun. Inilah yang kemudian menimbulkan reaksi domino ketika sebuah ideologi yang diyakini dan mempunyai akar kuat dari suatu agama berbenturan dengan hal-hal yang melecehkannya.Perkembangan iptek sebagai faktor kedua, juga mempunyai peran yang tidak kecil dalam terjadinya arus perubahan global. Saat ini teknologi informasi yang ada memungkinkan setiap orang dari belahan bumi manapun untuk mengetahui informasi terkini di suatu tempat yang samasekali belum pernah ia kunjungi. Demikian halnya dengan secarik karikatur yang substansinya “melukai” dan melanggar hak asasi penganut agama lain, sangat mudah di akses dan disebarluaskan sebagai bahan informasi yang bombastis. Akhirnya faktor mobilisasi massa sebagai penggerak perubahan mewujud dalam berbagai demontrasi, aksi massa, hingga pemboikotan, ketika ideologi, kepercayaan dan keyakinan atas sebuah agama, yang dikatakan sebagai hak asasi yang paling asasi, terlukai. Dengan ditopang sirkulasi informasi yang cepat, semua pihak dengan basis massa yang tersebar diberbagai belahan dunia, merespon dengan eskalasi yang berbeda, namun tetap dengan tujuan yang sama untuk menentang penghinaan tersebut. Jika sudah demikian, apa yang dapat diperbuat?

Melalui pendekatan yang sama sebagaimana dikemukakan Friedman, sebenarnya terdapat sebuah solusi yang dapat ditempuh guna menyelesaikan silang sengketa tersebut. Langkah pertama adalah pengembangan ideologi kerukunan hidup beragama dan toleransi. Hal ini mungkin terdengar klise, namun ideologi rasis dan sikap diskriminatif harus diberangus dengan ideologi pula yang bersubstansi egaliter dan toleran. Sikap keras kepala seperti yang ditunjukkan beberapa media massa Eropa dengan memuat ulang karikatur Nabi Muhammad SAW, dan justru berlindung di balik tameng kebebasan pers, hanya akan menunjukkan arogansi dan memperluas perbedaan yang ada. Pola pemikiran kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi, harus tetap memperhatikan prinsip kewajiban asasi manusia, yaitu untuk selalu menghargai dan toleran terhadap kebebasan beragama, dan hak asasi orang lain, kapanpun dan dimanapun. Langkah konkrit yang dapat dilakukan dapat melalui institusi pendidikan, media massa, maupun pola penyelesaian sengketa non-litigasi yang mengutamakan keselarasan frame berfikir, baik melalui lembaga-lembaga informal maupun formal ditataran lokal dan internasional.

Langkah kedua adalah optimalisasi melalui berbagai media massa mengenai prinsip, sikap dan bermacam pemberitaan yang bersifat recovery dan meredam gejolak aksi balasan kepada institusi yang secara langsung maupun tidak langsung mewakili pihak pelontar isu SARA. Langkah ini perlu dilakukan karena pandangan yang keliru, pemahaman yang tidak mendalam, atau kesalahan estimasi eskalasi reaksi yang ditimbulkan dari sebuah pemberitaan, harus menemukan penjelasan dan solusi melalui mekanisme “ralat” dan etika “maaf”. Dalam hal ini media massa memegang peran penting sebagai fasilitator para pihak yang berseteru untuk menemukan alternatif penyelesaian sengketa yang bermuara pada win-win solution.

Langkah ketiga diperankan oleh para pemuka masyarakat dan tokoh agama yang mempunyai posisi tawar untuk mengendalikan mobilisasi massa dalam merespon suatu permasalahan umat. Para pemuka agama-lah yang seharusnya kali pertama menyuarakan pentingnya sikap tegas yang proporsional, saling menahan diri, dan adil dalam meredam dan menyelesaikan konflik yang menyentuh sensitifitas umat. Sikap tegas yang proporsional ini dimaksudkan sebagai bentuk sikap penolakan dan pengecaman terhadap pelanggaran hak asasi umat beragama yang telah dinodai, tanpa harus terjebak dalam anarkisme. Sikap proporsional dengan menerima permintaan maaf yang telah disampaikan pemerintah Denmark maupun harian Jyllands-Pasten, tanpa melupakan tuntutan penerapan sanksi yang proporsional, merupakan bentuk pembelajaran bersama bahwa itikad baik saling memaafkan harus dipandang sebagai bentuk toleransi terhadap kekhilafan. Sebaliknya penerapan sanksi yang proporsional juga merupakan bentuk penerapan keadilan universal yang menempatkan hukum sebagai alat pencegah sekaligus mampu memberikan efek jera, baik bagi pelaku maupun pembelajaran bagi masyarakat internasional. Dengan konsepsi tersebut, diharapakan di masa yang akan datang tidak diketemukan lagi bermacam bentuk diskriminasi dan sikap rasis yang bernuansa perbedaan SARA.

Hal inilah yang seharusnya menjadi renungan dan pemikiran bersama, agar sensitifitas tetap terjaga, tidak harus diseragamkan, tidak pula dihilangkan. Namun biarlah sensitifitas ini tetap menempati ranah yang memang seharusnya menjadi dimensi keragamannya. Tentulah ini yang diharapkan sebagai “unity in differsity” yaitu hidup sejajar, berdampingan, tanpa diskriminasi yang memarjinalkan. Semoga!. 

Guru Polah Murid Kepradah (Telaah Yuridis Piagam Palsu dan Pengisian Kuota di Luar PSB On line)

Oleh

Muhammad Rustamaji

  

Mengenyam pendidikan pada lembaga pendidikan yang ternama, tentunya didambakan sebagai sebuah prestasi dan prestise yang membanggakan bagi para peserta didik. Proses belajar yang ditempuh dengan segenap asa terbayar sudah ketika jenjang yang dicita-citakan tercapai dengan hasil yang memuaskan, berkeadilan, serta terukur. Inilah kiranya yang melatarbelakangi pelaksanaan penerimaan siswa baru (PSB) secara on line di Kota Solo untuk periode ke dua. Prinsip utama yang coba diketengahkan dalam PSB on line yaitu transparansi, non-diskriminatif dan akuntabel menjadi pijakan dasar menuju akses pendidikan yang berkeadilan. Sehingga semangat kompetisi untuk menunjukkan prestasi yang terbaik menjadi ukuran yang menentukan keberlanjutan pendidikan seorang siswa. Lebih jauh, cita-cita mulia akan kemudahan akses pendidikan yang berkualitas bagi semua anak bangsa dapat direalisasikan.

Mencermati terbongkarnya kasus piagam palsu di salah satu SMP negeri Surakarta dan pengisian kuota di luar PSB di salah satu SMU negeri Surakarta, sudah sepatutnya menjadi keprihatinan bersama. Betapa tidak, begitu besar perhatian yang curahkan berbagai pihak untuk menyusun sebuah sistem penerimaan siswa baru yang diupayakan lebih memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, begitu mudah dicederai. Keterlibatan oknum pendidik dan pengawas yang diharapkan turut menjaga suksesnya program ini menjadi gamang dirasakan. Perilaku illegal semacam ini sebenarnya sangat merugikan banyak pihak, terlebih bagi siswa yang dipaksakan menerobos jalur di luar PSB on line. Beban moral, psykologis, bahkan sanksi sosial yang harus diterima sang anak ketika kasus terbongkar, acapkali kurang diperhitungkan oleh orang tua atau oknum pendidik yang memaksakan sang anak masuk ke sebuah lembaga pendidikan di luar jalur yang telah ditentukan. Sanksi hukum yang merupakan norma paling tegas, agaknya juga diabaikan oleh para pelaku. Pemanfaatan teknologi informasi yang memungkinkan setiap orang dimanapun dan kapanpun memantau dan mencermati pelaksanaan PSB on line, tampaknya juga tidak diperhatikan. Sehingga kecurangan demi kecurangan dalam PSB on line kembali terjadi seakan tidak ada para pihak yang mencermati.

Dalam kacamata yuridis, pemalsuan piagam maupun pengisian kuota di luar PSB on line, termasuk dalam tindak pidana yang merupakan perbuatan melawan hukum dan mengganggu ketertiban umum. Tentu saja para pelakunya disamping dapat dijatuhi sanksi administratif sesuai ketentuan instansi yang bersangkutan, dapat pula di kenai sanksi pidana sesuai hukum yang berlaku. Parameter adanya kesalahan (liability based on mistake) dan kemampuan bertanggungjawab (criminal responsibility) dari pelaku merupakan fokus kajian ketika hukum pidana dijadikan pisau analisis terhadap kedua permasalahan ini.

Berkenaan dengan pemalsuan piagam, tindakan pelaku dapat diformulasikan sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP yaitu melakukan tindak pidana “membuat surat palsu” atau “memalsukan surat”. Ancaman hukuman yang mencapai enam tahun penjara sepatutnya menimbulkan efek jera bagi pelaku. Hal ini disebabkan pemalsuan surat berdampak pada ‘timbulnya hak’ yang di satu sisi menguntungkan pelaku dan kliennya, sementara di sisi lain menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Dalam hal ini kuota yang seharusnya menjadi hak siswa lain yang mempunyai standar nilai yang dibutuhkan, menjadi hilang akibat perbuatan pelaku. Sedangkan mengenai pengisian kuota di luar PSB on line, dapat diformulasikan sebagaimana diatur dalam Pasal 416 KUHP yaitu pegawai negeri yang memalsukan buku atau daftar yang semata-mata digunakan untuk pemeriksaan (controle) administrasi. Tindak pidana yang dilakukan pelaku dapat digolongkan sebagai kejahatan yang dilakukan dalam jabatan dengan ancaman empat tahun penjara. Dalam hal ini tindakan pelaku menjadi penyebab ambiguitas status siswa yang secara de yure terdaftar sebagai siswa SMU negeri yang lain di Surakarta, namun secara de facto mengenyam pendidikan sebagai siswa di SMU negeri tersebut. Berdasarkan analisis yuridis tersebut, dengan demikian empat unsur kesalahan, yaitu (1) melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum), (2) di atas umur tertentu untuk menjamin kemampuan bertanggung jawab, (3) mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa), serta (4) tiadanya alasan pemaaf, menempatkan pelaku sebagai subyek hukum (adresat)  yang dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur di dalam KUHP.

Alternatif Solusi

Lalu bagaimana solusi yang dapat ditempuh jika kondisi demikian telah terjadi?. Solusi ini tentunya harus membedakan cakupan kepentingan para pelaku, maupun bagi siswa yang bersangkutan. Dalam kasus ini dapat dikatakan terjadi fenomena ‘guru polah murid kepradah’, sehingga siswa yang bersangkutan justru harus dilindungi kepentingan pendidikannya. Menurut hemat penulis, bagi para pelaku tentu saja kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi salah satu solusi agar tindakan semacam ini tidak terulang kembali di masa mendatang. Sementara bagi siswa yang bersangkutan, dapat ditempuh beberapa upaya yang bersifat protektif bagi keberlangsungan pendidikannya. Alternatif pertama yang dapat ditempuh adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk tetap menempuh pendidikan selama satu semester, untuk selanjutnya orang tua mengajukan pemindahan siswa yang bersangkutan. Cara ini dapat dinilai sebagai sebuah upaya kompromistis untuk menengahi kepentingan siswa akan pendidikan, ketentuan pengaturan pemindahan siswa, serta mencegah guncangan psykologis yang besar bagi siswa. Patut di sadari bahwa siswa dalam hal ini adalah korban dari kepentingan yang menggelayutinya. Sehingga apapun bentuk kesalahan yang telah di lakukan, tidak sepantasnya memberangus kesempatan mengecap pendidikan baginya. Namun dari aspek penegakan hukum, solusi ini mempunyai kelemahan berkenaan dengan efek jera dan pembelajaran bagi publik atas kesalahan yang terjadi.

Sementara alternatif solusi yang lebih tegas dapat ditempuh melalui regulasi di tingkat lokal dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Walikota. Melalui relulasi inilah siswa ditempatkan sesuai dengan tingkat capaian nilai setelah dikurangi dengan nilai piagam yang dipalsukan, maupun sesuai pendaftaran on line yang telah dilakukan. Namun perlu diingat bahwa solusi ini akan membawa guncangan psykologis dan sanksi sosial yang cukup tinggi terhadap pelaku maupun siswa selaku korban. Inilah konsekuensi  yang harus dipikul ketika target efek jera dan pembelajaran publik yang ingin dicapai dalam penyelesaian permasalahan ini.

Jauh dari sikap untuk menghakimi, tulisan ini hanya ingin menegaskan bahwa ‘sesuatu harus ditempatkan sesuai pada tempatnya’. Sehingga cita-cita luhur melalui beragam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah memberikan kemanfaatan, keadilan, serta kepastian hukum yang jelas. Berkait dengan tindakan yang melibatkan oknum pendidik, semestinya tindakan kurang terpuji di atas dapat dihindarkan. Karena ketika mencermati di dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) dapat ditemukan beragam kemudahan yang sebenarnya memberikan kesempatan bagi putra-putri guru dan dosen dalam mengenyam pendidikan. Beragam kesempatan itu dapat berupa beasiswa maupun bantuan pendidikan tanpa harus bersikap diskriminatif sebagaimana tindakan di atas. Penulis juga merasa prihatin jika putra-putri guru maupun dosen justru tidak dapat mengenyam pendidikan hingga jenjang yang tertinggi. Sementara para guru dan dosen dengan dedikasi yang tinggi mengerahkan segenap pikiran, jiwa raga, bahkan harta benda yang dimiliki untuk menopang keserlangsungan anak didiknya di bangku pendidikan. Namun sekali lagi bermacam upaya mulia tersebut tidak perlu diwarnai dan menjadi ternoda dengan pencederaan terhadap sistem yang disepakati bersama. Semoga moralitas yang mulia senantiasa tersemat pada profesi pendidik, karena gurulah yang memberikan warna kemajuan dan keberhasilan suatu bangsa melalui karya dan dedikasi kerja yang tinggi.

Menyoal Eksistensi Pidana Hukuman Mati di Indonesia

Oleh:

Muhammad Rustamaji 

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa penjatuhan pidana hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Meski diwarnai dengan discenting opinion dan lingkup putusan yang terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika, namun putusan tersebut dipandang memiliki nilai keterwakilan atas pandangan masyarakat luas. Ya, masyarakat kita masih memandang pidana mati masih layak untuk dipertahankan. Beberapa tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, maupun illegal logging agaknya pantas dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus operandi tindak pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun ekses negatif yang meluas dan sistematik bagi halayak, menjadi titik tekan yang paling dirasakan mayarakat. Maka sebagai langkah yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana hukuman mati di Indonesia, putusan MK ini mendapat apresiasi yang representatif.

Namun demikian, putusan Mahkamah Konstitusi atas eksistensi pidana hukuman mati di Indonesia, disadari atau tidak telah membuka kembali ’perang wacana’ mengenai konsep penghukuman yang berprikemanusiaan dan beradab. Beragam pandangan dan argumentasi mengenai pidana hukuman mati sebenarnya telah lama diketengahkan di kalangan akademisi, praktisi, maupun pakar hukum. Bahkan sejak digulirkannya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, wacana ini tidak luput dari banyak sorotan. Perdebatan yang terjadi mencakup sisi filosofis, yuridis maupun sosiologis mengenai urgensi penerapan pidana hukuman mati. Bermacam pertanyaan mendasar seperti apakah manusia berhak mencabut nyawa sesamanya, sedangkan kehidupan adalah karunia Tuhan? siapa yang memberi kewenangan kepada seorang algojo untuk merenggut hak hidup manusia yang lain? hingga pertanyaan teknis mengenai bagaimana pelaksanaan pidana hukuman mati yang memenuhi keberadaban itu dilakukan? terus bergulir mencari rumusan jawaban. Namun semua wacana tersebut timbul tenggelam dalam forum diskusi dan seminar karena ketiadaan kekuatan yuridis yang bersifat final dan mengikat. Hal yang tentunya berbeda ketika wacana tersebut termaktub dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang secara kelembagaan mempunyai kewenangan dan kekuatan hukum sebagai judge make law dalam pengujian produk perundangan.

Babak baru yang kemudian muncul dalam putusan MK ini adalah penguatan teori penjatuhan pidana sebagai konsep pembalasan (vergeldingstheorie) daripada sebagai konsep memperbaiki (verbeteringstheorie) si pelaku. Dengan pidana hukuman mati, negara seakan berlepas diri untuk memperbaiki sikap tindak si pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya. Meskipun sisi hukum yang merupakan ranah yudikatif ini dapat pula diupayakan lebih ringan melalui grasi dan amnesti sebagai hak prerogratif eksekutif, namun hukuman mati masih dipandang sebagai konsep pembalasan atas tindak pidana yang dilakukan. Jika demikian, bagaimana dengan ketentuan sila ke-2 Pancasila ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”? dan ”hak hidup” setiap manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945?  

Dengan perspektif yang berbeda dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi, mengenai nilai kemanusian dalam kerangka acuan keadilan dan keberadaban ini, sangat menarik ketika mengamati beberapa negara lain menyikapinya. Jika di Indonesia saat ini menghapuskan pelaksanaan hukuman mati melalui tiang gantungan, dan diganti dengan ditembak sampai mati oleh regu tembak, hal senada ternyata dapat dijumpai pula di negara lain. Beberapa negara asing misalnya Amerika Serikat, di beberapa negara bagiannya menggunakan kursi listrik, gas beracun dan ada pula yang menggunakan tempat penggantungan seperti di Indonesia pada masa silam. Di Perancis pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan dengan alat pemenggal kepala yang disebuat ’quilotine’. Sedangkan di Negara Timur Tengah menggunakan tiang gantungan atau pedang dalam pelaksanaan hukuman mati pemenggalan kepala. Dapat dicermati bahwa negara-negara yang dikenal sebagai pencetus HAM dan demokrasi ternyata memberlakukan pula eksistensi pidana hukuman mati. Bahkan secara  sederhana dapat dikatakan bahwa, perdebatan panjang mengenai nilai kemanusiaan pada akhirnya berakhir pada pendekatan teknis yang dipandang lebih manusiawi pada saat pelaksanaan hukuman mati. Terbukti, saat ini di negara-negara tersebut dikembangkan adanya teknik lethal injection dalam pelaksanaan hukuman mati. Melalui tiga kali penyuntikan yang terdiri atas obat pembius, obat penghenti detak jantung dan suntikan terakhir yang barupa racun, teknik ini dianggap paling manusiawi dan beradab karena menghilangkan penderitaan bagi sang terpidana mati.

Hukuman Pokok

Fakta hukum yang selanjutnya patut dicermati adalah rumusan hukuman pokok dan hukuman yang bersifat khusus dan alternatif. Terdapat konsepsi yang berbeda ketika konteks pidana hukuman mati ini diberlakukan. Ketika mencermati Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat ditemukan bahwa pidana hukuman mati termasuk sebagai hukuman pokok. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai masa percobaan dalam paruh waktu tertentu menjelang eksekusi. Dengan demikian ketika putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap, maka eksekusi dapat dijalankan. Sedangkan dibeberapa ketentuan hukum yang bersifat khusus, seperti dalam Undang-Undang Narkotika, pidana hukuman mati bersifat khusus dan alternatif. Artinya, ketika pelaku tindak pidana narkotika atau tindak pidana lain yang bersifat extraordinary crime dijatuhi hukuman mati, maka vonis tersebut dapat dieksekusi ketika telah melalui masa percobaan dan sang terpidana tidak menunjukkan sikap yang lebih baik. Dalam hal ini masih terbuka baginya upaya grasi maupun amnesti yang dapat diupayakan selama hukuman percobaan. Klausul hukuman percobaan penjara sepuluh tahun inilah yang membedakan ketika pidana hukuman mati tidak digolongkan dalam hukuman pokok.  

Kejanggalan segera terlihat ketika memperbandingkan KUHP sebagai peraturan umum (lex generalis) terhadap ketentuan-ketentuan pidana luar biasa sebagai peraturan khusus (lex specialis). Dapat dicermati bahwa tindak pidana biasa (ordinary crime) yang diatur oleh KUHP justru menempatkan pidana hukuman mati sebagai hukuman pokok. Namun di dalam ketentuan perundangan yang khusus mengatur pidana luar biasa (extraordinary crime), pidana hukuman mati justru ditempatkan sebagai hukuman alternatif semata. Tidakkah para perumus perundangan mencermati hal ini? Sedangkan diketahui bahwa extraordinary crime mempunyai ekses yang lebih luas bagi kehidupan bersama.  

Inilah beberapa telaah mengenai eksistensi pidana hukuman mati yang sejatinya masih diperlukan dalam menjaga kehidupan bernegara dan berbangsa yang beradab. Justru karena adanya ancaman hukuman mati dalam ketentuan yurudis, diharapkan menumbuhkan efek jera dan pembelajaran bagi khalayak akan arti penting menjaga hak-hak sesama dan tidak melanggarnya. Sebuah fenomena simbolistik yang menarik ketika para pejabat Republik Rakyat Cina (RRC) mendapat suvenir sebuah peti mati berukuran mini dari presidennya. Langkah ini ditempuh untuk memberikan pengingatan bahwa jika para pejabat tersebut melakukan korupsi maka hukuman matilah yang pantas untuknya, tidak terkecuali bagi presiden yang bersangkutan. Mereka menyadari bahwa korupsi akan merusak sendi kehidupan bernegara, penggunaan narkotika akan merusak generasi bangsa dan illegal logging akan menghancurkan lingkungan hidup mereka. Semangat kesadaran seperti inilah yang seharusnya muncul ketika eksistensi pidana hukuman mati tetap diberlakukan di Indonesia. Akhirnya kesadaran tersebut membawa kepahaman untuk sesegera mungkin lepas dari kungkungan krisis multidimensi seperti saat ini. Semoga.


Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Blog Stats

  • 32.621 hits

Flickr Photos