oleh
Muhammad Rustamaji
Pendahuluan
Mengapa meneliti menjadi penting bagi hidup dan kehidupan manusia? Mengapa pula kedalaman penguasaan metodologi menjadi prasyarat demi tercapainya penelitian yang bermutu? Atau bagaimana menjadi seorang peneliti yang baik dan benar itu, sebelum ia bersusah payah mempelajari metodologi? Inilah beberapa pertanyaan yang berjejalan menunggu jawaban kita dalam forum ini. Forum yang diharapkan menciptakan para peneliti muda yang handal dan produktif.
Ketika mempelajari metodologi penelitian, kita sudah dihadapkan dengan bermacam ketentuan ilmiah yang sudah pasti membingungkan bagi awam. Kali pertama mengenalnya, seakan dapat diilustrasikan seperti beberapa orang buta yang diminta menggambarkan seperti apa gajah itu. Apa yang terjadi kemudian sudah dapat diterka, bahwa penggambaran tersebut tidak akan sempurna karena parsialitas pendekatan yang terkotak-kotak. Boleh jadi orang buta pertama mengatakan gajah adalah binatang yang langsing dan panjang seperti pipa peralon, saat ia memegang belalinya. Namun ketika sang buta lain memegang telinga sang gajah maka ia akan berujar gajah itu binatang yang tipis lebar, dsb. Inilah fenomena kebingungan yang sama yang acapkali muncul ketika mengenal metodologi sebagai sebuah standar keilmiahan sebuah karya. Metodologi sebagai sebuah ‘cara’ seharusnya membantu para calon peneliti menjadi peneliti yang handal, dan bukan sebaliknya menjadi ciut nyalinya.
Untuk itulah dalam makalah singkat ini penulis mencoba mengajak audience sekalian mencoba merenungkan kembali apa yang patut kita bangun dalam mewujudkan penelitian yang bermutu itu. Fasilitas lengkap? Buku yang komplit? Atau justru calon peneliti yang berintegritas tinggi dengan semangat belajarnya?. Sebuah untaian kalimat bijak mengatakan;
‘enough money can get excellent laboratories, libraries, etc, and excellent people (faculty and students) to put in the laboratories and libraries. But laboratories do not produce creative science and technology, people do).’
Ya demikianlah adanya, uang dapat membeli laboratorium yang canggih, perpustakaan yang lengkap, dan ilmuwan serta staf yang istimewa untuk bekerja di laboratorium dan perpustakaan itu. Tapi yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kreatif bukan laboratoriumnya, tapi ilmuannya.
Maka setelah kenyang dengan beragam teori dan konsep-konsep metode penelitian, sepatutnya perlu direnungkan kembali, apa sejatinya langkah yang harus dipersiapkan sebelum terjun ke dalam relung penelitian. Bahasan ini menjadi penting ketika kita mencermati fenomena plagiatisme, copy-paste, atau aksi comot karya dan hak cipta ilmiah orang lain, yang masih saja terjadi dalam penyusunan sebuah penelitian maupun karya ilmiah yang lain. Apakah hal ini yang diharapkan dicetak melalui forum diklat maupun pelatihan seperti ini? Tentu saja tidaaaak! oleh sebab itu kita perlu mengenal tiga langkah besar yang harus terintegrasikan dalam kegiatan ilmiah yang kita lakukan. Ketiga langkah besar tersebut adalah (1) proses pra penelitian (2)proses penelitian dan (3)proses publikasi ilmiah.
Proses Prapenelitian
Jauh sebelum penelitian dilakukan, setiap peneliti seharusnya mempunyai penanaman di dalam dirinya tentang sikap dan perilaku ilmiah sebagai kode etik yang dipedomani. Budaya ilmiah adalah jawabannya. Budaya ilmiah inilah yang pada akhirnya terus menerus diwariskan kepada para peneliti generasi berikutnya dalam mengembangkan penelitian yang berkualitas nobel. Di luar negeri terdapat laboratorium atau lembaga penelitian yang sudah berumur ratusan tahun dan tetap eksis menghasilkan karya-karya ilmiah tingkat dunia, seperti Medical Research Council (MRC) di Inggris, Institut Pasteur di Prancis, Bell Lab di Amerika Serikat, dsb. Satu hal yang dapat dicermati dari sekian contoh lembaga tersebut adalah kedisiplinan dan komitmen yang tinggi para pemimpinnya dalam menjaga budaya ilmiah di lembaganya. Adalah mustahil menciptakan kelestarian sikap dan mental sekian banyak generasi peneliti secara simultan tanpa ketegasan visi pemimpinnya. Inilah langkah awal untuk menciptakan penelitian yang bermutu, yaitu mulai membentuk karakter seseorang yang berintegritas tinggi sebagai seorang peneliti.
Langkah praktis yang langsung dapat dipraktekkan dalam upaya menyusun sebuah visi yang menjadi arahan budaya ilmiah yang akan dikembangkan, adalah iqro’ atau membaca!. Sedangkan budaya ilmiah sebenarnya juga tersusun dan terbentuk dengan sangat sederhana di dalam kegiatan ilmiah. Membaca dan menulis adalah ketrampilan dasarnya. Ya, kemampuan literal inilah yang akan menggerakkan budaya ilmiah yang sehat dan dinamis. Sebuah siklus yang terus bergulir antara konsumsi ilmiah dengan membaca, ke arah menghasilkan produk ilmiah dengan menuliskannya. Kita ingat petuah Bacon, pencetus metode induktif, bahwa ”Reading makes a full man, conference makes a ready man, and writing makes an exact man.” Demikianlah siklusnya, banyak membaca, banyak tahu, banyak tahu berani berkomentar dan berpendapat, pada pusaran berikutnya kesiapan diri muncul terhadap setiap pertanyaan dan penyataan yang datang, dan akhirnya penelaahan yang mendalam, perenungan (kontemplasi)serta kecakapan berbahasa tulis mengantarkan munculnya produk ilmiah tertulis yang dapat diakses siapapun yang membutuhkannya.
Kegiatan membaca dan menulis ini ketika sudah menjadi kebutuhan pribadi, tentunya akan mempunyai daya ‘ledak’ yang luar biasa ketika secara berkelompok dikembangkan dan terus dikembangkan dalam inovasi tiada henti. Pada tahap inilah pembentukan karakter pribadi (character building) peneliti yang sebenarnya merupakan proses yang berat, menjadi ringan karena dilakukan secara berjamaah. Dengan berjamaah ilmiah maka setiap orang yang membaca dan menemukan sebuah permasalahan, akan memperoleh umpan balik yang beragam dalam kualitas maupun kuantitas dari sekelompok rekannya. Inilah multiguna berjamaah ilmiah dalam proses prapenelitian yang menghasilkan kesiapan mental, fisik dan pemikiran sebagai peneliti yang handal.
Proses Penelitian
Penelitian sebagai sebuah usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan,gejala atau hipotesa, dengan menerapkan metode ilmiah, tetap melibatkan persiapan dalam beberapa langkah awal sebelum terjun dalam pelaksanaan penelitian sesungguhnya. Untuk itu dalam merancang sebuah penelitian, setidaknya terdapat delapan langkah yang umumnya harus dilalui oleh peneliti;
1. Observasi Permasalahan
Telah diungkapkan bahwa “persiapan yang matang, adalah setengah dari keberhasilan”, maka tanpa observasi permasalahan yang tuntas, penelitian bisa saja hanya terjebak dalam sebuah pengulangan atau tidak benar-benar menuntaskan permasalahan yang diteliti. Sumber permasalahan dapat berasal dari mana saja, kapan saja dan melalui media apapun. Publikasi ilmiah di perpustakaan, laporan investigasi di media massa sampai dengan obrolan tetanggga tentang masalah yang sedang menghangat, adalah contohnya.Langkah praktis yang segera dapat dilakukan adalah segera catat, tulis atau rekam ide cemerlang tersebut tanpa menundanya. Sempatkan waktu barang tiga menit untuk menuangkan ide-ide yang berterbangan dalam peta pikiran berupa skema sederhana. Ingat, menunda sedetik saja akan menghapuskan kesempatan anda memperoleh gagasan yang segar dan menyumbat aliran ide yang deras mengucur, entah kapan lagi dan dimana akan ditemukan.
2. Pengumpulan Data Awal
Sebagai upaya penangkapan ide pertama kali, seringkali observasi permasalahan tidak lengkap jika tanpa disertai pengumpulan data awal secara tersendiri. Untuk itulah diperlukan pengumpulan data awal yang lebih terkonsentrasi. Bentuknya bisa penelusuran literatur, akses data yang terbuka untuk umum, kliping dsb.Kemajuan teknologi informasi saat ini dapat dikatakan sangat membantu bahkan tidak berlebihan jika dikatakan sangat memanjakan para user di dunia maya. Untuk itulah langkah praktis yang dapat dilakukan adalah mencari informasi yang diperlukan dengan media internet yang tentunya sudah dilengkapi dengan search engine berkenaan dengan data yang diperlukan. Pemanfaatan mesin pencari blog-blog di internet juga dapat dioptimalkan dalam pencarian para penulis dunia maya yang mengkonsentrasikan pada topik bahasan yang dibutuhkan, yang tentunya akan sangat membantu.
3. Pendefinisian Masalah
Setelah melalui dua langkah sebelumnya, maka permasalahan terlihat lebih detail, maka di sinilah inti permasalahan ditemukan. Jangan sampai seorang peneliti salah menduga suatu inti permasalahan hanya karena publisitas yang gencar di berbagai media. Terkadang sulit membedakan mana yang menjadi inti penelitian terhadap sebuah pemberitaan yang menghangat di media massa. Sebagai contoh kasus narkotika yang menimpa Roy Marten untuk kali kedua, kasus foto telanjang Anjasmara, maupun kehebohan putusan bebas terhadap Adelin Lies. Semua hal tersebut adalah isu-isu hukum yang potensial diangkat sebagai kudul karya tulis maupun penelitian. Lalu yang menjadi inti permasalahan Roy martin, Anjasmara, sebagai seorang selebritis atau kasus narkotika dan pornografinya yang menjadi inti pokok permasalahan penelitian? Di sinilah para peneliti harus menentukan mana yang akan dipilih sebagai inti permasalahan penelitian. Dalam sebuah penelitian, pendefinisian maupun perumusan masalah dapat berbentuk pernyataan maupun pertanyaan. Dalam hal ini tentu saja pertanyaan yang dirumuskan setidaknya harus menjelaskan;
a. menjelaskan hubungan dua gejala (variabel)
b. menyetakan secara jelas dan tidak mengandung keraguan akan inti permasalahan
c. memungkinkan untuk diuji secara empiris.
4. Pembentukan Kerangka Teori Pembentukan kerangka teori yaitu menyiapkan suatu model konsep yang melandasi keseluruhan aktivitas penelitian yang akan dilakukan. Dalam membentuk kerangka konsep ini, perlu melihat hubungan antar variabel masalah yang ada melalui penalaran yang logis dan kemungkinan pemecahannya. Walau nampak sulit, secara lebih sederhana hal ini dapat dipelajari dari pengalaman riset diri sendiri atau orang lain yang mengerjakan hal serupa. Oleh sebab itu penelitian terdahulu yang mempunyai korelasi berkenaan dengan hal yang diteliti seringkali juga dimuat dalam kerangka teori untuk selanjutnya dijelaskan letak perbedannya dari penelitian yang akan dilakukan. Langkah ini mempunyai manfaat bahwa penelitian yang akan dilakukan menunjukkan nilai originalitas sekaligus menunjukkan arah pengembangan ke arah mana penelitian terbaru berpijak dari penelitian pendahulunya. Secara praktis dalam langkahpenyusunan penelitian, pembentukan kerangka teori biasanya diikuti dengan kerangka konsepsional dan paparan penelitian terdahulu.
a. kerangka teori, disusun berdasarkan kajian-kajian teori para pakar hukum, untuk selanjutnya digunakan sebAgai indikator dan landasan teoritis dalam penelitian. Contoh;
Analisis Kasus Adelin Lies |
Rumusan Masalah 1 |
Sejauhmana suatu putusan hakim memenuhi nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum? |
Kerangka Teoritis |
Kerangka teori dari studi ini dalam kaitan dengan permasalahan pertama, yaitu berkaitan dengan ajaran relativisme Gustav Radbruch, khususnya mengenai antinomi-antinomi ide hukum (antinomies of the idea of law). Gustav Radbruch mengemukakan bahwa beranjak dari konsep hukum sebagai konsep budaya (cultural concept), yaitu konsep yang berhubungan dengan nilai, maka ia menerapkan pada nilai hukum (the value of law), ide hukum (the idea of law). Hukum menurut maknanya dimaksudkan untuk memenuhi ide hukum tersebut. Ide hukum yang dimaksud, ditemukan dalam tiga elemen yaitu keadilan (justice), kegunaan (expediency), dan kepastian hukum (legal certainty) |
Rumusan Masalah 2 |
Pendekatan apakah yang dipergunakan hakim dalam memaknai hukum untuk suatu perkara yang ditanganinya? |
Kerangka Teoritis |
Adapun permasalahan kedua berkaitan dengan ajaran mengenai hubungan antara hakim dan hukum yang tampak dalam praktik hukum, teori ini dikemukakan oleh Theo Huijbers. Praktik hukum yang dimaksud adalah cara hukum digunakan dan dimaknai di depan pengadilan. Setidaknya terdapat empat konsep yang bersumber dari ajaran yang berbeda seperti dikemukakan oleh Theo Huijbers, yaitu; legisme (ideenjurisprudenz), ajaran hukum bebas (frei rechtslehre), interessenjurisprudenz, dan idealisme hukum baru (new legal idealism). Pandangan yang legistis melihat praktek di peradilan tidak lain sebagai penerapan peraturan perundang-undangan dalam perkara-perkara konkrit secara rasional belaka.hukum dipandang sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara karena bersifat rasional. Teori rasionalitas sistem hukum pada abad ke-19 ditunjuk dengan istilah ideenjurisprudenz. Sedangkan ajaran hukum bebas yang dikemukakan oleh mazhab realisme hukum Amerika membela kebebasan yang besar bagi sang hakim. Sementara interessenjurisprudenz tetap mempertahankan norma-norma hukum sebagai penentu dalam proses di pengadilan, walaupun situasi konkret diperhitungkan sepenuhnya juga. Teori ini dikualifikasi sebagai penemuan hukum (rechtsvinding), artinya hakim mencari dan menemukan keadilan dalam batas norma-norma yang telah ditentukan dengan menerapkannya secara kreatif pada tiap-tiap perkara konkret. Di pihak lain, dalam idealisme hukum baru, undang-undang memiliki bobot normatif bagi penerapan hukum sebab undang-undang mencerminkan cita-cita hidup yang dituju dalam membentuk suatu tata hukum. Idealisme baru ini hanya dapat timbul dalam rangka sistem hukum konstitusional. Tekanan dalam idealisme hukum baru di samping undang-undang juga pada cita-cita bangsa, walaupun belum dihayati sepenuhnya. |
b. kerangka konsepsional, digunakan untuk mendefinisikan pengertian-pengertian di dalam penelitian agar tidak mengalami pembiasan dalam pengumpulan data himgga pada tahap analisis penelitian. Kerangka konsepsioal ini dapat disusun melalui (1) peraturan perundang-undangan, (2) metode-metode untuk merumuskan pengertian hukum (rechtsbegrip).
c. paparan penelitian terdahulu, menunjukkan perbedaan konsentrasi penelitian sekaligus originalitas dari suatu penelitian.
5. Hipotesa Hipotesa merupakan dugaan ilmiah tentang pemecahan ilmiah berdasar pada kerangka teori yang telah dibentuk. Syarat hipotesa yang baik adalah dapat diuji, kemudian dapat diterima akal (rasionable) dalam arti paralel dengan teori yang dibentuk yang dibentuk serta relevan baik dengan teori maupun dengan pengalaman sendiri atau orang lain. Pengujian hipotesa sering dilakukan menggunakan kata “apabila”
6. Desain Riset Peran pembimbing atau supervisor sangat penting di sini karena dengan pengalamannya akan membantu mengarahkan desain riset yang paling efektif. Desain riset ini adalah gambaran menyeluruh mengenai bagaimana seorang peneliti akan menjalankan penelitiannya sehingga tujuan penelitian dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Desain penelitian dalam langkah praktis acapkali digambar dalam diagram alur penelitian.
7. Koleksi, Analisa dan Interpretasi Data Tahap inilah yang seringkali disebut sebagai penelitian yang sesungguhnya. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data yang benar-benar dibutuhkan, sehingga sang peneliti melakukan klasifikasi maupun penyortiran. Selanjutnya dengan desain penelitian yang ada, peneliti melakukan analisis, baik secara pendekatan empiris, statistik, maupun pendekatan normatif studi kasus, perundangan, historis, perbandingan, maupun konseptual.
8. Deduksi Pada tahap yang terakhir ini adalah langkah menuju kesimpulan melalui interpretasi terhadap hasil analisa. Dari deduksi ini peneliti membuat rekomendasi.
Proses Publikasi Ilmiah
Sebuah penelitian maupun karya ilmiah lainnya, melekat di dalamnya hak publik untuk mengetahui. Untuk itu publikasi menjadi penting dalam rangkaian penelitian maupun penyusunan karya ilmiah sebagai bentuk proses yang utuh, sekaligus sebagai pertanggung jawaban publik atas karya yang dihasilkan.
‘Publish or perish’ adalah semboyan yang agaknya sangat tepat untuk menggambarkan kewajiban mempublikasikan penelitian dan karya ilmiah yang sudah diselesaikan. Ya, publikasikan atau hancurkan, that’s all. Saat ini banyak media yang dapat digunakan, mulai dari seminasi hasil penelitian, artikel dalam jurnal publik maupun ilmiah, hingga jurnal elektronik yang banyak disediakan ISP (internet service provider) di dunia maya.
Banyak manfaat yang dapat diambil dengan langkah publikasi hasil penelitian ini, salah satunya seperti yang sudah disitir di muka penulisan ini, conference makes a ready man!. Beragam tanggapan, masukan, kritik bahkan hujatan sangat mungkin diterima oleh seorang peneliti ketika ia mempublikasikan hasil penelitiannya. Masih ingat kasus publikasi ilmiah yang menyatakan 90% mahasiswi di Jogjakarta tidak virgin lagi? Ini contoh riil betapa publikasi ilmiah dapat mendatangkan hujatan ketika metode penelitian diragukan. Namun demikian bukan pada tempatnya jika saat ini traumatik hujatan maupun kritik harus dihindari dengan menyimpan rapat penelitian kita di lemari kaca, yang bahkan debu tak dapat menyentuhnya. Penelitian semacam ini akan kehilangan kemanfaatannya sebagai sebuah solusi yang bisa jadi sangat dibutuhkan bangsa dan negara. Maka apapun hasilnya, ketika jerih payah sudah dilakukan demi sebuah penelitian, publikasikan atau hancurkan! adalah pilihan yang tak dapat tergantikan. Ok friend? Wassalam.
Komentar Terbaru