Arsip untuk Februari 11th, 2008

Bagaimana Formulasi Hukum Kita Mengatur Illegal Logging?

Oleh:

Muhammad Rustamaji

   

Hukum pidana sebagai salah satu sarana penegakan hukum, menempati posisi yang penting dalam upaya pendayagunaan hukum. Salah satu dari peran pendayagunaan sarana penal tersebut adalah pengaturan dalam tahap formulasinya.

Berikut ini akan dideskripsikan mengenai ketentuan pidana dari perundang-undangan yang merupakan konsepsi tahap formulasi lex specialis terhadap urusan-urusan di bidang kehutanan dan yang menjadi dasar hukum dalam penegakan hukum pidana (penal) terhadap penebangan liar (illegal logging), yaitu antara lain;

a.     Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragaraf ke-18 UU No.41 Tahun 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi juga ditujukan kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan sehingga timbul rasa enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidana yang berat.

Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999 yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini dapat pula dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat dicermati dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 UU No.41 Tahun 1999.

Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan penebangan liar (illegal logging) berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 antara lain sebagai berikut;

Tabel 1. Ketentuan Pidana dalam UU No.41 Tahun 1999

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (Pasal 50 (1)). Barang siapa dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang yang diberikan ijin pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta ijin pemungutan hasil hutan kayu danbukan kayu. Dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 (2)). Barang siapa yang melanggarketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:a.  500 (lima ratus) meter dari tepi waduk dan danaub.  200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawac.   100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungaid.  50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungaie.  2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurangf.    130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai (Pasal 50 ayat (3) huruf c)Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Setiap orang dilarang untuk menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf e). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Menerima, membeli, atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 5 ayat (3) huruf f). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 50 ayat (3)huruf h). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000.- (sepuluh milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (6)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000.- 
Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan diguanakn untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3)huruf j). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (8)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- 
Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf k). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000.- (satu milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (9)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000.- 
Negara melakukan perampasan terhadap hasil hutan dan alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran (Pasal 78 ayat (15)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman perampasan terhadap hasil hutan dan alat-alat yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran

Berdasarkan uraian tentang formulasi ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 di atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu;

1)    Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan

2)    Kegiatan yang keluar dari ketentuan perijinan sehingga merusak hutan

3)    Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang

4)    Menebang pohon tanpa ijin

5)    Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan ilegal

6)    Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)

7)    Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa ijin

Menelaah rumusan tentang unsur-unsur ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut, terdapat beberapa kelemahan yang diakibatkan adanya sifat selektifitas dari ketentuan hukum ini. Sasaran penegakan hukum dalam ketentuan pidana tersebut belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku kejahatan penebangan liar (illegal logging). Rumusan unsur-unsur pidana seperti diuraikan di atas memang sangat efektif untuk diterapkan kepada pelaku terutama masyarakat yang melakukan pencurian kayu tanpa ijin atau masyarakat yang diupah oleh pemodal untuk melakukan penebangan kayu secara ilegal dan kepada pelaku pengusaha yang melakukan pelanggaran konsesi penebangan kayu ataupun yang tanpa ijin melakukan operasi penebangan kayu. Akan tetapi perkembangan kasus penebangan liar (illegal logging) saat ini justru diindikasikan banyak melibatkan oknum pejabat pemerintah termasuk oknum pejabat pemerintah daerah, oknum pegawai negeri sipil, oknum TNI dan Polri serta oknum pejabat penyelenggaraan negara lainnya yang justru menjadi bagian dari pelaku intelektual dalam penebangan liar (illegal logging) belum dapat terjangkau oleh ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut.

Keterlibatan pegawai negeri sipil maupun militer, oknum pejabat serta oknum aparat pemerintah atau penegak hukum lainnya baik selaku pemegang saham dalam perusahaan penebangan kayu, maupun yang secara langsung melakukan kegiatan bisnis kayu, acapkali lolos dari jeratan hukum, sehingga efek selanjutnya adalah tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Subyek hukum (adresat) dalam tindak pidana kehutanan sebagaimana yang diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut, terbatas pada orang dalam pengertian baik orang pribadi (persoon), badan hukum, maupun bahan usaha, akan tetapi belum mengatur perbuatan yang dilakukan oleh korporasi dan pegawai negeri, demikian juga pengaturan sanksi tambahan terhadap pelaku individu dan korporasi.

Secara tegas UU No.41 Tahun 1999 belum memberikan definisi tentang penebangan liar (illegal logging), belum mengatur tentang tindak pidana korporasi, tindak pidana penyertaan, dan tindak pidana pembiaran (omission), terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas kejahatan penebangan liar (ilegal logging). Oleh karena itu, hal tersebut menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku kejahatan penebangan liar (ilegal logging) yang secara tegas tidak diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 tersebut. Pada akhirnya dalam upaya penegakan hukum, pelaku-pelaku tersebut dimungkinkan untuk lolos dari tuntutan hukum. Terkait dengan perkembangan kejahatan penebangan liar (ilegal logging) sebagaimana dicermati dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini tidak cukup efektif atau dapat dikatakan tidak dapat mengakomodasi perkembangan kehajatan penebangan liar (ilegal logging) yang berkembang dari masa-kemasa. 

b.     Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

Pengaturan pidana dalam UU No.5 Tahun 1990 ini diatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi pidana ada tiga macam yaitu pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) sedangkan sanksi pidana terhadap pelanggaran diatur dalam Pasal 40 ayat (3) dan (4) UU No.5 Tahun 1990, sedangkan unsur-unsur perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, Pasal 21 dan Pasal 33.

Tabel 2. Ketentuan Pidana dalam UU No.5 Tahun 1990

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap; keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (1)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-baginnya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau diluar Indonesia (Pasal 21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.-
Barang siapa karena kesalahannya melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap; keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.- (seratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (3)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-baginnya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau diluar Indonesia (Pasal 21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.- (lima puluh juta rupiah) (Pasal 40 ayat (4)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.-

Unsur-unsur pidana yang terkait dengan kegiatan penebangan liar (illegal logging) dalam undang-undang di atas antara lain;

1)    Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian yang mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan tersebut khusus pada kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata.

2)    Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, memperniagakan dan menyelundupkan hasil hutan, namun demikian ketentuan tersebut khusus terhadap hasil hutan berupa tumbuhan yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam kepunahan (Penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU No.5 Tahun 1990)

Berdasarkan rumusan ketentuan pidana dalam UU No.5 Tahun 1990 tersebut, maka dapat dipahami bahwa UU No.5 Tahun 1990 hanya secara khusus mengatur mengenai kajahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis tumbuhan tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) hanya sebagai instrumen pelengkap atau sebagai pasal lapisan tuntutan (subsidaritas) dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penebangan liar (illegal logging). Dan perlu diperhatikan bahwa ketentuan tersebut hanya dapat berfungsi jika unsur-unsurnya terpenuhi.

c.      Ketentuan Pidana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985

Ada dua jenis pidana berdasarkan Pasal 18 PP No.28 Tahun 1985 yaitu kejahatan dan pelanggaran sedangkan sanksi pidananya ada empat macam, yaitu pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran. Ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut diatur dalam Pasal 18, yang akan diuraikan sebagai berikut;

Tabel 3. Ketentuan Pidana dalam PP No.28 Tahun 1985

Formulasi Tindak Pidana Efek Jera
Barang siapa dengan sengaja melakukan penebangan pohon-pohon dalam huatan lindung tanpa ijin  (Pasal 9 ayat (2)), dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp100.000.000.- (seratus juta rupiah) (Pasal 18 ayat (1)). Sedangkan jika perbuatan tersebut dilakuakn di dalam hutan bukan hutan lindung dipidana dengan penjara selama-lamnaya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp20.000.000 (dua puluh juta rupiah) (Pasal 18 ayat (2)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.- dan atau ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.-
Barang siapa yang melakukan pemungutan hasil hutan dengan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan (seluruh pohon) di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan (Pasal 7 ayat (3)), dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000.- (satu juta rupiah) (Pasal 18 ayat (3)) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.-
Barang siapa yang dengan sengaja memiliki dan atau menguasai dan atau mengangkut hasil hutan yang sudah dipindahkan dari tempat pemungutannya tanpa disertai dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH), dipidana dengan didana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000.-(lima juta rupiah) (Pasal 18 ayat (4) huruf d) efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.-
Barang siapa dengan sengaja membawa alat-alat yang lazim diguanakan untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan, selain petugas yang diberi wewenang oleh undang-undang (Pasal 9 ayat (1)), dipidana dengan pidana kurungan selama-lamnya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 2.500.000.- (dua juta lima ratus ribu rupiah) (Pasal 18 ayat (5)). efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp2.500.000.-
Semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang diperguanakan untuk melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dapat dirampas untuk negara. efek jera yang diterapkan dengan perampasan semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana

Jika dicermati dari rumusan ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa PP No.28 Tahun 1985 ini hanya mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran yang secara khusus dilakukan dalam hutan lindung. Sama seperti UU No.5 Tahun 1990, ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 ini hanya sebgai pelengkap (subsideritas) atas tindak pidana di bidang kehutanan dan ketentuan ini hanya secara khusus mengatur tentang kejahatan di bidang kehutanan yang dilakukan di dalam hutan lindung. Jika dibandingkan dengan ketentuan pidana  dalam UU No.41 Tahun 1999, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya semua unsur-unsur yang diatur dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut telah dimuat dalam rumusan tentang ketentuan pidana dalam UU No.41 Tahun 1999. sanksi pidana menurut UU No.41 Tahun 1999 juga relatif lebih berat jika dibandingkan dengan sanksi pidana yang diatur dalam PP No.28 Tahun 1985 yang relatif lebih ringan, sehingga efek jera yang ditimbulkan pun relatif kecil.

Dipandang dari segi ilmu hukum pidana, maka PP No.28 Tahun 1985 ini menurut Marpaung (1995:18) terdapat kerancuan dalam penerapan sanski pidana yang berat terhadap tindak pidana terhadap hutan. Hal tersebut dikarenakan sangat jarang formulasi tindak pidana dan sanksi dimuat dalam sebuah Peraturan Pemerintah, karena pada umumnya tindak pidana serta sanksi dirumuskan berdasarkan undang-undang, sedangkan ketentuan pidana kehutanan dalam UU No.5 Tahun 1967 justru diatur dalam PP No.28 Tahun 1985. Pengaturan sanksi pidana yang ditetapkan dalam PP No.28 Tahun 1985 ini sebenarnya merupakan penjabaran dari Pasal 19 ayat (1) UU No.5 Tahun 1967 yang berbunyi;“Peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini dapat memuat sanksi pidana, berupa hukuman pidana penjara atau kurungan dan/atau denda“. Oleh karena itu dalam menetapkan PP No.28 Tahun 1985 ini sebagai dasar hukum dalam penerapannya harus selalu dilihat dengan Pasal 19 UU No.5 Tahun 1967. Namun demikian, dengan diberlakukannya UU No.41 Tahun 1999 kerancuan tersebut dapat diatasi.

Di samping ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai illegal logging dalam lingkup kehutanan, ketentuan pidana di luar lex specialis dapat pula ditemukan dalam KUHP sebagai lex generalis sekaligus menunjukkan sifat pendayagunaan sarana penal yang komplementer dalam pengaturan tindak pidana illegal logging ini. Berikut uraian mengenai cakupan tindak pidana yang dapat digunakan dalam mendekati tindak pidana penebangan laiar (illegal logging) di dalam KUHP.

d.     Ketentuan Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Tindak pidana terhadap kehutanan merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Menurut Pompe dan Hamzah (1991:1), terdapat dua kriteria yang dapat menunjukkan hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subyeknya yang khusus, dan kedua, perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten). Berkenaan dengan tindak pidana penebangan liar (illegal logging) merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana perbuatannya dikategorikan khusus sebagai extra ordinary crime, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan.

Pada dasarnya kejahatan penebangan liar (illegal logging), secara umum dapat dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, penebangan liar (illegal logging) dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum, yaitu:

1)    Perusakan

Perusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang perusakan barang dalam arti barang-barang biasa yang dimiliki orang (Pasal 406 KUHP). Barang dalam hal ini dapat berupa barang tetap maupun tidak tetap, bergerak maupun tidak bergerak. Namun berkenaan dengan barang-barang yang mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal 408, akan tetapi terbatas pada barang-barang tertentu sebgaimana yang disebutkan dalam pasal tersebut[1] dan tidak relevan untuk ditetapkan pada kejahatan perusakan hutan.

Unsur perusakan terhadap hutan dalam kejahatan penebangan liar (illegal logging), bermula dari konsepsi tentang prinsip perijinan dalam sistem pengelolaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi hutan. Penebangan liar (illegal logging) pada hakekatnya merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perijinan yang ada, baik tidak memiliki ijin secara resmi maupun yang memiliki ijin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perijinan tersebut (Contoh :  over cutting, penebangan di luar areal konversi yang dimiliki). Kerusakan lingkungan akibat tindakan seperti ini belum tercakup dalam ketentuan Pasal 408 KUHP meskipun kepentingan umum berpotensi terganggu karenanya.

2)    Pencurian

Ketika penebangan liar (illegal logging) dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian, dapat dirumuskan dalam unsur-unsurnya menurut penjelasan Pasal 363 KUHP yaitu sebagai berikut:

a)    Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai

b)    Suatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku

c)     Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.

d)    Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan hukum. Jelas bahwa kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan kegiatan illegal logging ini adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu untuk dimiliki. Akan tetapi harus juga diperhatikan mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum adalah perbuatan melawan hukum.

Adapun ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP antara lain Pasal 363 yaitu pidana penjara 5 (lima) tahun, Pasal 364 pidana penjara 7 (tujuh) sampai dengan 9 (sembilan) tahun dan Pasal 365 dengan pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun.

3)    Pemalsuan

Pemalsuan surat diatur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 276 KUHP. Menurut penjelasan Pasal 263 KUHP, pemalsuan surat merupakan kegiatan membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah surat yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian, pembebasan utang atau surat yang dapat digunakan sebagai suatu keterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun, Pasal 264 paling lama 8 (delapan) tahun, Pasal 266 dipidana penjara 7 (tujuh) tahun. Berkenaan dengan illegal logging, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku llegal logging adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), termasuk pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kehutanan.

4)    Penggelapan

Penggelapan di dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Dalam penjelasan Pasal 372 KUHP, penggelapan diartikan mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan untuk dimiliki dengan melawan hak. Modus penggelapan dalam kejahatan penebangan liar (illegal logging) antara lain  penebangan di luar area yang dimiliki (over cutting), penebangan yang melebihi target kuota yang ada (over capasity), dan melakukan penebangan sistem tebang habis sedangkan iijin yang dimiliki adalah tebang pilih, mencantumkan data jumlah kayu dalam SKSHH yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya. Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.- (sembilan ratus rupiah).

5)    Penadahan

Heling atau persekongkolan atau penadahan diatur dalam Pasal 480 KUHP. Lebih lanjut perbuatan itu dikategorikan menjadi perbuatan membeli, atau menyewa barang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil dari kejahatan. Ancaman pidana dalam Pasal 480 adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.- (sembilan ratus rupiah). Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam maupun di luar negeri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil penebangan liar (illegal logging) yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku, baik penjual maupun pembeli. Modus ini juga diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No.41 Tahun 1999.


[1] Barang-barang kepentingan umum yang dimaksud Pasal 408 KUHP meliputi : pekerjaan jalan kereta api, trem, kawat telegram, telfon atau listrik, atau pekerjaan untuk menahan air, pembagian air, atau pembuangan air, pipa gas atau air, atau selokan (jalan membuang kotoran)

KEKUATAN PEMBUKTIAN TES DNA DALAM KACAMATA KUHAP

Oleh:

Muhammad Rustamaji

   

Pemanfaatan tes DNA dalam mengungkap pelaku tindak pidana terorisme merupakan langkah strategis yang mungkin dilakukan saat ini mengingat keotentikan alat bukti tes DNA itu sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah. Sebagai alat bukti petunjuk, tentunya berdampak sangat signifikan dalam pengungkapan kasus terorisme. Pentingnya kedudukan alat bukti tes DNA dalam proses peradilan pidana mencakup beberapa hal penting yaitu, pertama, terkait dengan identifikasi pelaku dalam proses penyidikan dan dalam pengembangan kasus. Kedua dalam hal mengungkap jaringan pelaku tindak pidana terorisme itu sendiri, dari hal-hal tersebut dapat diketahui latar belakang pelaku tindak pidana terorisme misalnya mengenai latar belakang pendidikan, keluarga sehingga dapat diketahui maksud dan tujuan pelaku tindak pidana terorisme melakukan berbagai aksinya, apakah hanya sebatas melakukan teror, memperjuangkan aksi kelompoknya atau menentang penjajahan, hal ini penting karena terkait dengan bagaimana proses pengusutan lebih lanjut. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti petunjuk menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa alat bukti petunjuk mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.

Namun sampai saat ini penggunaan alat bukti tes DNA dalam proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat yang dapat digunakan sebagai  alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sekunder sehingga masih memerlukan dukungan alat bukti lain. Alat bukti tes DNA belum dilihat sebagai alat bukti yang dapat mendukung proses pengidentifikasian pelaku tindak pidana terorisme.

Hingga saat ini pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA hanya diatur dalam KUHAP. Berikut adalah beberapa paparan mengenai pengaturan mengenai alat bukti tes DNA dari peraturan hukum tersebut berdasarkan ketentuan dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981)

Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam KUHAP tidak banyak kita temui pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti. Dalam hal ini hanya terdapat satu pasal yang mengatur alat bukti, yaitu :

Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan “Alat bukti yang sah ialah”;

(1)    Keterangan saksi

(2)    Keterangan ahli

(3)    Surat

(4)    Petunjuk

(5)    Keterangan terdakwa

Mengingat pembuktian dengan menggunakan tes DNA memang tidak diatur secara khusus dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai memanfaatkan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti di persidangan, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa alat bukti tes DNA paling dekat korelasinya dengan alat bukti petunjuk.

Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai alat bukti petunjuk yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian seperti yang disampaikan R. Soesilo bahwa yang dimaksud petunjuk yaitu suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya, adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim (R.Soesilo,1997 : 167). Dari definisi petunjuk tersebut, kita memperoleh beberapa ketentuan mengenai  petunjuk  yang harus dipenuhi antara lain;

1.     Suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya. Adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa

2.     Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim

Jika telaah ketentuan mengenai saksi di atas diterapkan dalam pemanfaaan alat bukti tes DNA  dalam mengungkap kasus terorisme, maka dapat kita ulas sebagai berikut;

1.     Suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapakah pelakunya. Adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa

Hanya dari ketiga alat bukti itu, bukti petunjuk dapat diolah. Dari ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan. Persesuaian itu diambil dan diperoleh dari keterangan pihak dan peristiwa yang terkait di dalamnya.

2.     Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim

Sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yang dianut KUHAP (Pasal 183 KUHAP) pada prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim, dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian kita adalah perpaduan antara sistem conviction-in time(vrijbewijk) dan sistem pembuktian positif (positief wettelijk stelsel). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian kita. Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya. Dalam hal ini penggunaan tes DNA yang menyajikan data secara detail atau rinci mengenai susunan kromosom seseorang sehingga, memungkinkan hakim untuk dapat memberikan penilaian atas hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA tersebut.

Berdasarkan ilustrasi teknis diatas nampaknya alat bukti tes DNA  memang tepat untuk menjadi alat bukti petunjuk dalam mengungkap kasus terorisme. Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam KUHAP tidak banyak kita temui pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti, sedangkan substansi dan kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA yait

(1).          Substansi Pembuktian

Dalam kasus yang membutuhkan pembuktian mengenai asal-usul keturunan seseorang maka alat bukti tes DNA bertindak sebagai alat bukti petunjuk karena bukan merupakan alat bukti langsung atau indirect bewijs.

(2).          Kekuatan Pembuktian

Penggunaan tes DNA yang penyelesaiannya berkaitan dengan pelacakan asal-usul keturunan dapat dijadikan sebagai bukti primer, yang berarti dapat berdiri sendiri tanpa diperkuat dengan bukti lainnya, dengan alasan :

a.     DNA langsung diambil dari tubuh yang dipersengketakan dan dari yang bersengketa, sehingga tidak mungkin adanya rekayasa dari si pelaku kejahatan untuk menghilangkan jejak kejahatannya.

b.     Unsur-unsur yang terkandung dalam DNA seseorang berbeda dengan DNA orang lain (orang yang tidak mempunyai garis keturunan), yakni dalam kandungan basanya, sehingga kesimpulan yang dihasilkan cukup valid.  (Taufiqul Hulam, 2002 : 130)

Tes DNA sebagai salah satu bentuk alat bukti petunjuk harus mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang dapat ditunjukkan melalui syarat-syarat :

a.     Kerahasiaan (confidentially).

Penggunaan alat bukti tes DNA mempunyai tingkat kerahasianan yang cukup tinggi, mengingat informasi hasil tes DNA tidak disebarkan pada orang atau pihak yang tidak mempunyai hak untuk mengetahuinya. Dalam hal mendapatkan alat bukti tes DNA, pihak yang berwenang untuk mengeluarkan hasil pemerikasaan adalah Rumah Sakit atau Laboratorium yang memiliki fasilitas khusus dengan aparat yang telah ditunjuk, sehingga tingkat kerahasaiaan dapat terjaga.

b.     Otentik (autentify).

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diketahui bahwa tubuh manusia terdiri dari sel-sel, yaitu satuan terkecil yang memperlihatkan kehidupan, yang di dalamnya terdapat inti sel dan organel-organel yang berperan dalam bidang masing-masing di dalam sel itu. Sehubungan dengan itu, bagian yang perannya sangat penting dalam melakukan pengendalian adalah inti sel. Di dalam inti sel ini terdapat kromosom dan nukleus.

Kromosom yang terdapat dalam inti sel tersusun atas bagian- bagian yang dinamakan gen. gen-gen ini bila diperiksa lebih lanjut ternyata terdiri atas molekul- molekul yang merupakan sepasang rangkaian panjang yang saling melilit. Tiap rangkaian berisi satuan- satuan yang dinamakan DNA yang tersambung satu sama lain secara khas menurut urutan tertentu. (Taufiqul Hulam, 2002 : 125)

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa setiap manusia mempunyai susunan kromosom yang identik dan berbeda-beda setiap orang, sehingga keotentikan dari alat bukti tes DNA dapat teruji, disamping itu alat bukti tes DNA disahkan oleh pejabat yang berwenang sehingga memperkuat kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA.

c.      Objektif.

Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan DNA, merupakan hasil yang didapat dari    pemeriksaan berdasarkan keadaan obyek sesungguhnya dan tidak memasukkan unsur pendapat atau opini manusia di dalamnya, sehingga unsure subyektifitas seseorang dapat diminimalisir.

d.     Memenuhi langkah-langkah ilmiah (Scientic)

Untuk memperoleh hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA, harus menempuh langkah-langkah ilmiah yang hanya didapat dari uji laboratorium yang teruji secara klinis, yaitu pertama, mengambil DNA dari salah satu organ tubuh mausia yang di dalamnya terdapat sel yang masih hidup, kedua, DNA yang telah diambil tersebut dicampur dengan bahan kimia berupa proteinase yang berfungsi untuk menghancurkan sel, sehingga dalam larutan itu tercampur protein, kabohidrat, lemak, DNA dan lain-lain, ketiga pemisahan bagian-bagian lain selain DNA dengan menggunakan larutan fenol, setelah langkah-langkah ini akan diketahui bentuk DNA berupa larutan kental dan akan tergambar identitas seseorang dengan cara membaca tanda-tanda atau petunjuk yang terkandung di dalamnya. (Taufiqul Hulam, 2002 : 128)

Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa, sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain :

1.                 hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian aynag diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainaya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.

2.                 petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa (terikat pada prinsip batas minimum pembuktian ). Oleh karena itu petunjuk mempunyai nilai pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya alat bukti lain. (Yahya Harahap, 2005 : 317)

LEGALITAS LINUX DALAM REGIME HKI

Oleh:

Muhammad Rustamaji   

Alasan yang Melandasi Linux Dapat Digunakan Sebagai Perangkat Lunak Program Komputer dengan Tanpa Melanggar Hak Cipta

Fokus pembicaraan mengenai penilaian legal atau ilegalnya suatu pemanfaatan hak cipta orang lain, sebenarnya terletak pada ada tidaknya izin yang diberikan dari si pemegang hak cipta tersebut kepada pihak pengguna hak cipta, untuk mengambil manfaat dari hasil karya ciptanya tersebut. Dalam dunia perdagangan dan alih teknologi, ijin ini disebut dengan lisensi. Lisensi adalah ijin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu (Pasal 1 angka 14 UU No.19 tahun 2002).

Pada prinsipnya lisensi produk teknologi tidak berbeda dengan lisensi yang diterapkan dalam produk perangkat lunak komputer (software). Namun demikian, kiranya perlu diketahui bahwa dalam pemberian lisensi produk-produk software ini, terdapat dua jenis lisensi yang banyak digunakan, yaitu lisensi per komputer dan lisensi GPL (GNU Public Lisence). Jenis lisensi yang pertama mengharuskan si pemakai (user) membayar lisensi untuk setiap mesin/komputer yang menggunakan software yang bersangkutan. Hal ini berarti setiap pemilik seperangkat komputer yang siap dioperasikan, harus membeli perangkat keras (seperti monitor, keyboard, mouse, CPU dan sebagainya) yang dibutuhkan, serta harus membayar setiap software / program komputer  yang berjalan dalam komputernya tersebut (seperti word, exel, corel, dan sebagainya). Sedangkan jenis lisensi yang kedua membolehkan pemakai (user) menggunakan software yang bersangkutan di bermacam komputer secara bebas. Hal tersebut dapat dilakukan karena lisensi GPL pada prinsipnya memberikan hak milik publik untuk memiliki bersama suatu produk yang berlisensi GPL, sehingga setiap orang berhak untuk mengambil, mengembangkan, memodifikasi dan bebas melakukan apapun terhadap produk yang berlisensi GPL tersebut.

Berbicara mengenai linux, setidaknya terdapat dua hal penting yang menjadi alasan mengapa linux dapat dimanfaatkan secara legal, tanpa harus meminta izin pemegang hak, tetapi tetap tidak melanggar hak cipta orang lain, yaitu :

1.    Linux Berlisensi GPL (GNU Public Lisence)

Para pengguna linux sering menggunakan istilah GNU/Linux sebagai padan kata dari Linux. Berangkat dari peristilahan yang digunakan ini, dapat kita ketahui bahwa linux merupakan operating sistem (OS) yang kompatible dengan Unix, dan linux itu sendiri berisi kernel Linux dan sekumpulan lengkap alat-alat dan program-program lain, yang kebanyakan di bawah naungan proyek GNU dari Free Software Foundation. Tampilan grafis atau Graphical User Interface (GUI) disediakan oleh X Window System beserta kumpulan libraries dan alat-alatnya.

Dengan adanya lisensi GPL dengan naungan proyek GNU dari Free Software Foundation ini, semua software yang tersedia bisa didapat gratis berdasarkan lisensi GNU General Public License atau lisensi-lisensi lain yang mirip dengan itu. Berdasarkan lisensi ini, siapa pun bisa mendapatkan program baik dalam bentuk source code (bisa dibaca manusia) mau pun binary (bisa dibaca mesin), sehingga program tersebut dapat diubah, diadaptasi, mau pun dikembangkan lebih lanjut oleh siapa saja.

2.    Produk Linux Merupakan Produk  Massa

Strategi hemat di kala krisis separti saat ini, banyak kita temukan dalam berbagai trik yang dilakukan perusahaan ataupun perorangan untuk memperoleh software gratis. Salah satu cara yang banyak dilakukan adalah mengambil software dari kernel Linux, lalu membundelnya dengan software gratis ataupun software komersial lainnya membentuk distribusi Linux (distro). Beberapa distribusi Linux yang terkenal antara lain RedHat Linux, Caldera OpenLinux, Slackware Linux, Debian Linux, S.u.S.E Linux, Trinux, dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan linux justru dilakukan secara serempak oleh banyak orang dengan gaya atau stile-nya masing-masing, sehingga menghasilkan beragam software linux yang berfariasi.

Karena banyak sekali program-program maupun komponen software (biasanya tergabung dalam “paket”) yang membentuk sebuah sistem Linux yang lengkap, dan kesemuanya itu diurus oleh banyak orang dan organisasi dalam jadwal yang berbeda-beda, maka beberapa perusahaan dan organisasi mengumpulkan paket-paket tersebut menjadi satu distribusi (distro). Tapi tidak itu saja, mereka juga melakukan tes-tes terhadap software di dalamnya, mengembangkan program-program instalasi atau yang memudahkan instalasi, sebagian ada yang memberikan technical support, dan sebagainya. Ada distribusi komersial seperti Red Hat, Caldera, SuSE, dan ada juga distribusi yang non-komersial seperti Debian GNU/Linux. Baik distribusi komersial mau pun non-komersial tersedia tanpa dipungut biaya di internet, dan juga tersedia di media seperti CD-ROM. Perbedaan mendasar antara distro komersial dan non-komersial adalah bahwa produk komersial didukung oleh perusahaan yang menyediakan technical support, dan mungkin juga menyediakan beberapa software komersial lain yang tidak bisa didistribusikan secara gratis. Hal ini tentunya penting di lingkungan bisnis tertentu (Anonim, Mengapa linux, 2003) 

TELECONFERENCE DALAM KACAMATA HUKUM PEMBUKTIAN

Oleh:

Muhammad Rustamaji  

Nilai Pembuktian Pemanfaatan Teknologi Teleconference Sebagai Alat Bantu Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Persidangan pengadilan melalui teknologi teleconference sebelum pemeriksaan kasus korupsi dengan terdakwa Mantan Kabulog Rahardi Ramelan memang belum pernah terjadi di Indonesia.  Sebagaimana dalam ketentuan KUHAP mengenai tata cara dan prosedur pembuktianpun tidak diatur mengenai teleconference. Namun KUHAP sebenarnya telah menegaskan bahwa menjadi saksi adalah kewajiban setiap orang. Mereka yang telah dipanggil ke sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi menolak kewajiban itu, dapat dikenakan pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dalam kasus Rahardi Ramelan ini, B.J Habibie sebagai saksi, KUHAP juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa seseorang dapat menolak pemanggilan sebagai saksi karena alasan mendampingi sang istri yang tengah mendapat perawatan di rumah sakit. 

Mengingat persidangan pengadilan melalui teleconference memang tidak diatur dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai memanfaatkan teleconference sebagai alat bukti di persidangan, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa teleconference paling dekat korelasinya dengan alat bukti saksi.

Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai saksi yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian seperti yang disampaikan R. Soesilo bahwa yang dimaksud kesaksisan yaitu keterangan lisan seseorang di muka sidang pengadilan, dengan disumpah lebih dahulu, tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri (nontestimonium de auditu). Kesaksian yang tidak dilihat sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang lain bukanlah merupakan kesaksian yang sah.(R.Soesilo,1979). Dari definisi kesaksian tersebut, kita memperoleh beberapa ketentuan mengenai  saksi yang harus dipenuhi antara lain;

1.     Keterangan lisan seseorang di muka sidang pengadilan (sesuai Pasal 185 ayat 1) KUHAP)

2.     Dengan disumpah lebih dahulu (sesuai Pasal 275 ayat(2) jo.Pasal 303 HIR dan Pasal 160 ayat (3) jo. 185 ayat (7) KUHAP).

3.     Tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri (nontestimonium de auditu)-(sesuai Pasal 1 ayat (27) KUHAP)Jika telaah ketentuan mengenai saksi di atas diterapkan dalam pemanfaaan teleconverence dalam kesaksian B.J. Habibie, maka dapat kita ulas sebagai berikut;

1.    Keterangan di Muka Sidang Pengadilan

Sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yang dianut KUHAP (Pasal 183 KUHAP) pada prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim, dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian kita adalah perpaduan antara sistem conviction-in time(vrijbewijk) dan sistem pembuktian positif (positief wettelijk stelsel). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian kita. Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya di sidang pengadilan secara fisik berhadap-hadapan.

Dalam hal ini penggunaan teknologi teleconference yang menyajikan gambar secara detail dan kualitas suara secara jelas tanpa gangguan (noice), memungkinkan hakim untuk mengetahui secara langsung sorot mata, roman muka, maupun bahasa tubuh (gestures) yang ditunjukkan oleh seorang di muka persidangan. Dengan demikian pada prinsipnya kehadiran seseorang di muka persidangan sebagaimana dimaksud hadir secara fisik juga dapat dipenuhi dengan menggunakan teknologi teleconference.

Berdasarkan ilustrasi teknis diatas nampaknya teleconference memang tepat untuk menggantikan kehadiran saksi di muka persidangan secara virtual. Namun perlu mendapat perhatian juga dalam hal alokasi waktu meminta keterangan saksi, hal ini penting karena waktu yang sempit dan terbatas akan sangat berpengaruh terhadap kualitas ketuntasan dan kedalaman informasi yang diperoleh dari saksi. Jika permasalahan alokasi waktu ini tidak mendapatkan solusi yang tuntas, maka sia-sialah seluruh usaha menghadirkan saksi secara  virtual di muka sidang karena dangkalnya informasi dan ketidaktuntasan keterangan yang dibutuhkan.

2.    Dengan Disumpah Lebih Dahulu

Sebagaimana ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dalam memanfaatkan teknologi teleconference tidak jauh berbeda dengan persidangan biasa, yaitu sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya.

3.    Nontestimonium de Auditu

Seperti halnya di setiap persidangan pidana, bahwa keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Dalam hal ini teleconfernce akan menjadi alat bukti yang sah sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkalnya.

Selain ketiga ketentuan mengenai saksi yang harus dipenuhi agar sah menurut hukum, perlu diperhatikan pula asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Dalam hal ini jangan sampai penggunaan teknologi teleconference justru melanggar katentuan asas dalam pengadilan pidana karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memanfaatkan teknologi teleconference tersebut. 

4.    Asas Biaya Ringan

Benarkah memanfaatkan teknologi teleconference dalam persidangan membutuhkan biaya yang besar ? ternyata tidak. Terdapat banyak cara melakukan konferensi jarak jauh. Teknologinya-pun semakin lama semakin murah, dengan kualitas yang tidak kalah baik. Salah satu teknik terbaru adalah menggunakan videopon dua arah, teknik ini jauh lebih menguntungkan daripada menggunakan sistem uplink ke satelit yang mahal dan rumit.

Sistem videopon satu arah sudah pernah diuji di medan perang Afganistan-AS, untuk melaporkan kejadian di peperangan. Reporter televisi menyiarkan tayangan langsung menggunakan videopon yang ringan dibawa jika dibandingkan sistem pemancar bergerak yang berat.

Dengan dipenuhinya asas biaya ringan dalam beracara ketika memanfaatkan teknologi teleconference, maka permasalahan diskriminasi hukum dapat diatasi. Permasalahan diskriminasi perlakuan hukum ini beberapa waktu lalu sempat mencuat, bahwa teleconference yang notabene mahal dapat digelar karena yang menjadi saksi adalah mantan presiden RI. Disinilah peran pemilihan teknologi yang tepat sehingga diperoleh efisiensi biaya yang murah, sehingga dengan terjangkaunya biaya teleconference maka teknologi inipun dapat digunakan setiap orang yang beracara di persidangan, sejauh dianggap perlu oleh majelis hakim.   


Februari 2008
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
2526272829  

Blog Stats

  • 32.621 hits

Flickr Photos